19 April 2007

SUATU SAAT SAYA AKAN MENGGIGIT KAMU

SUATU SAAT SAYA AKAN MENGGIGIT KAMU


Berbulan-bulan sudah saya tidak pernah mencicipi kue ini. Ada sih kue sejenis ini: serabi solo. Kalau yang ini juga saya doyan dan sering makan di Kalibata sini. Tapi saya ingin yang klasik, yang konvensional. Kue serabi yang biasa saja itu loh. Yang sering saya jumpai di kampung halaman di setiap ahad pagi sehabis jogging.
Ada yang berwarna putih dan ada pula yang berwarna merah. Kalau yang putih tentu rasanya asin biasa atau gurih. Tapi yang merah tentunya manis karena ditambah dengan gula merah cair oleh bibik-bibik penjual kue serabi. Dan sedapnya….tanpa di tambah-tambah dengan cairan gula lainnya seperti kue serabi yang ada di Bandung atau Jakarta.
Waktu pulang ke Semarang kemarin (ini kemarinnya orang Jawa yah...) saya mencari-cari kue ini. Hasilnya nihil. Tidak barang sebiji pun yang bisa saya jumpai. Padahal saya sedang kangen-kangennya sama itu tuh barang. Uh...
Tapi, akhirnya Allah mempertemukan juga dengan kue itu. Tiga hari lalu, di rute baru yang saya tempuh dalam perjalanan menuju kantor, di dekat perlintasan kereta api Pasar Minggu menuju Condet, di ujung gang ada ibu muda penjual kue itu sedang asyik membakar serabi dalam gerabah hitamnya. Tapi karena saya sedang diburu oleh waktu untuk segera meletakkan jempol kiri ini di finger print maka saya tidak berhenti untuk mencicipi salah satu warisan kuliner nenek moyang kita itu. Tetapi saya sudah mengincarnya. ”Suatu saat saya akan menggigit kamu,”tekadku. 
Nah, hari ini, Jum’at, tanggal satu bulan September tahun dua ribu enam, saya kembali melewati jalan itu dan berhenti sejenak untuk membelinya. Tapi saya ingat saya cuma membawa satu lembar I Gusti Ngurah Rai dan dua lembar Pattimura. ”Wah, duit recehnya tidak ada lagi, padahal saya mau membeli banyak, setidaknya buat teman-teman di kantor,”pikir saya.
”Bu, harganya berapa?”
”Seribu dua, mas.”
“ Ya, sudah saya beli empat.”
“Empat ribu mas…?” tanyanya.
“Nggak Bu, saya cuma punya receh dua ribu, jadi empat biji saja.”
Dengan sigapnya ia memilihkan buat saya serabi yang masih panas dan terlihat bersih. Tapi saya memintanya untuk mengambilkan yang bagian bawahnya menghitam, agar terasa khas sangit-sangit terbakarnya.
Empat kue sudah berada di kantong plastik dan bertengger di stang bagian kiri motor yang sudah hampir mendekati kantor. Kini, sambil menulis ini, saya menggigit kue ini pelan-pelan, merasakan gruihnya (tidak lezat-lezat amat sih). Tapi yang pasti saya merasakan sensasi luar biasa, yaitu sensasi terpenuhinya rasa kangen saya terhadap kue kuno yang satu ini. Alhamdulillah, yang mana IA telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menikmati kue ini.
Ngomong-ngomong masalah kenikmatan serabi, yang cuma kenikmatan kampung, dan cuma kenikmatan semu dunia maka kenikmatan mana lagi yang sempurna selain kenikmatan yang Allah persembahkan kepada orang-orang bertakwa.
Pasnya lagi hari ini saya sering mengulang-ulang beberapa ayat di surat Al-Insaan ayat 41 s.d. 44

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata air-mata air
Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini.
(Dikatakan kepada mereka): ”makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa ayang telah kamu kerjakan”.
Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Subhanallah...
Setelah beberapa ayat itu, Allah menggambarkan tentang keadaan bagi orang-orang yang mendustakanNya di dunia.
”...Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.”
”Kecelakaanlah yang besar bagi orang-orang yang mendustakan.”

Masya Allah...
Ah, pagi ini serabi saya memberikan sedikit penyadaran bahkan banyak, untuk selalu sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian kita.



Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08.29 01 September 2006

No comments: