18 April 2007

DEINDIVIDUASI BIKERS MOGE

Wednesday, March 1, 2006 - DEINDIVIDUASI BIKERS MOGE





Dua pekan terakhir dunia milis dan media elektronik tanah air diwarnai dengan berita seputar tingkah laku menyebalkan dari para pengendara motor gede )Moge) berkelir Harley Davidson (HD). Ini diawali dari imel yang dikirim oleh Sarie Fabriane yang disebar melalui milis dan mengungkapkan kejengkelannya sebagai korban tingkah laku urakan gerombolan tersebut.

Seperti yang diungkap oleh tabloid Otomotif (edisi 43:XV), sebagian isi imel itu adalah sebagai berikut: “…masih sulit akal saya untuk menolerir aksi gagahan mereka yang mentang-mentang itu. Pikiran kotor saya hanya sempat mengira, mereka hanyalah kumpulan begundal-begundal impoten yang mencari kompensasi dengan mengangkangi moge. Sehingga tercapailah ilusi kegagahan diri!!...”

Dari situlah Otomotif berusaha menjawab pertanyaan apakah benar bahwa perilaku kasar yang ditunjukkan itu adalah kompensasi untuk menutupi kekurangan dan kelemahan diri?

Seorang pengajar Psikologi Sosial Universitas Indonesia bernama Cicilia Yeti Prawasti MSi, berhasil dimintai pendapat tentang ini oleh tabloid mingguan ini. Beberapa pendapatnya tentang kelakuan bikers moger tersebut adalah dapat dirangkum sebagai berikut:

Bahwa Tidak semua kompensasi itu bernilai negatif, tetap ada kompensasi bernilai positif. Kompensasi negatif bisa saja terjadi namun dengan prosentase kecil berupa aktualisasi diri yakni keinginan untuk mengatasi inferioritas atau perasaan diri seseorang.

Sedangkan perilaku arogan dalam kasus ini hendaknya ditinjau dari sisi psikologi social bukan ditinjau dari sisi kompensasi. Secara psikologi sosial, dalam kelompok telah terjadi deindividuasi. Yakni indentitas diri seseorang berkurang, melebur, dan digantikan dengan identitas kelompok.

Cicilia melanjutkan: ”Di dalam kelompok seseorang cenderung tidak ada yang memperhatikan secara individual. Sehingga ia berani melakukan hal-hal yang belum tentu dia berani lakukan saat sendiri. Apalagi dengan menggunakan pakaian dan motor gede, perasaannya menjadi berubah.” Kesimpulannya adalah perilaku kasar tidak semata-mata berarti kompensasi seseorang untuk menutupi kelemahannya. Demikian Otomotif.

Nah, itulah sedikit pandangan psikologis terhadap para pengendara moge. Namun demikian jika kita melihat adanya deindividuasi maka perubahan perangai (kalau bisa disebut demikian) itu tidak hanya dimonopoli oleh pengendara moge seperti HD belaka.

Perangai itu pun bisa dilakukan pula oleh pengendara motor lainnya walaupun tidak tergabung dalam suatu kelompok atau klub berdasarkan kesamaan merek. Apalagi di Jakarta ini yang jumlah motornya setiap hari bisa mencapai jutaan unit mengarungi jalanan di pagi atau sore harinya.

Contoh deindividuasi ini seringkali terjadi dengan perilaku pelanggaran lalu lintas yang dilakukan secara berjama’ah berupa dengan berhenti melewati tanda batas zebra cross, melawan arus, menyelonong pintu perlintasan kereta api, melewati trotoar, selap-selip, dan lain sebagainya.

Perlu ditekankan di sini sekali lagi adalah perilaku itu dilakukan dengan berjama’ah, bersama-sama, berkelompok, bareng-bareng. Sama dengan yang dilakukan oleh para pengendara moge. Namun ada perbedaan yang mencolok di sini.

Deindividuasi yang dilakukan oleh masing-masing individu dari bikers moge ini dilandasi dari semangat eksklusivitas yang tinggi. Merasa bahwa motor yang mereka naiki tidak sembarang orang bisa memilikinya, mahal, barang impor, dan berkelas. Walaupun disadari atau tidak banyak dari motor tersebut adalah barang-barang gelap yang sengaja diselundupkan tanpa membayar PPnBM dan Bea Masuk ke kas Negara dan surat-suratnya bodong hanya mengandalkan surat sakti dari klub.

