TUKANG SOL ITU TERNYATA...
TUKANG SOL ITU TERNYATA...
Kembali saya diajak menuntaskan rasa rindu Qaulan Sadiida kepada ibunya. Dan daripada saya bete seharian di rumah sang Ibu, saya benar-benar berniat untuk hunting foto kota lama sepuas-puasnya. Ditemani dengan kakaknya saya kemudian kembali menuju lokasi tersebut.
Kini saya mengawalinya dengan mengambil gambar gedung bank mandiri, lalu gedung sebelahnya. Berlanjut dengan gedung GKBI lalu menuju Pabrik Rokok Praoe Lajar. Bangunan pabrik rokok ini, mungkin satu-satunya gedung yang masih menampakkan kekunoannya dengan sentuhan yang lebih terawat dan moderen dengan cat merah menyala yang amat artistik menurut saya.
Lalu kembali lagi menuju folder stasiun Tawang. Saya tidak ambil gambar bangunan stasiun Tawang, karena sudah pernah diambil setahun lalu. Setelah puas, lalu saya beranjak ke gedung yang dulunya merupakan rumah sakit jiwa untuk perempuan. Bangunannya sudah rusak berat tapi masih bisa dihuni oleh beberapa pedagang warung remang-remang. Sudah terkenal sekarang ini lokasi tersebut merupakan sarana pemuasan syahwat kelas bawah. Makanya jangan heran di sana setiap sorenya, sudah banyak wanita bergincu tebal menjajakan dirinya di depan pintu gedung itu yang kira-kira ada delapan buah .
Pantasan saja di saat saya mencoba mengambil gambar di sana, ada dua orang yang langsung masuk ke dalam bangunan tersebut. Mungkin mereka mengira saya wartawan dan takut diekspos di media. Ah, ada-ada saja. Masak tampang saya seperti ini dikira wartawan sih... J
Perburuan terus berlanjut sampai di gedung Telkom dan gereja Blenduk serta bangunan di sekitar jalanan menuju Pasar Johar. Di tengah perburuan itu, saya berjumpa dengan tukang sol sepatu yang ternyata dia adalah penyuka fotografi dulunya. Kamera Canon ber-lensa tele sudah ia jual dulu sekali.
Padanyalah saya pun berkonsultasi masalah perawatan kamera dan bagaimana agar gambar yang diambil bisa bercerita banyak, tidak sekadar gambar belaka. Saya pun menegaskan kepadanya, saya itu cuma penyuka biasa saja. Dan belum mengerti sama sekali tentang fotografi.
Tuh kan... jangan pernah melihat siapa orangnya, tapi lihat apa yang ia katakan. Sambil meminum air es degan itulah saya mengambil banyak pengetahuan dari tukang sol itu. Setelah lama berdiskusi dan berbincang-bincang saya memutuskan untuk mengakhiri perburuan ini. Bukan masalah saya sudah bosan dengan sekitar tapi saya sudah tidak kuat sekali dengan terik matahari di siang bolong ini, apalagi kami belum mengisi perut. So, sekali lagi saya benar-benar tidak tahan dengan panasnya Semarang.
It is over.
Malamnya kami bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta besok pagi.
Senin, 21 Agustus 2006
Saya merasa liburan lima hari di sana terlalu singkat. Apalagi terpotong dua hari untuk perjalanan pulang pergi. Namun esok harus kembali bekerja. Haqi dan Ayyasy pun harus bersekolah. Jadinya kami kembali dengan Kereta Bisnis Fajar Utama yang tiketnya sudah saya beli pada waktu membeli tiket ke Semarang.
Lagi-lagi kereta pun padat dengan penumpang. Tapi masih mending karena puncaknya nanti malam. Perjalanan ini diawali dengan kejar-kejaran petugas Provost TNI yang didampingi petugas PTKA dengan sekelompok laki-laki berbadan tegap, berambut cepak yang tidak mau membayar tiket untuk naik kereta ini.
Memang perjalanan Semarang Jakarta dengan harga tiket sebesar 70 ribu rupiah bisa dihemat dengan harga 10 ribu rupiah dengan membayarnya langsung kepada kondektur di atas kereta saat sedang jalan. Soalnya saya melihat salah satu anggota grup itu memberikan ”sesuatu” kepada kondektur saat melewati Setasiun Cirebon.
Saking padatnya dengan penumpang, sepanjang lorong kereta pun susah untuk dilewati. Makanya ada anak kecil yang memang tidak tahan untuk buang air kecil dan takut mengganggu anggota TNI yang sedang tertidur di lorong itu, terpaksa pipis di wadah bekas pop mi. Dan tidak lupa untuk membuangnya melalui jendela. Untungnya tidak tumpah. J
Tujuh jam lamanya perjalanan ini. Tepat pukul setengah empat sore kami sudah sampai di Stasiun Jatinegara. Lalu dengan bajaj kami melanjutkan kembali perjalanan menuju stasiun Tebet untuk naik KRL. Kali ini kami tidak perlu berdesak-desakan di KRL, cukup lowong dan dapat tempat duduk.
Cukup kurang lebih satu jam saja perjalanan ini menuju Stasiun Citayam Dari sana kami naik ojek untuk sampai di rumah yang kami rindukan.
***
Akhirnya selesai sudah liburan kami. Menyenangkan dan cukup melelahkan. Tinggal kami memikirkan apakah di bulan September nanti kami akan mengajak lagi Haqi dan Ayyasy pergi ke Semarang. Tidak dengan hari libur panjang tapi cuma di hari sabtu dan minggu. Yang kami khawatirkan adalah masalah kesehatan saja. Buktinya liburan panjang kemarin sempat membuat Haqi tidak masuk sekolah karena sakit di hari Rabu kemarin. Apalagi ini dengan frekuensi perjalanan tanpa istirahat, Jum’at malam pergi, ahad pagi pulang kembali.
Saya bersikeras untuk meninggalkan mereka berdua, tapi Qaulan Sadiida benar-benar tidak tega. Kami mungkin perlu negosiasi ulang membahas ini. Tapi nanti sajalah, masih tiga minggu lagi bukan...?
Eit, tapi awas, tiket keretanya habis loh.... J
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
24 Agustus 2006
No comments:
Post a Comment