AL-IKHWAN WAHABI PEMBERONTAK [2]
AL-IKHWAN: WAHABI PEMBERONTAK [2]
[tulisan kedua]
Catatan Penting Tulisan Pertama:
Tapi Robert Lacey dalam catatan kakinya di halaman 180 sudah mewanti-wanti bahwa kelompok Al-Ikhwan dari Nejd ini tidak ada kaitannya dan tak boleh dicampuradukkan dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun (Persaudaraan Muslim) yang dibentuk di Mesir di tahun 1930-an dan masih aktif sampai saat ini.
****
Gelar Khalifah dan Taif
Di tahun 1924 salah satu keturunan dari Bani Hasyim yakni Syarif Husain bin Ali masih sebagai Penguasa Hijaz. Anaknya Abdullah adalah penguasa Amman. Anaknya yang lain Faisal menjadi penguasa Irak. Rival dari keluarga mereka penerus keluarga Saud yakni Abdul Aziz, penguasa Nejd.
Di antara dua keluarga itu saling timbul kebencian apalagi bila Inggris memberikan Pounds yang lebih besar kepada salah satu dari mereka. Tentu uang-uang itu salah satunya dipergunakan membeli kesetiaan Suku Badui untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan merebut kekeuasaan saingan mereka.
Dan bagi Syarif Husain uang itu tak cukup. Ia mencoba mengumpulkan uang dengan jalan memasang pajak untuk apa saja, termasuk pajak dari jama’ah haji. Ini menyebabkan ia tak populer, apalagi ditambah sikapnya yang kian hari tidak bersikap layaknya sikap seorang raja.
Terakhir adalah sikapnya pada tanggal 5 Maret 1924 yang memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah, Keturunan dan Pangganti Nabi, Wali Islam, Pemimpin Kaum Muslimin Dunia—gelar sanjungan yang diperkirakan akan membuat kagum warganya di Hijaz. Ia berani karena dua hari sebelumnya tanggal 3 Maret 1924, Kamal Ataturk resmi membuang gelar Khalifah, berarti menurutnya ini adalah sebuah kekosongan kepemimpinan umat Islam yang selama 400 tahun dipegang oleh Daulah Utsmani.
Ini tak mendapat sambutan. Seorang pemuda Suriah yang mengakhiri pidatonya dengan seruan ”Hidup Khalifah Husain” disambut dengan diam, tanpa suara sama sekali oleh hadirin. Di dunia Islam, berita itu mendapat sambutan dingin. Kaum muslimin di Jawa meramalkan bahwa Syarif Husain akan menerima kutukan Allah karena kelancangannya. Di India kaum Nasionalis Islam merasa bahwa Inggris ada di belakang dari keberaniannya ini walaupun dibantah oleh Inggris. Di Nejd yang muncul adalah kutukan dan kemarahan yang tak bisa dipadamkan.
Tanggal 5 Juni 1924 diadakan persidangan tokoh-tokoh Riyadh. Lima tahun sebelumnya Abdul Aziz mengadakan persidangan yang sama tapi yang dibahas adalah tentang sikap Al-Ikhwan yang menyebarkan paham mereka secara kekerasan dan ia ingin agar ulama mendisiplinkan persaudaraan tersebut. Kini yang dibahas adalah sikap terhadap Syarif Husain tersebut.
Dan ini ditanggapi oleh para pemimpin Al-Ikhwan yang membeberkan segala dosa Syarif tua tersebut, yakni pelarangannya terhadap warga Nejd—terutama kaum Ikhwan untuk melakukan ibadah haji. Abdul Aziz berpikir inilah saatnya untuk bisa menguasai Hijaz apalagi ia merasa dunia Islam saat itu gerah dengan tindakan Syarif yang sembrono.
Saatnya untuk melakukan tindakan yang tertunda lima tahun sebelumnya, karena pada saat itu ia membawa Al-Ikhwan, dan bila membawa pasukan tersebut ia seperti mengingat kenangan yang tak menyenangkan saat kaum Wahabi memasuki Mekah dan Medinah, seratus tahun lalu.
Salah satu dukungan kepadanya adalah datang dari Komite Khilafah India. Karena komite selalu menganggap bahwa tindakan Syarif adalah siasat Inggris yang cerdik, siasat Inggris yang selalu ingin campur terhadap kepentingan Arabia dan umat Islam.
Di bulan Agustus 1924 Abdul Aziz memerintahkan Khalid bin Lu’ay untuk memimpin 3000 pasukan Al-Ikhwan menuju Taif yang pada saat itu dijaga oleh Ali bin Syarif Husain. Tetapi melihat kekuatan Al-Ikhwan, pada tanggal 04 September 1924 dalam kegelapan Ali beserta pasukannya meninggalkan Taif dan penduduknya.
Apa yang terjadi kemudian adalah pembantaian yang terjadi sungguh tanpa ampun. Qady dan para syaikh kota mencoba berlindung di masjid. Tetapi mereka diseret ke luar dan dicincang. Rumah-rumah dihancurkan. Toko dan pasar diserbu. Mayat-mayat dilemparkan ke sumur-sumur terbuka. Dan dalam beberapa jam saja sekitar 300 orang tewas. Hijaz panik. Husain minta bantuan Inggris. Inggris diam saja melihat perkembangan yang terjadi. Mereka menganggap bahwa Syarif Husain lemah dan Abdul Aziz kuat serta memang pantas untuk memimpin seluruh Nejd dan Hijaz. Abdul Aziz tahu pada saat itu bahwa Inggris telah meninggalkan sekutunya.
Para penghuni Jeddah terutama para saudagarnya yang kaya raya mengirimkan salah seorang utusannya untuk meminta Ali agar ayahnya turun tahta saja. 3 Oktober 1924, di ruang utamanya yang gelap dan sunyi, Syarif Husain menandatangani persetujuan untuk turun tahta. Sungguh tanpa pertarungan sedikitpun. Pada tanggal 16 Oktober 1924 Syarif Husain berangkat menuju Aqaba dan langsung ke Siprus untuk mengasingkan diri.
Mekkah, Madinah, dan Jeddah
Di bulan Oktober 1924, Mekah jatuh. Dan Abdul Aziz melarang pasukan Al-Ikhwan untuk masuk ke kota. Tetapi ada beberapa yang lolos dan menghancurkan beberapa rumah minum, membakar semua rokok, dan pipa yang mereka temui. Beberapa kuburan berkubah juga dihancurkan atau dirusak. Tetapi tak ada korban satu pun seperti di Taif, Ibnu Lu’ay benar-benar menjaga keamanan di kota tersebut.
Tiga bulan kemudian, Abdul Aziz datang ke Mekah. Ia bergerak sangat hati-hati. Ia tak pernah melupakan bagaimana dahulu keluarganya runtuh setelah mencoba mengasai Mekah—kekuatan asing (Turki) langsung ikut campur tangan dan menjatuhkan Dar’iyyah. Dan pembantaian di Taif adalah awal yang buruk di pandangan dunia. Oleh karena itu ia tidak menampilkan citra seorang penakluk.
Dan ia benar-benar menjaga Mekah dengan sebaik-baiknya. Hingga ia berhasil mengatur perjalanan haji di musim panas 1925. Keberhasilannya disebarkan dari mulut ke mulut para jama’ah haji. Sehingga menegaskan bahwa generasi baru wahabi tidak seganas yang dikira oleh dunia Islam.
Robert Lacey menulis pada tanggal 05 Desember 1925 Madinah menyerah. Kota tersebut hanya bisa mempertahankan diri pada minggu-minggu terakhir dari kepuangan kaum Ikhwan karena Abdul Aziz sendiri menyelundupkan makanan untuk para penghuni kota tersebut. Yang mengepung kota itu adalah kaum Ikhwan di bawah pimpinan Faisal al Dawis. Abdul Aziz tidak mau Kota Suci kedua ini jatuh di tangan Al-Ikhwan.
Madinah adalah tempat makam nabi dan tempat-tempat peringatan bagi para pahlawan Islam lainnya. Al-Ikhwan sudah lama mencurigai kota ini. Madinah merupakan pangkalan khusus kaum muslimin Syiah yang mereka anggap suka memuja berhala. Harta benda mereka juga pastilah akan merupakan daya tarik bagi keliaran Al-Ikhwan. Maka secara rahasia Abdul Aziz mengatur agar bahan makanan diselundupkan ke dalam kota agar kota itu masih bisa bertahan.
Dan ia segera memerintahkan anaknya Muhammad untuk segera memimpin pasukannya ke kota tersebut. Pada tanggal 6 Desember 1925, ia memasuki kota Madinah dan kemudian berjalan ke masjid nabi yang berkubah hijau untuk sembahyang. Al-Saud kini telah menguasai semua kota suci.
Berita itu membuat Jeddah kacau. Kota itu masih dikuasai keturunan Hasyimiah, yaitu Syarif Ali bin Husain.Pasukannya tak mau bertempur karena selama gaji setahun belum dibayarkan. Ia turun tahta dan meninggalkan Jedadh pada hari Minggu tanggal 20 Desember 1925 naik kapal Inggris, HMS Cornflower. Sejak saat itu Abdul Aziz memperoleh gelar baru: Raja Hijaz.
Bersambung.
Maraji’:
1. Kerajaan Pertrodolar Saudi Arabia, Robert Lacey, Pustaka Jaya, 1986;
2. History of The Arabs, Philip K. Hitti, PT Serambi Ilmu Semesta, 2005;
3. Ensiklopedia Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1999
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12:54 26 Maret 2007
Kalibata Masih Membiru
http://10.9.4.215/blog/dedaunan
No comments:
Post a Comment