26 June 2007

BIOLA TAK BERDAWAI

Biola Tak Berdawai
:Sebuah Roman
Seno Gumira Ajidarma & Sekar Ayu Asmara
Penerbit PT Andal Krida Nusantara (Akur)
Cet. II Maret 2004

Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya—tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai. (Prolog, hal 1)
Buku ini ditulis berdasarkan skenario dan film karya Sekar Ayu Asmara. Dengan cara pandang seorang anak tunadaksa (dengan banyak cacat yang diderita) bernama Dewa. Autistik, bisu, tubuh kecil yang tidak bisa berkembang, mata terbuka tapi tidak melihat, telinga yang bisa menangkap bunyi tapi tidak mendengar, jaringan otak yang rusak, leher yang selalu miring, kepala yang selalu tertunduk, wajah bagaikan anak genderuwo adalah gambaran dari anak itu.
Sebagai salah satu bayi yang tumbuh besar sampai umur delapan tahun—yang di luar perkiraan kebanyakan orang di panti asuhan tersebut, ia adalah belahan jiwa dari salah seorang pengasuhnya, Renjani. Renjani bersama Mbak Wid adalah pengurus panti asuhan yang bernama Rumah Asuh Ibu Sejati, terletak di daerah para pengrajin perak bernama Kotagede di pinggiran kota Yogyakarta. Tempat di mana mereka menampung bayi-bayi yang tidak dikehendaki, karena cacat ataupun karena hasil dari hubungan gelap.
Renjani bersama Dewa mengarungi pergiliran waktu dengan menyaksikan kedatangan para bayi tunadaksa yang cepat pula meninggalkan mereka karena kematian, meninggalkan mereka menuju ke pekuburan bayi. Begitu pula dengan Mbak Wid, seorang dokter kepala, yang di siang harinya mengenakan pakaian putih-putih, tapi di saat malam tiba, ia berubah menjadi perempuan berbaju hitam-hitam yang begitu percaya ramalan kartu Tarot dan menyepi di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan seratus lilin. Selalu, Renjani menemani Mbak Wid dalam permainan kartu itu, tentu dengan Dewa yang tetap terdiam membisu, dengan leher yang selalu miring, dan kepala yang selalu tertunduk.
Sampai suatu ketika saat Dewa mendengar alunan biola dari sebuah CD, sebuah kekuatan mampu membuat kepalanya terangkat—hanya sepersekian detik, dan Renjani—ibunya yang mantan penari balet—melihat itu! Renjani menghambur memeluknya. “ Dewa, Dewa—Dewa suka ibu menari ya? Ah, Ibu sayang sekali sama kamu Dewa!”
Sepersekian detik itulah yang kemudian membawa Renjani dan Dewa melihat Ballet Ramayana yang dimainkan setiap bulan purnama di Candi Prambanan. Lalu berkenalan dengan pemuda yang lebih muda usia daripadanya. Bhisma, salah seorang pemain biola dari pertunjukan itu selalu memperhatikan Renjani saat pertunjukan berlangsung. Singkat cerita, Bhisma semakin akrab dengan Renjani, pun dengan Dewa yang ia sebut sebut sebagai biola tak berdawai.
