17 April 2007

Twin Otter (Sensasi Borneo)

Wednesday, December 28, 2005 - Twin Otter (Sensasi Borneo)

Setelah merasakan sensasi yang ternyata biasa-biasa saja saat pertama kali naik pesawat dari Jakarta menuju Palangkaraya, juga dengan Cassa dari Palangkaraya menuju Puruk Cahu, saya benar-benar merinding--kalau tidak mau dikatakan takut--saat menaiki pesawat kecil bermesin ganda dari Puruk Cahu menuju Balikpapan.
Pesawat carteran jenis Twin Otter yang disewa oleh perusahaan pertambangan emas untuk pengangkutan karyawannya ini hanya dapat memuat 15 penumpang saja. Dengan bobot keseluruhan--termasuk barang-barang yang dibawa--maksimal 1500 kg. Lebih dari itu, maaf saja salah seorang penumpang harus dikorbankan untuk terbang di hari lain.
Makanya untuk memastikan penerbangan ini aman, setiap penumpang harus melalui alat ukur berupa timbangan, sehingga bisa diketahui berapa berat dirinya dan barang bawaannya. Biasanya bule asing yang bawaannya berat-berat, selain juga postur tubuhnya yang di luar ukuran normal penduduk lokal. Seringkali diatur dalam satu pesawat khusus untuk bule saja, ini bukan masalah rasial tapi karena ukuran orang dan barangnya yang berlebih itu.
Suara mesin pesawatnya berisik sekali sehingga setiap penumpang diberikan sepasang gabus kecil untuk menutup telinga saat pertama kali memasuki kabin pesawat. Suaranya akan bertambah keras ketika akan memulai lepas landas. Nah, disinilah kengerian itu berawal.
Saya persis duduk di dekat jendela, sehingga benar-benar merasakan kengerian saat melihat mesin terbang ini semakin melayang tinggi, tinggi, dan tinggi menjauhi permukaan tanah. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri saya bila pesawat kecil ini jatuh karena gagal saat lepas landas. Sepengetahuan saya saat-saat yang paling kritis dalam penerbangan adalah saat pesawat akan lepas landas dan mendarat.
Namun kengerian itu berangsur-angsur hilang ketika pesawat mulai stabil dan terbang di ketinggian tertentu. Saya menengok ke belakang untuk melihat penumpang yang lain. Persis di belakang saya, John Morgan--seorang manager pertambangan--sedang asyik merem melek mendengarkan musik yang diperdengarkan dari peranti digital melalui earphone-nya.
Penumpang lainnya sudah menikmati mimpinya dengan kepala yang terayun-ayun naik turun. Maklum kursi penumpangnya benar-benar hanya sebatas setengah punggung saja, sehingga tidak memungkinkan untuk menyandarkan kepala, kecuali bagi yang duduk di dekat jendela bisa menaruh kepalanya di dinding pesawat. dan Jarak antara kursi benar-benar sempit, sehingga kebanyakan para penumpang susah untuk meluruskan kaki saat terasa kesemutan. Untung perjalanan ini tidak lama hanya berkisar satu jam lima menit saja.
Hiburan satu-satunya di dalam kabin adalah penumpang dapat melihat apa yang dilakukan oleh pilot dan co-pilotnya ketika mengawaki pesawat ini. Aksi yang amat menarik untuk dilihat saat mereka mengoperasikan panel-panel, alat pengukur ketinggian, layar yang memunculkan peta daerah di bawah, dan begitu banyak tombol-tombol lainnya. Setidaknya ini dapat mengusir kebosanan yang mulai hinggap.
Namun ada yang lebih menarik lagi. Di ketinggian 1000 kaki dari permukaan laut, saya benar-benar mendapatkan sensasi Borneo. Mulai dari hutannya, sungainya yang lebar dan berkelak-kelok bagaikan anakonda, dan jalan daratnya yang panjang dan kecoklatan. Sudah pasti selain sensasi keindahan yang dirasakan, saya rasakan pula miris di hati melihat hutan kalimantan benar-benar hampir habis. Apa yang digembar-gemborkan LSM tentang kerusakan hutan benar-benar nyata, bahwa segala bentuk penebangan entah resmi atau ilegal telah membuat paru-paru dunia ini compang camping. Ditambah lagi segala bentuk penambangan liar yang membuat cekungan besar coklat dan tandus tanpa reboisasi. Duh...
Saat mendekati Balikpapan malah tambah parah, cekungan-cekungan besar itu bercampur baur dengan rumah penduduk lokal ditambah gunungan-gunungan hitam didekatnya. Dan ini semua menambah pekatnya aliran sungai dan laut di sekitarnya. Emas hitam bagi mereka memang betul-betul berharga apalagi di saat harganya begitu tinggi. di pasaran internasional.
Tiba-tiba mata ini sudah mulai lelah melihat ke bawah. Kantuk pun semakin memberatkan kepala. Namun di saat saya memulai bermimpi, terasa sekali pergerakan pesawat ini bermanuver untuk mendarat. Seiring dengan perubahan tekanan udara di kabin yang membuat telinga sebelah kiri saya sakit sekali. Ohoi...Sepinggan sudah mulai menyambut kami dengan landasannya basah oleh air hujan yang baru saja mulai turun.
Twin Otter ini mulai menjejakkan dua rodanya ke tanah dan membuang kemudinya menuju hanggar yang berisi deretan pesawat carteran. Sudah saatnya saya meninggalkannya dan menuju mobil bandara yang menjemput dan mengantar kami ke bangunan utama bandara. Saya bersyukur kepada Allah karena masih bisa menjejakkan kaki ini ke tanah, dan setidaknya ada pula kenangan yang terselip bersama Twin Otter ini, bahwa Borneo memang perlu diselamatkan. Itu saja.


riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Sepinggan basah
14:34 23 Desember 2005

No comments: