Kamu Bisa, Qi...
Monday, December 26, 2005 - Kamu Bisa, Qi...
Sebulan lamanya sepeda hasil menabung di sekolahnya menjadi mainan baru Haqi. Dengan tambahan dua roda kecil pada roda belakang ia cukup bisa menjaga keseimbangan. Walaupun demikian jatuh dari sepeda sering ia rasakan. Pernah bagian sisi kanan perutnya lecet-lecet akibat terbentur setang sepeda.
Saya pernah berpikir untuk melepas dua roda itu agar ia bisa cepat mahir menaiki sepeda. Tapi sebelum niat itu terlaksana salah satu roda kecil yang terbuat dari plastik itu pecah. Maka mau tak mau benda itu harus dicopot dari roda belakangnya.
Sejak saat itu Haqi jarang menaiki sepeda. ”Takut jatuh lagi,” katanya.
”Dulu juga sering jatuh, kenapa sekarang tidak mau?” pikir saya. Memang dengan hanya satu roda kecil di sisi kiri roda belakang, keseimbangannya harus benar-benar dijaga.
Tapi tiga hari yang lalu, setelah baru saja pulang dari kantor, Haqi serta merta berteriak saat melihat kedatangan saya. ”Bi, Abi...rodanya pecah lagi, tapi sudah dicopot sama Om. Sekarang Haqi sudah bisa naik sepeda tanpa roda kecil,” runtun Haqi.
”Ah...yang benar,” sangsi saya.
”Benar Bi, entar deh lihat kalau Abi libur. Tapi Bi, Haqi menabrak motor. Leher Haqi kena setang motor, nih lihat,” Haqi memperlihatkan lehernya yang lecet-lecet dan kemerah-merahan. Ini pasti sakit sekali.
”Haqi menangis nggak?” tanya saya.
”Iya lah Bi, pasti nangis, sakit sih.”
Malamnya, saat ia tertidur lelap, lukanya saya bersihkan dengan kapas dan membalurnya dengan obat merah. Maklum, bagi Haqi lebih baik memilih menahan sakit daripada lukanya dioleskan dengan obat merah. ”Perih sekali,” katanya. Malam semakin larut, saya merapihkan posisi tidurnya . Sholawat terluncur dari mulut untuk keselamatan dirinya. ”Engkau pasti bisa, Nak” batin saya.
Keesokan harinya, saat saya bisa pulang cepat dari kantor dan sampai di rumah jelang sore, saya benar-benar melihat Haqi sudah bisa menaiki sepedanya itu dengan lincah. Dengan kecepatan yang tinggi bagi anak seumuran dia, Haqi mondar-mandir menyusuri jalanan komplek yang lengang di depan rumah.
Coba tebak apa yang saya rasakan saat itu. Saya benar-benar merasakan kebahagiaan yang luar biasa melihat Haqi telah menempuh salah satu episode perjalanan hidupnya dengan sukses. Saya bertanya-tanya dalam hati, inikah yang sering dirasakan oleh semua bapak di seluruh dunia, saat melihat kesuksesan anaknya? Oh...inikah rasanya bahagia?
Dan ini baru kebahagiaan di dunia. Bagaimana pula dengan kebahagiaan akhirat, saat saya sukses menyelamatkan diri dan keluarga saya dari api neraka? Allah Mahabesar. Kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan yang senantiasa diharapkan, tidak hanya oleh saya, tetapi jutaan muslim lainnya di seluruh dunia.
Cukup sudah luka kemarin menjadi penanda awal keberhasilan Qi, dan Abi yakin Kamu memang bisa, Qi.
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
delay karena baday
bandara 21 Desember 2005
No comments:
Post a Comment