19 April 2007

AL IKHWAN=AHLUL BID’AH= OSAMA?

AL IKHWAN=AHLUL BID’AH= OSAMA?

Masjid di komplek perumahan kami ini bernama Al-Ikhwan. Bangunannya sejak tahun tahun 2001 belum pernah utuh menjadi sebuah masjid. Setelah bergonta-ganti panitia dan telah menghabiskan dana swadaya masyarakat lebih dari 100 juta rupiah, masjid ini pun masih belum beratap. Yang ada cuma reng baja.
Untuk melanjutkan pembangunan ke tahap pengatapan memerlukan dana tunai yang tidak sedikit kurang lebih 75 juta rupiah. Itu pun belum termasuk biaya pemasangan lantai, pemelesteran dan pengecatan dinding, pengadaan kusen dan kamar mandi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sudah banyak usaha yang dilakukan pengurusnya dalam hal penggalangan dana, mulai dari pengumpulan infak dan zakat penghasilan dari donatur, penitipan kotak infak di tiga SPBU, atau penyebaran banyak proposal. Tapi sampai jelang ramadhan 1427 ini pemasangan atap sebagai target utama selanjutnya tidak kunjung terealisir.
Akhirnya agar sholat tarawih bisa terlaksana di bangunan utama masjid—selama ini memakai bangunan kecil yang sudah ada di bagian bawah meskipun tidak layak untuk menampung banyak orang karena kurangnya ventilasi—maka pengurus pun berinisiatif untuk membeli terpal sebagai pengganti atap metal sambil menunggu terkumpulnya dana tersebut.
Maka terpasanglah sudah atap terpal plastik berwarna biru di masjid kami ini. Dan sudah tiga hari tiga malam ini kami melaksanakan sholat berjamaah di bawah atap itu. Jumlah jamaah pun meningkat—tidak sama saat masih di bawah. Ini dimungkinkan karena luasnya masjid dapat menampung mereka semua. Yang kami tidak bisa bayangkan adalah bagaimana kalau hujan deras benar-benar turun. Kuatkah terpal itu untuk menahan derasnya hujan? Allohua’alam. Kami berharap selama ramadhan ini tidak terjadi hal-hal yang dapat mengganggu aktivitas ibadah kami mengisi ramadhan.
Nah, di Sabtu Sore kemarin jelang 1 ramadhan 1427, di saat takmir masjid sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan shalat tarawih, datanglah tetangga saya—yang diikuti dengan sepasang suami istri bertampang arab. Yang laki-laki berpostur khas timur tengah, hitam, tinggi besar. Berbaju putih lengan panjang tanpa krah dan celana jin warna hitam. Sedangkan yang wanitanya berabaya hitam dengan cadar menutupi sebagian mukanya—walaupun ia tidak menutupi dengan rapat telapak kakinya yang sempat tersembul.
Yang laki-laki tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga saat dia berbicara diterjemahkan oleh istri tetangga kami—sebut saja Ibu Ning—yang sempat bermukim di Riyadh selama beberapa tahun. Yang perempuan sanggup berbicara lokal walaupun dengan logat yang aneh. Mungkin karena sudah kelamaan tinggal di bumi Nejed.
Ibu Ning memperkenalkan dua orang tamu tersebut sebagai keponakannya. Suami keponakannya itu—katanya masih keturunan kerajaan, entah menjabat sebagai apa, yang pasti sebutannya adalah Amir—ingin melihat langsung masjid di sini dan berdialog dengan para pengurusnya.
Memang beberapa tahun lalu kami pernah menyampaikan proposal kepada Ibu Ning untuk disampaikan kepada keponakannya. Tapi sampai detik ini tidak ada dana yang cair dari Arab. Ini mungkin dikarenakan suami keponakannya ini belum sempat untuk berkunjung ke tempat kami. Ia dikenal berhati-hati dengan permintaan proposal pembangunan masjid dari Indonesia, soalnya pernah kejadian ternyata masjid yang dibangun tidak sesuai dengan dana yang diberikan. Dana yang diminta tinggi tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang di proposal atau yang dibangun cuma musholla kecil. Istilahnya ada markup dana masjid bodong.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan kami, sang Amir ini pun langsung saja ambil gambar dengan telepon genggam berkameranya. Atap terpal, dinding yang tidak berplester, lantai semen, dan banyak lagi gambar yang diambil olehnya. Setelah itu ada beberapa pertanyaan yang diajukan olehnya. Satu yang menggelitik adalah: ”masjid ini masjid ahlul bid’ah bukan?” Yang ia maksud adalah sering diadakan acara-acara bid’ah di sini. Soalnya kalau benar demikian, ia tidak akan menyumbang. Kalau menyumbang ia merasa berdosa. Sang ketua takmir, menjawabnya dengan mantap: ”Insya Allah tidak”. Dalam hati saya berkata: ”Ya...Amir, kalau ente bilang bid’ah, belum tentu bid’ah bagi kami”.
Pertanyaan yang lain adalah ”apakah pengurusnya amanah?. Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Ibu Ning dengan nada penuh percaya diri, ”Insya Allah amanah.”
Namun saat sang Amir ini melihat halaman judul proposal di mana nama Masjid Al-Ikhwan ditulis dengan huruf besar-besar, sang Amir protes dan mengusulkan untuk diganti saja. Maksudnya biarlah nama masjid yang ditulis di proposal yang diubah. Dengan nama apa pun boleh asal jangan Al-Ikhwan.
Ketika ditanya mengapa demikian? ”Karena nama Al-Ikhwan identik dengan nama Osama,” katanya. Soalnya kalau di sana mendengar nama Osama bin Laden sudah antipati dan seringkali dicokok oleh pemerintah sana bila ada kaitan dengan nama itu. Jadi, orang nanti takutnya tidak mau pada menyumbang.
Wow...mantap sekali. Kami berpikir ada dua kemungkinan dalam masalah ini. Pertama ia menganggap bodoh kami yang tidak tahu tentang pertarungan pemikiran di tanah saudi antara salafy dengan Ikhwanul Muslimin, sehingga untuk memudahkan berbicara dengan kami maka dikaitkan dengan nama Osama Bin Laden. Atau yang kedua memang ia benar-benar tidak tahu tentang kaitan kedua jama’ah ini tapi hanya mendengar dari informasi sepihak yang membenci Al Ikhwanul Muslimin lalu mengait-ngaitkanya dengan Osama.
Bila yang benar adalah yang pertama, maka pertanyaan saya adalah sampai sejauh itukah kebencian terhadap Ikhwanul Muslimin terjadi? Sampai ke akar rumput. Atau cuma di akar rumput. Soalnya dari apa yang saya lihat terdapat buku-buku hasil dari tesis dan disertasi di sana yang membahas tema Ikhwanul Muslimin ini dan ini tidak menjadi masalah. Atau ini karena kedewasaan berpikir dan keilmiahan yang menjadi tradisi dari kalangan akademis sana. Allohua’lam, karena saya tidak pernah hidup di tanah arab.
Setelah kami mengganti kaver depan proposal pembangunan masjid dengan nama yang lain, Masjid Citayam —istrinya sempat mengusulkan diganti menjadi Jannatul Khuld—kami pun dijanjikan bahwa Insya Allah ramadhan akan menjadi bulan barokah buat masjid kami ini. Maksudnya ia bertekad akan menuntaskan tahap pengatapannya. Karena banyak kawannya yang rajin berinfak dan sangat senang membangun masjid—sebagai bekal rumah di surga—di saat bulan ramadhan. Kami cuma bisa bersyukur saja. Namun tidak harap-harap cemas karena sudah banyak kami diberi janji tapi nihil realisasi.
***
Setelah mereka pergi, sore itu saya mendapatkan pelajaran ’penting’ bahwa nama Al Ikhwan (yang dalam bahasa Indonesia berarti persaudaraan) bagi saudara-saudara kita di tanah Arab Saudi sana menjadi bahan pertimbangan terpenting untuk jadi tidaknya berinfak. Padahal belum pernah saya menemukan dalilnya bahwa memberikan infak itu harus melihat nama mustahiqnya terlebih dahulu. Atau karena kebencian semata nama Al-Ikhwan identik dengan ke-bid’ah-an (menurut mereka), lawan politik, dan pendukung Osama? Allohuta’ala a’lamu bishshowab.



Kader Masjid Al Ikhwan 
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:46 26 September 2006

2 comments:

Anonymous said...

“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

emngapa sang amir menolak nama al-ikhwan untuk masjid tsb? karena menurut ana dia faham bahwasanya jama'ah al-ikhwan adalah jama'ah yang menyimpang dari sunnah nabi shollallahu 'alaihi wa saalam dan sunnahnya khulafa'ur rasyidin al mahdiyyin, sehingga dikhawatirkan akan banyak terjadi bid'ah didalamnya.

dedaunan said...

Ah, ternyata antum sudah berlebihan menilai jama'ah masjid al-ikhwan. Bagaimana pertanggungjawaban antum nanti di akhirat saat jama'ah tersebut tidak seperti yang antum tuduhkan? :-)