WO AI NI
Thursday, April 13, 2006 - WO AI NI
Tanggal 13 April enam tahun yang lalu, dini hari, seorang perempuan berjuang sendirian antara hidup dan mati untuk melahirkan jabang bayinya yang pertama, di sebuah rumah sakit swasta milik gereja di Semarang. Berjam-jam tidak kunjung keluar walaupun sudah diberikan berbagai macam perangsang, akhirnya diputuskan proses persalinan itu dibantu dengan alat vakum. Allah masih memberikan kepadanya kesempatan untuk hidup dan mendidik anaknya.
Lalu kemana sang suami...? Ternyata ia masih ada di Jakarta. Ia sedang mengikuti hari terakhir Acara Pengenalan Kampus di sebuah perguruan tinggi khusus untuk Pegawai Negeri Sipil, yang wajib ia ikuti sebagai salah satu syarat mengikuti pembelajaran di kampus tersebut.
Malam harinya di saat ada api unggun di tengah lingkaran besar sebagai acara penutupan, hatinya merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang telah terjadi. Dan ia teringat akan istri tercintanya itu, sedang apakah gerangan...? Sudahkah perjuangan itu selesai? Ah, yang ia tahu cuma beberapa hari lagi dirinya akan mempunyai jabang bayi. Tapi saat ini ia tak kuasa untuk berbuat apapun, selain acaranya padat juga pada saat itu telepon genggam adalah masih barang langka dan bukanlah barang murah yang bisa ia miliki.
Setelah acara itu selesai, segera ia bergegas ke wartel, untuk menanyakan perkembangan sang istri kepada keluarga besarnya. Berita yang mengejutkan dan menggembirakan, bahwa ia telah menjadi seorang bapak dari seorang bayi laki-laki. Ah, ia tidak menyangka, umurnya pun baru 23 tahun. Benarkah ia kini telah menjadi seorang bapak?
Petang keesokan harinya, setelah seharian mempersiapkan perbekalan, segera ia bergegas ke stasiun Jatinegara untuk mengejar kereta api terakhir menuju Semarang. Di tengah senja Jakarta, di tambah suasana mendung, lengkap sudah hiruk pikuk dan kemacetannya.
Persis saat ia menurunkan kakinya dari angkot, baru saja terdengar pengumuman bahwa kereta api akan siap untuk diberangkatkan. Segera dengan terburu-buru ia menuju ke loket, antri sebentar, lalu menyerahkan uang, menerima tiket dan uang kembalian, bersamaan itu terdengar peluti panjang, Pritttttttttttttttttttttt! Serta deram dari benda yang bergerak semakin cepat.
Semua yang melihat lelaki muda ini berlarian menuju pintu kereta yang masih terbuka itu, menyemangatinya untuk segera mengejar kereta dan meraih pegangan pintu. Cepat!Cepat! Huphdengan satu lompatan panjang dan terakhir mampulah ia meraih besi itu. Meninggalkan tatapan dan senyuman banyak orang dibelakang, pula Jakarta yang kian pekat, malam.
Pfhhhhia menghela nafas, mengelap cairan yang membasahi dahinya. Dan angin yang menerobos dari jendela kereta mampu membantu mengeringkan lebih cepat bekas-bekas usaha kerasnya. Tak hanya itu, mampu membuatnya beristirahat panjang, tertidur, dan menganyam mimpi.
Pukul tiga pagi, kereta api itu akhirnya mengakhiri perjalanannya di Stasiun Tawang. Dengan diantar tukang becak, sang suami menuju rumah sakit yang letaknya tidak sampai satu kilometer dari stasiun. Semarang dini hari masih lelap dan belumlah menggeliat.
Halaman depan rumah sakit kecil itu sepi, yang ada hanyalah seorang lelaki berumur yang berjaga-jaga di pintu gerbang. Setelah berbasa-basi sebentar, sang suami mulai mengutarakan maksud kedatangannya untuk menjenguk istrinya yang baru melahirkan.
Tapi apa lacur, penjaga itu tidak memperbolehkannya masuk dikarenakan bukan waktunya untuk membesuk. Tapi setelah diketahui bahwa kedatangannya jauh-jauh dari Jakarta, penjaga itu akhirnya mengizinkan sang suami untuk menemui istrinya, itupun setelah berdiskusi sebentar dengan suster (berkerudung suster gereja). Namun tetap tidak diperbolehkan masuk ke kamar, dan hanya dipersilakan untuk menunggu di bangku panjang khas rumah sakit yang ada di ruang tunggu itu.
Tiba-tiba di saat ia sedang melihat-lihat suasana yang baru saja diakrabinya. Keluar dari kamar paling ujung, sesosok perempuan berjalan di sepanjang lorong. Tertatih-tatih. Perlahan. Dengan salah satu tangannya masih tetap berpegangan pada dinding.
Sosok yang amat dikenalnya setahun belakangan ini menyembulkan senyumnya kepada sang suami yang bersegera meraih tubuhnya dan menuntunnya pada bangku. Namun terlihat oleh sang suami kegelisahan pada wajah istrinya saat ia duduk. Jahitan yang masih baru, terasa mengganggu dan membuatnya tidak betah untuk duduk berlama-lama.
Melihat penderitaan istrinya, yang perlahan dan tertatih-tatih saat berjalan dan wajah masih berhias ringisan, membuat keteguhan sang suami goyah. Matanya mulai berkunang-kunang dan gelap, perutnya terasa mual dan ingin muntah. Ia segera berlari ke toilet dan menumpahkan semua yang ada diperutnya. Ah, kenapa ia bisa jadi begini? Empati berlebihan atau ketidaktegaan?
Beberapa menit kemudian
“Di mana anak kita?”tanya sang suami.
“Di ruangan khusus bayi, berkumpul dengan bayi yang lainnya,” jawab istrinya.
“Bisa dilihat sekarang, Dek?”
“Sepertinya tidak bisa, Mas. Soalnya sudah peraturan di sini, bayi bisa dikeluarkan kalau saatnya menyusui memakai ASI. Mungkin mas besok lagi kesini. Sekarang pulang saja dulu ke ibu. Istirahat dulu ya, Mas.”
“Ya, sudah kalau begitu. Tidak ketukar kan dengan yang lain?” sedikit cemas, apalagi di rumah sakit seperti ini.
“Insya Allah, tidak.”
“Maafkan Mas ya Dektidak bisa menemani Adek kemarin.” Sang istri mengangguk sambil tersenyum.
Pergilah sang suami menuju pintu dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dari istrinya. Tiba-tiba ia berbalik, “Dek mirip siapa dia?”
“Mirip bapaknya.”
Malam pun pupus, kerana shubuh mulai bangun.
####
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa memandang dengan kecintaan dan kerinduan pada wajah lelap anaknya itu. Berdoa agar ia menjadi anak yang shalih, dan tidak hanya itu, menjadi pejuang bagi addin-nya.
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa introspeksi diri, betapa banyak waktu yang terbuang karena dunia, dan menyia-nyiakan golden age serta kebersamaan dengan anaknya yang sudah mulai tumbuh dengan segala keriangan dan kepolosannya.
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa menyadari bahwa buah hatinya itu adalah asetnya yang paling berharga dan bukan beban. Pula ini adalah amanah yang tiada terkira hitungan bilangannya, bahkan senilai dengan jaminan dikeluarkan diri dari siksa api neraka.
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa bersabar atas segala perilaku, menjawab sebisa mungkin segala tanya, dan untuk menjadi yang senantiasa dirindukan dan dicarinya saat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang. Walaupun tidak seaman dan seabadi perlindungan dan kasih sayang Allah.
Ah, ingatan enam tahun lalu membuatnya berusaha mencari apa yang diminta anaknya pada ibunya tadi pagi sebelum berangkat kantor. “Buhadiahnya buku ya Bu. Buku yang ada jamnya itu loh. Soalnya Iz mau belajar jam-jaman, Bu” pintanya.
Ah, ingatan enam tahun lalu membuatnya berusaha untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan setiap momen-momen penting anaknya--yang bisa jadi tidak bermakna buat yang lain--hanya agar kelak anaknya tahu betapa ia mencintai dirinya.
Ah, ingatan enam tahun lalu dan ingatan pagi ini, membuatnya ia teringat sepenggal ayat ini:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (AlKahfi:46)
Ah, ingatan enam tahun lalu dan pagi ini, membuat harapnya membuncah ke angkasa. Tidak hanya satu tapi berjuta harap untuk kebaikan diri dan anaknya pada SangPengabulHarap.
Ah, saat ini ia berkata: “ aku mencintaimu, istriku...”
Dan ia pun berkata lagi: "aku mencintaimu, anakku..."
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:55 13 April 2006
No comments:
Post a Comment