Ditambah dengan banyaknya pejabat (contoh salah satunya Fahmi Idris) dan artis (Indro Warkop) yang karena hobi atau sengaja direkrut menjadi petinggi dan pengurus klub, dan dijadikan sebagai pelindung atau humas bahkan pelegitimasi (untuk tidak disebut sebagai bemper) atas segala aktivitas mereka.

Apalagi privilege yang mereka dapatkan sangat-sangat terkesan eksklusif seperti pengawalan yang dilakukan oleh voreijder, melenggang kangkung di jalan tol, dan menyetop seenaknya pengguna jalan lain yang dirasa mengganggu perjalanan. Maka lengkap sudah kesombongan itu, dan pada akhirnya dari semua itu mudah saja terjadi deindividuasi pada kelompok itu. Poinnya adalah bahwa ada ego berjama’ah yang timbul akibat keserbaadaan yang mereka miliki.

Sedangkan untuk deindividuasi yang dilakukan oleh para pengendara motor lainnya dengan tingkah laku berlalu lintas yang kacau dan berantakan itu ada banyak penyebabnya, ini dilihat dari kacamata saya yang tentunya juga adalah pelaju minimal 50km lebih setiap harinya dengan motor kecil (mocil MegaPro)—kalau dibandingkan dengan HD, dan ini yang menyebabkan perbedaan mencolok.

Bahwa yang pasti mocil ini (dalam kasus Jakarta) bukan karena mereka tergabung dalam satu klub. Mereka membawa motor yang kebanyakan dibeli secara kredit di showroom-showroom atau tenda-tenda. Ada rasa senasib sepenanggungan yang disadari atau tidak seringkali muncul tiba-tiba. Bahwa mereka kepanasan, kehujanan, dan dengan resiko besar mengalami kecelakaan yang berakibat fatal bila motor itu jatuh.

Ditambah pula dengan seringkali mandi asap knalpot dari kendaraan lain. Sungguh kontras sekali dengan kenyamanan yang diperoleh dari mereka yang mengendarai mobil pribadi. Dengan kesenjangan kenyamanan dan yang paling penting adalah adanya kesenjangan keselamatan yang begitu mencolok maka wajar pula rasa senasib dan sepenanggungan itu muncul.

Dari rasa itu seringkali kita melihat bagaimana solidaritas muncul di saat salah satu dari mereka mengalami kecelakaan, apalagi kalau kecelakaan itu disebabkan karena ditabrak oleh kendaraan pribadi. Maka selain memberikan pertolongan pertama kepada korban juga ada tindakan deindividuasi yang dilakukan dengan sama-sama menonton, mengerumuni, atau yang lebih buruk adalah mengeroyok supirnya.

Seringkali pula mereka berhenti tanpa bersalah di bawah jembatan layang di saat hujan turun dengan derasnya. Maka terjadilah kemacetan panjang yang disebabkan oleh itu. Gerutuan dari para pemilik mobil pun berhamburan, tanpa mereka sadari bahwa kalau motor itu punya kap seperti mobil tentu tidak akan berhenti di tempat itu. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Jadi, walaupun kita sama-sama sepakat bahwa tingkah laku buruk dari akibat deindividuasi pada kelompok moge HD dengan kelompok pengendara mocil tidak bisa dibiarkan begitu saja, tapi tentu ada perbedaan yang mencolok di antaranya. Yakni untuk yang pertama bahwa deindividuasi terjadi karena ada semangat ekslusivitas yang tinggi dan berakhir pada kesombongan. Sedangkan pada yang kedua deindividuasi terjadi karena adanya rasa senasib, sepenanggungan, sependeritaan, dan ketertindasan.

Pertanyaan yang tak perlu dijawab sekarang adalah: adakah deindividuasi yang terjadi pada para fordiser DSHNet?



Allohua’alm bishshowab.







Ps. Pada tahun 2000 (kalau saya tidak lupa), saya sempat bertemu dengan Fahmi Idris di lift salah satu hotel di Yogyakarta. Bersamanya banyak anggota kelompok HD yang sedang touring.









Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11:31 01 Maret 2006

No comments: