19 April 2007

KUNTILANAK BERAMBUT PANJANG

KUNTILANAK BERAMBUT PANJANG

Pukul 02.40 dinihari ini saya memaksakan diri untuk bangun. Sudah waktunya untuk meminta pemenuhan segala hajat kepada Sang Pemilik Bumi dan Langit. Setelah ke kamar mandi sebentar, mengambil wudhu, dan berpakaian sepantasnya saya mengambil sajadah lalu menggelarnya di ruang tamu. Biasanya saya sholat di kamar tengah yang biasa kosong, namun karena banyaknya mainan si bungsu yang masih belum dibereskan saya terpaksa pindah.
Di ruang utama yang tidak berkursi tamu, gelap, dan cuma menyisakan cahaya dari dapur ini saya memulai rakaat pertama. Allahu Akbar. Doa iftitah dan surat Al-fatihah pelan-pelan saya lafalkan. Lalu dilanjutkan dengan surat An-Naazi’aat.
”Wannaazi’aati ghorqoo”
”Wannaasyithooti Nasythoo”
Pelan-pelan saya berusaha keras untuk menikmati setiap ayat yang dilafalkan. Di saat menuju kekhusyu’an itulah—tepatnya di ayat ”faidzaajaa atiththammatul kubraa”—melalui sudut mata saya melihat bayangan hitam muncul dari dapur, seperti sosok perempuan bergerak pelan-pelan, terhuyung-huyung.
”Deg...ya Allah siapa nih,” pikir saya sambil tetap melanjutkan bacaan surat. Tapi kok bayangan hitam mendekat ke arah saya. Konsentrasi saya sudah pecah. Pikiran buruk saya sudah hinggap di kepala. ”jangan-jangan jin nih,” pikir saya. Entah kenapa saya bisa berpikiran ke arah sana.
Saya sebenarnya sudah berpikiran bahwa itu pasti khadimat saya yang memang sudah bangun dan menuju kamar mandi yang berada dekat dengan kamar tamu. Tapi kok tidak biasanya ia bangun pada jam-jam seperti ini. Dan kali ini ia pun tidak menuju ke kamar mandi. Sekali lagi dengan pelan-pelan, terhuyung-huyung, bayangan itu mendekat ke arah saya. Selangkah demi selangkah ia mendekat, mendekat, mendekat.
Masih tetap dengan melafalkan surat, saya bimbang untuk melakukan apa. Menengok untuk menuntaskan kepenarasaran saya hingga saya benar-benar dihadapkan pada dugaan saya di awal, sosok jin, atau tetap melanjutkan sholat saya dan menganggap bayangan itu adalah khadimat saya sendiri. Kepenasaran saya ternyata yang mendominasi.
Sekitar dua langkah sebelum bayangan itu mendekat ke arah saya, akhirnya saya memutuskan untuk menengok ke sebelah kanan seperti orang yang sedang mengakhiri sholat—tapi masih dengan melanjutkan bacaan surat.
”....Astaghfirullahal ’adzim.” Herannya setelah melihat bayangan itu saya langsung meluruskan posisi kepala saya dan tetap dengan bacaan yang terlafalkan dari mulut saya. Melanjutkan sholat. Tapi saya pikir sholat saya sudah batal dan konsentrasi saya sudah pecah. Saya putuskan untuk mengulang dari awal rakaat saya yang baru satu itu. 
Teman-teman, coba tebak apa bayangan hitam yang saya lihat tadi? WEKS...! Bukan jin, bukan kuntilanak, dan bukan siapa-siapa. Dia hanya khadimat saya yang ternyata cuma ingin melihat jam yang ada di ruangan tamu.
Setelah itu saya cuma bisa tersenyum geli. Inilah kalau memori tentang Suketi—Kuntilanak yang diperankan Suzanna—masih melekat erat di benak. Tapi ya gimana lagi suasana sudah sangat mendukung sekali untuk menghadirkan sosok itu. Lampu tengah dimatikan, gelap. Muncul dari balik tirai yang membatasi dapur dengan ruang tamu. Bayangan hitam itu bertambah gelap karena menghalangi sumber cahaya dari dapur. Dengan rambut tergerai yang tidak diikat dengan karet pengikat rambut, beringsut pelan-pelan. Lengkap sudah penampakan sosok itu.
”Dasar nih, puasa-puasa masih saja memikirkan Suketi. ”
Akhirnya saya meneruskan sholat di kamar tengah. Itu pun setelah saya membereskan terlebih dahulu mainan yang berserakan. Di belakang, saat ini, sudah terdengar gemerisik sang khadimat mempersiapkan makanan sahur kami.
***
Paginya saya bercerita kepada istri saya, dia cuma bisa ngakak....membayangkan mimik saya di saat menoleh dengan masih melafalkan bacaan An-Nazi’aat.

*
Omong-omong tentang makhluk seperti itu di rumah kami, ada cerita, bapak saya menyangka saya sedang tidur di samping adik saya di kamar depan. Padahal saat itu saya tidak tidur di sana. Khadimat saya pun bercerita saat tidur sepertinya ia merasakan mukanya ditongkrongin oleh wanita tanpa wajah. Tapi Alhamdulillah saya tidak pernah melihat apapun. Allohua’lam bishshowab.





Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
09:27 11 Oktober 2006

No comments: