17 July 2007

BUKAN KUCING GARONG

BUKAN TENTANG KUCING GARONG

Salah satu tips agar tulisan yang kita buat dapat menarik pembaca untuk membacanya sampai akhir adalah pemilihan judul yang bagus. Helvy Tiana Rosa, Ahad 15 Juli kemarin, memberikan tips-tipsnya kepada para peserta diskusi cerita pendek (cerpen) Forum Lingkar Pena se-Jabodetabek.
Diskusi dua mingguan yang diselenggarakan FLP Depok ini memang dikhususkan untuk membedah cerpen-cerpen yang layak untuk dibedah. Setelah mengundang Ratno Fadillah pada pertemuan pertama dengan format baru, maka pekan kemarin mengundang Helvy Tiana Rosa untuk membedah tuntas 19 cerpen yang masuk.
Format baru pembedahan cerpen ini adalah dengan membuat kumpulan cerpen itu dalam sebuah buku. Waktu bedah pertama judul yang diambil sebagai judul kaver adalah Bulan Redup (Bojo Loro)—ada gambar ilustrasinya lagi, di bagian belakangnya ada puisi yang berjudul Rajah Cinta (Ananda di Palembang pasti ingat sekali puisi ini ). Untuk kali yang kedua judul yang diambil sebagai kaver adalah judul cerpennya Ratno Fadillah “Menanti Paman Izrail”. Menurut saya ciamik sekali cerpen ini memainkan emosi pembaca.
Pantas kalau Helvy memasukkan cerpen ini sebagai cerpen yang mempunyai judul yang menarik. Lebih menarik daripada judul cerpen yang dinobatkan menjadi jawara pada pekan itu yang berjudul: Terbasuh Megatruh karya dari Indarpati. (Untuk mengetahui lebih dalam tentang dirinya coba search di Paman Google, maaf soalnya saya lupa nama blognya). Tidak hanya itu cerpen Ratno juga termasuk dua cerpen terpilih oleh Helvy yang mempunyai pembukaan menarik selain cerpennya Denni Prabowo yang dimuat di Jawa Pos berjudul: Mayra.
Kembali kepada masalah judul cerpen—ini menurut Helvy, tapi bagi saya tidak hanya untuk cerpen, semua karya tulis pun senantiasa harus memiliki judul yang bagus—maka untuk bisa membuat judul yang menarik ia harus punya kriteria-kriteria seperti di bawah ini. (Kriteria dari Helvy, Penjelasan singkat dari saya).
1. Judul menggambarkan cerita
Terkadang penulis terjebak untuk menggadaikan isi cerita demi judul. Contohnya sebuah tulisan yang berjudul Kucing Garong misalnya. Judulnya memang menarik. Tapi ternyata isi tulisan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kucing Garong baik secara tersurat ataupun tersirat. Ini hanya gara-gara lagu dangdut cerbonan itu lagi ngetrend diputar di sembarang tempat. Di bis AKAP, warung remang-remang sepanjang pantura, televisi, radio, kafe dangdut, pasar malam, dan lain sebagainya. Yeah…!
Menanti Paman Izrail, adalah judul cerpen yang menggambarkan isi cerita. Diinspirasi peristiwa bunuh diri ibu dengan tiga orang anaknya, cerpen ini dimulai dengan bujukan seorang ibu kepada anak-anaknya untuk menanti pamannya yang akan datang esok hari. Dan untuk menemui paman yang baik hati itu tentunya sang Ibu harus membunuh tiga anaknya itu. Karena Paman Izrail itu sebenarnya adalah malaikat maut.

2. Enak diucapkan
Salah satu kritik yang dilontarkan Helvy pada cerpennya Indarpati yaitu pada judulnya, yang walaupun ber-rima karena berakhiran uh di setiap katanya, tapi bagi Helvy judul ini tidak menarik. “Kenapa tidak Megatruh saja?” tanya Helvy. “Apa karena takut meniru judul cerpennya Danarto yang berjudul sama?” cecar Helvy. Boleh-boleh saja kok kita punya cerpen dengan judul sama,“ kata Helvy tegas. Indarpati cuma berkomentar ”Mbak Helvy tidak merasakan ruh Jawa dari cerpen saya ini”. Maklum cerpen Indarpati ini budaya lokalnya kental banget. Njawani, beda dengan kultur dari Mbak Helvy yang orang Medan- Aceh.
Lalu judul yang enak diucapkan itu seperti apa? Ini masalah subyektifitas. Dan setiap orang punya nilai subyektifitas yang berbeda. Enak diucapkan bagi saya yah seperti ini: Kucing Garong, Bojo Loro, Mayra, dan lain-lain. Minimal tidak membuat lidah kepleset karena sulit untuk diucapkan, contohnya Entrepreneur yang Keblinger, Jamahiriah Trap. (Untuk Pak Ekonov, maafkan saya karena telah berani-beraninya mengkritik judul topik Anda di forum diskusi kita)

3. Boleh puitis tapi tak berlebihan
Bulan Redup, Malam Selalu Gelap bisa jadi adalah cerpen-cerpen yang judulnya puitis tapi berlebihan. Sudah tahu malam itu gelap dan bulan itu selalu redup tak seterang mentari di siang bolong, lalu mengapa tetap dipaksakan untuk ditulis? Semua orang tahu kok. Tapi untuk judul sebuah puisi, sah-sah saja. Tapi ini prosa bo…bukan puisi.
Juga yang termasuk berlebihan adalah seperti ini “Meraup Rembulan Menakar Malam Mencumbu Derita”. Terlalu panjang dan seperti nama jurus di cerita silat Kho Ping Hoo. Sekalian saja ditambahkan “Menggedor Bumi, mencengkram Naga.” Persis bukan?
Yang puitis tapi tidak berlebihan seperti apa? Banyak sekali. Contohnya judul tulisan yang dibuat oleh Rifki (Key-key), Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Atau dari Bayu Gawtama, Cinta yang takkan Mampu Terbayar.

4. Pakai Kalimat Negasi
Maksudnya adalah judul hendaknya memakai kata atau kalimat penyangkalan, pembatalan, peniadaan, berlawanan dengan kodrat alam. Misalnya Bukan di Negeri Dongeng, Perempuan yang Membelai Luka, Perempuan yang Mencabik Luka, Menari di atas Luka, Tak Harus Menjadi Miss Universe.
Tapi sayangnya banyak juga penulis terjebak di sini. Alih-alih ingin membuat judul yang bernegasi tapi ia membuat judul yang membuat kontroversi dan melanggar aturan masyarakat atau agama yang suci. Karena bagi yang berkecimpung di dunia kepenulisan, syahwat seperti ini begitu rawan untuk meledak. Seperti judul yang memanusiakan Tuhan, yang menuhankan Rasulullah (saya sampai tak enak untuk menuliskannya, Nau’dzubillah), atau alat kelamin wanita.
Menurut saya alangkah lebih baik saat penulis menggunakan kalimat yang bernegasi ia menghindari segala sesuatu kontroversial atau tabu di masyarakat. Soalnya kita tidak bisa berlindung dibalik kebebasan berkreasi seperti yang didengung-dengungkan penulis barat. Tetap syariat yang menjadi utama agar tulisan itu tidak kehilangan sesuatu yang mencerahkan buat yang lain.
Nah itulah tips-tips membuat judul yang bagus yang diberikan oleh Helvy. Judul yang bagus harus berkaitan erat dengan isi. Isi yang menarik dengan judul yang bagus seperti sayur dengan garam. Tidak bisa terpisahkan. Tapi tips-tips ini mungkin tidak berlaku untuk dan pada semua orang, karena seorang penulis sekaliber Putu Wijaya terbiasa untuk menggunakan judul yang di luar pakem seperti di atas, judul yang aneh, dan tidak menarik sama sekali. Tapi masalahnya apakah kita sekaliber Putu Wijaya?
Itu saja. Semoga bermanfaat.



Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:48 16 Juli 2007

MUKA BANDIT

MUKA BANDIT

Sabtu pagi pukul 10.00 tepat saya meninggalkan halaman masjid tempat pertemuan pekanan dilakukan untuk menuju bandara Soekarno Hatta menjemput paman saya yang akan tiba dari Arab Saudi. Menurut SMS yang saya terima dari rombongan keluarga paman saya yang sudah terlebih dahulu sampai di bandara, rencananya pesawat yang membawa paman saya itu akan mendarat pukul 13.00 WIB.
Perjalanan yang biasa saya tempuh ke sana adalah dengan naik KRL di stasiun Citayam lalu turun di Stasiun Pasar Minggu. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus Damri yang biasa mangkal di Terminal Pasar Minggu. Sampai di bandara, di terminal 2, jam satu siang kurang sedikit. Ternyata berdasarkan jadwal yang terpampang di layar pengumuman pendaratan, pesawat Saudi Airlines itu baru tiba di Indonesia pukul 13.54 WIB.
Dan baru pada jam setengah empat sore, saya benar-benar dapat melihat paman saya keluar dari pintu kedatangan. Setelah berbasa-basi sebentar dia bilang, “Besok kita ke PRJ, antar yah…”
Siap…!
Pekan Raya Jakarta
Perjalanan kemarin amat melelahkan menurut saya. Selain karena harus mampir di rumah teman paman saya di daerah Ciledug, kapasitas angkut yang berlebih sehingga kami harus berdesakan, juga perjalanan pulang ke tempat saya yang memakan waktu lama. Kini esoknya, di hari ahad ini, saya pun harus menemani paman saya yang ingin berjalan-jalan di Pekan Raya Jakarta (PRJ). Rencananya pula sehabis dari PRJ kami akan mengunjungi Masjid Kubah Emas. “Mumpung di Jakarta, ” kata bibi saya.
Oke deh…walaupun lelah dari kemarin belum juga kunjung hilang, saya menyanggupi untuk mengantar mereka. Dalam hati saya berkata “kepada keluarga siapa lagi saya akan berbakti setelah ibu saya meninggal?”
Perjalanan di mulai dari pintu tol Cieutereup lalu keluar di pintu tol Ancol-Mangga Dua. Tidak berapa lama kami pun sampai di arena PRJ. Setelah memarkirkan mobil, kami bergegas untuk memasuki tempat pameran. Tiket masuk per kepala sebesar Rp20.000,00 di hari libu. Anak umur 3 tahun ke atas diharuskan memiliki tiket pula.
Terus terang saja, saya termasuk orang yang tidak menyukai keramaian pasar atau mal. Selain karena bisa menaikkan syahwat belanja juga bisa meliarkan hasrat hedonisme manusia—dan untuk mengatasi ini saya cuma membawa uang tunai seratus ribu saja agar saya menyadari saat “ingin” sesuatu, uang saya hanya segitunya saja.
Semakin siang semakin banyak pula pengunjung yang datang. Dan tidak terasa saat saya berkunjung di stand daerah dan UKM, saya telah berpisah dari rombongan utama. Saya raba saku saya, hp saya masih ada ditempatnya. Tapi ada yang aneh, kok selama ini tidak ada aktivitas getar dari hp itu. Alamak, ternyata hp saya sudah mati. Lalu bagaimana saya harus mencari mereka di antara puluhan ribu orang yang berada di tempat itu.
Saya lakoni cara manual, berkeliling ke berbagai tempat utama pameran. Dari hall ke hall, dari stand ke stand, dari counter ke counter. Tidak ketemu…! Kaki saya sampai pegal-pegal. Istirahat deh di salah satu sudut counter penjual makanan ringan. Sambil melihat-lihat sekeliling, kali aja ada yang bisa meminjamkan charger atau hp—ingat loh saya tidak meminta pulsa kepada mereka.
“Pak, bapak punya charger enggak Pak? Saya mau menghubungi saudara saya di sini, tapi hp saya mati” tanya saya pada sekelompok orang penjaga stand yang saat itu lagi sepi.
“Chargernya ketinggalan di rumah,” jawab salah satu dari mereka. Saya pun meninggalkan tempat itu.
Saya kembali melihat seorang bapak tua yang sedang duduk-duduk dengan hp berada di pinggangnya.
“Pak bisa bantu saya enggak Pak? Saya mau kontak saudara saya di sini. Tapi baterai saya habis. Jadi saya mau pinjam hpnya bapak, nanti saya telponnya pakai kartu saya Pak,” pinta saya setengah memelas.
“Masnya pinjam saja charger di counter hp di sana, ” tunjuk dia pada sebuah stand merek hp ternama.
“Terimakasih Pak.” Dua kali saya di tolak. Kali ini episode acara televisi TOLONG benar-benar terjadi pada diri saya.
Saya pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Bapak itu. Tapi saya lihat stand itu dipenuhi banyak orang, semua pelayannya sibuk, dan jelas saya tidak banyak berharap meminta pertolongan dari mereka.
Lalu saya kembali mencari orang yang dari gayanya bisa membantu saya keluar dari kesulitan. Dua orang yang sedang berbincang-bincang di depan toilet yang saya tanyai, menjawab dengan jawaban singkat, “saya tidak punya hp.” Dan orang terakhir—penjaga stand minuman—pun tidak bisa menolong saya.
Saat itulah saya merasakan menjadi orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Saat itulah saya merasa menjadi tokoh utama dari program variety show televisi. Saat itulah saya merasa menjadi orang yang kesendirian. Mengapa mereka tidak mau memberikan pertolongan yah? Apa karena muka saya muka bandit hingga menjadi parameter tersendiri layak atau tidaknya seseorang untuk ditolong? Saya merasakan sekali nada kecurigaan dari tatapan bapak yang menyuruh saya meminjam charger di counter hp dan juga dari dua pemuda yang sedang ngobrol di depan toilet. Wajarlah mereka curiga, ini Jakarta Bung! Di mana banyak kepalsuan dijajakan dan diobral ke mana-mana. Di saat kejujuran menjadi barang paling langka pada saat ini. Dan pada akhirnya saat itulah saya bertekad kalau saya dimintakan pertolongan dalam masalah ini Insya Allah akan saya bantu sekuat tenaga.
Tekad saya itu ternyata diberikan jalan oleh Allah untuk direalisasikan pembuktiannya. Senin pagi ini, ada kecelakaan di jalan antara Tanjung Barat dan Pasar Minggu. Pengendara sepeda motor menabrak motor yang berada di depannya. Yang menabrak jatuh dan ditabrak dari belakang oleh motor lain. Yang ditabrak malah tidak apa-apa bahkan langsung melanjutkan perjalanan lagi. Sedangkan dua orang ini luka-luka lecet di kaki, tangan, dan juga di dagu.
Saya sempatkan untuk menuntun salah satu motor mereka. “Bagaimana, ada yang luka parah enggak? tanya saya pada penabrak kedua yang tidak bisa menghindari penabrak pertama . “Dagu dan kaki ini masih keluar darah,” jawabnya. Benar, cairan berwarna merah membasahi tangannya yang mengusap-usap dagunya.
Si penabrak pertama menghampiri saya sambil berjalan tertatih-tatih dan wajah meringis kesakitan dan berkata: “Bapak punya pulsa banyak enggak? Saya mau menghubungi orang Jepang atasan saya, pulsa saya mau habis nih” pintanya. Jelas saya langsung memberikan hp saya padanya. Peristiwa hari Ahad kemarin benar-benar membekas pada sanubari saya. Berikan pertolongan…apalagi sekadar pulsa ini. Ada banyak yang dihubunginya, saya pun menunggu lama. Berkali-kali ia meminta izin untuk menghubungi yang lain. “Silakan pakai saja.”
Barulah setelah saya memastikan mereka tidak membutuhkan hp ini, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan kembali, absen pagi sudah terasa memanggil-manggil di telinga. Selalu saja ada hikmah yang tersembunyi, kata teman satu seksi saya saat saya menceritakan hal ini padanya. Tentang sebuah pelajaran dan pembuktian realita atas sebuah tekad agar tidak menjadi omong kosong belaka.
Syukurnya Allah memberikan pelajaran atau tes ini segera, agar saya merasakan hikmah di balik semua itu. Agar saya selalu belajar untuk menjadikan tangan ini selalu di atas. Agar saya tidak menggunakan parameter layak tidaknya seseorang itu perlu ditolong hanya di lihat dari mukanya, muka bandit atau muka Kyai. Enggak enaklah dinilai seperti itu. Bisa jadi muka saya muka bandit tapi hati ini boo, hati Ebiet (halah…). Kawan, hari ini dan kemarin saya mendapat banyak pelajaran loh.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16:16 02 Juli 2007


http://10.9.4.215/blog/dedaunan
http://dirantingcemara/blogspot.com
almanfaluthi@gmail.com
riza.almanfaluthi@pajak.go.id