Tapi keakraban dan benih cinta yang mulai tumbuh itu rusak saat Bhisma memaksa Renjani menerima dirinya karena itu berarti mengusik masa lalu Renjani yang gelap, yang menjadi satu-satunya alasan mengapa ia pindah dari Jakarta ke tempat sepi ini. Ia belum sanggup berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu yang merusak kehormatannya sebagai seorang perempuan. Ia diperkosa oleh guru baletnya.
Jejak-jejak gelap itu menjelma menjadi segumpal daging yang Renjani secara ceroboh menggugurkannya. Lalu menjadi kanker yang membuatnya koma selama seminggu dan akhirnya berkumpul bersama bayi-bayi tunadaksa yang tidak sanggup bertahan hidup di dunia. Bhisma menyesal atas pemaksaannya itu.
Penyesalan yang hanya bisa membuatnya melakukan sebuah konser tunggal. Di kuburan Renjani. Di kuburan para tunadaksa itu. Memainkan resital gubahannya yang baru terselesaikan dan tak sempat tertunaikan untuk dimainkan di hadapan Renjani.
Tapi walaupun terlambat konser itu bagi Dewa adalah konser dari seribu biola, seribu harpa, seribu seruling, seribu piano, seribu timpani, seribu cello, seribu bas betot, seribu harmonica, seribu gitar listrik, dan seribu anggota paduan suara malaikat dari sorga. Membuat langit ini penuh dengan cahaya dan lapisan-lapisan emas berkilauan. Dan yang mampu membuat Bhisma tertegun, mampu membuat biola itu berhenti sejenak, mampu membuat Dewa berkata: “D..de….f….faa…shaa…shaa…aang…iii…buuu.”
Dewa sayang kamu Renjani.
Secara keseluruhan roman ini bercerita dengan sederhana sekali. Sekali lagi, sederhana sekali. Ada yang membuatnya beda dan menjadikan novel ini berciri khas unik yaitu penyelipan kisah-kisah pewayangan, kakawin Bharata-Yuddha beserta para tokoh-tokohnya, Drupadi, Pandawa, Kurawa, Bhisma, Sengkuni, Dorna, dan yang lainnya. Kisah-kisah yang terlupakan oleh saya. Namun sempat membangkitkan memori bahwa saya sempat membaca komiknya waktu masih SD dulu.
Filmnya meraih berbagai penghargaan internasional namun roman adaptasi dengan judul sama ini bagi saya biasa-biasa saja. Belum menggugah rasa kebahasaan saya walaupun ditulis oleh seorang yang bernama Seno Gumira Ajidarma. Penulis serba bisa Indonesia yang paling produktif—sebagaimana ditulis dalam kata pengantar buku itu—yang piawai sekali memainkan kata-kata dan sekali lagi menurut penulis kata pengantar tersebut mampu menangkap echo cinta dari film itu. Bagi saya Seno tidak sepiawai saat memainkan kata dan cinta tentunya dalam “Sepotong senja untuk Pacarku.” Karena ia terkungkung dalam sebuah skenario? Entah. Buku ini cukup dibaca saat waktu senggang saja.
Namun kavernya bagi saya mampu untuk “menutupi” kekurangan ini. Indah. Biola tak berdawai, kupu-kupu jingga, warna hitam yang dominan adalah sebuah citra tepat dari sebuah sampul yang menggambarkan isi buku ini. Sebuah asa akan asmara, yang hilang terampas oleh duka dan waktu.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
06.08 23 Juni 2007

PETAKA ASMARA

Sampai saat ini tugas yang diberikan kepadaku untuk menulis sebuah cerita pendek belum juga selesai. Entah kenapa, istilah cerpen menjadi momok menakutkan bagi saya. Ketakutan-ketakutan yang tidak pernah saya jumpai saat menulis nonfiksi terasa sekali menghantui. Entah ketidakdalaman cerita, entah ketidakkuatan karakter, entah kesalahan setting, entah takut dianggap jelek, entah dianggap tidak piawai dan entah-entah lainnya yang membuatku tidak bisa menulis cerpen.
Tapi ternyata saya kudu diterapi juga, bahwa saya sudah tidak menulis entah fiksi dan nonfiksi sudah hampir setengah bulan lamanya. Waktu yang membuatku khawatir saya tidak bisa menulis lagi. Benar-benar tidak ada gejolak dari dalam untuk bisa menggerakkan jari saya menuliskan sesuatu. Maka untuk menepis kekhawatiran itu saya menuliskan apa saja di blog ini.
Tentang saya yang penuh dengan kecemasan tidak bisa menulis lagi. Tentang saya yang takut saya kembali mutung di tengah jalan dan berhenti dari belajar menulis di FLP karena banyak tugas-tugas yang belum saya kerjakan. Tentang saya yang lagi sakit. Sakit hati. Maksudnya adalah hati saya yang lagi penuh dengan penyakit hati saat ini. Tentang saya yang lagi merindukan suasana. Tentang saya yang mengenang jalan-jalan kota Bogor yang sempat saya susuri kemarin dari Gadog Puncak. Hingga tentang saya yang mencoba mencari jati diri agar tidak kehilangan orientasi. Hidup ini mau dibawa kemana?
Sabtu dan Minggu kemarin memang benar-benar penuh dengan pertarungan antara kehidupan dunia dan akhirat. Antara orientasi mengejar dunia atau mengejar akhirat. Dan pada akhirnya saya memang kalah. Orientasi dunia begitu mendominasi. Hingga lupa ada kehidupan akhirat. Kelelahan mengatur waktu atau kemalasan yang timbul dari banyaknya waktu luang membuat saya berpikir, "oh enaknya kalau hidup tidak memikirkan umat".
Enak bisa mancing, bisa jalan-jalan, bisa piknik, bisa santai, bisa main game seharian, bisa tidur siang, bisa berkumpul dengan keluarga, dan bisa menikmati kesenangan duniawi lainnya. Pada akhirnya dari kenikmatan berangan-angan "seandainya aku" itu malah membuatku lupa akan banyak amanah. Walhasil saya benar-benar terlena. Saya banyak melanggar amanah yang saya pegang. So, saya beri nilai sabtu dan ahadku kemarin dengan nilai D, tidak lulus.
Biasanya kesadaran tentang penilaian jelek dari hari-hariku adalah bila pagi telah jelang. Saya merasa ada energi kebaruan yang membuatku bertekad untuk memperbaiki hari ini menjadi lebih baik dari kemarin. Saat shubuh tiba, bergegas ke masjid, sholat berjama'ah, berzikir, dan berdoa, membuat saya merasakan ada semangat baru. Semangat yang menghilangkan keburukan hari-hari kemarin. Semangat agar hari ini lebih baik. Semangat untuk membantu sesama. Semangat untuk menghapus keburukan-keburukan dengan kebaikan-kebaikan. Semangat agar saya tetap hidup. Hidup dengan membawa makna: "bermanfaat buat yang lain". Walaupun terkadang itu cuma bertahan sampai dhuhur menjelang. Tapi tak mengapa yang penting ada suatu upaya menuju perbaikan tersebut.
Alhamdulillah, sampai saya menulis paragraf ini, saya merasakan sebuah kepuasan tersendiri. ada energi positif mengalir dalam jiwa saya. Ini berarti terapi menulisku lumayan berhasil melawan kehampaan jiwa. Saya berharap energi itu tidak menjadi kecil lalu meredup tapi semakin membesar untuk menjadi bola salju yang membawa manfaat buat orang lain. Saya bisa menjadikan menulis adalah terapi terbaik bagi saya.
Dan saya yakin terapi ini pun baik bagi Anda. Tulislah apa yang Anda ingin tulis. Jangan takut untuk memulai. Walalupun ketakutan saya dalam menulis cerpen belumlah terobati tetapi dengan menulis apa saja bisa mengusir ketakutan-ketakutan yang lain. Jadikan menulis sebagai obat buat diri Anda. ceritakan semuanya. ceritakan semuanya. Jangan malu. Jangan takut. Sekarang juga. Tulis apa adanya. Biarkan jiwamu menilai tulisanmu sendiri. Bukan orang lain. Maka akan kau rasakan terapi menulis ini berguna untuk dirimu.


Petaka Asmara
Jika jiwa tersesat pada labirin kenangan
maka terkadang asmara-asmara masa lalu
timbul tenggelam dengan tangan yang menggapai-gapai
tolong aku tolong aku
jangan biarkan aku terjebak dalam waktu
mengenangmu selalu
bahkan mendengar namaku saja engkau tak sudi
karena itu adalah masa lalumu
tolong aku tolong aku
sampai kapan aku akan berteriak demikian
jika sekadar berita tentang aku
pun membuatmu mual
mual pada segalanya
mabuk pada kerontang jiwa
ah andai waktu tak pernah menemukan diriku
aku tak akan mungkin berteriak:
tolong aku tolong aku
sampai kapan????!!!!



Riza Almanfaluthi
13.00 18 Juni 2007.

06 June 2007

KAMAR

Matamu adalah telaga, dan aku tenggelam di dalamnya. Kalimat indah itu keluar dari mulut Ketua FLP Depok ketika bertugas sebagai tutor menggantikan tutor utama kami--Mas Denny yang sedang rihlah ke Padang.
Kalimat itu adalah deskripsi tentang keindahan sebuah mata. Dalam sastra sebuah deskripsi terkadang tidak perlu dengan menunjuk sesuatu dengan gamblang. Misalnya dengan kalimat "matamu cantik" tapi lebih indah pula bila dengan penggambaran metaforis.
Ya, Sabtu itu kami belajar untuk mendeskripsikan sesuatu. Pada makalah yang dibagikan itu Denny mengutip ismail Marahimin menulis bahwa deskripsi bisa dibedakan menjadi dua macam. Pertama, deskripsi ekspositoris yang merupakan deskripsi yang sangat logis, yang isinya merupakan daftar rincian, semuanya, atau yang menurut penulisnya hal yang penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urutan-urutan logis dari obyek yang diamati.
Sedangkan deskripsi impresionistis adalah penggambaran yang didasarkan kuat lemahnya sebuah kesan penulis terhadap bagian obyek-obyek yang ingin digambarkannya. Kata kucinya ada pada kesan terkuat yang tertangkap.
Pada akhir pertemuan tanpa berpanjang kata, kami ditugaskan untuk mendeskripsikan kamar masing-masing. Dan inilah deskripsi kamar saya. Selamat menikmati.

KAMAR


Aku masih saja terdiam di sudut. Di atas ranjang memandang sekeliling kamar yang sudah sekian tahun tidak berubah. Aksesorisnya belaka yang berubah seiring dengan mandala waktu.
Kalau engkau bayangkan sebuah kamar yang luas, dengan keharmonisan warna cat menyiratkan sebuah keseimbangan alam, ranjang yang besar, lemari-lemari tinggi, meja rias dengan kekokohan pohon jati, cermin yang bening, keramik Italia kualitas terbaik yang mempercantik lantai, tirai lebar berbordir penghalang sinaran mentari pagi dan hembusan angin yang masuk dari jendela, kamar mandi yang tak kalah indah, dan luasnya setengah darinya, maka bayangan itu cuma ada di sinetron-sinetron Indonesia. Jangan engkau bayangkan itu.
Kamar si pemilik rumah ini hanya cukup untuk memuat dua meja pingpong. Bercat hijau muda. Dengan satu jendela berkaca nako—tanpa tirai—yang mengemis-ngemis cahaya. Maklum saja kamar ini berada di bagian belakang, bersebelahan dengan dapur. Suara berisik pun dominan sekali di setiap pagi.
Karena tiada kecukupan dengan cahaya, maka lampu hemat energi 25 watt menjadi sumber penerangan yang ampuh untuk mengusir kegelapan selamanya, terkecuali kalau ia sudah kehilangan daya. Tapi cukup lama biasanya, berkisar dua warsa.
Lantainya hanya ditutup dengan keramik kelas dua. Hijau muda juga. Baru terlihat mengilat dan harumnya memenuhi ruangan jika dipel dengan cairan khusus pembersih lantai.
Pintu kamarnya cukup kokoh. Terbuat dari kayu yang dipelitur seadanya. Maunya sih nyeni, tapi apa lacur tukang bangunan yang memasangnya bukan tukang kayu ahli, jadinya masih terlihat kasar. Dan pintu ini pun harus didorong dengan kuat agar bisa menutup rapat.
Lemarinya cukup tinggi juga. Nah, ini baru bikinan tukang kayu asli. Kayunya dibuat halus dan dipelitur mengilat sekali. Sayang ada yang merusak keindahannya. Ada selot terpasang di bagian luar. Tentunya untuk menutup pintu lemari yang tidak bisa terkunci dari dalam.
Isinya? Ah, engkau pasti tahu apa yang ada di dalamnya. Sekadar tumpukan penutup aurat sebagai pembeda keberadaban manusia zaman batu dengan masa kini. Dan sekadar lembaran-lembaran kertas penanda keberadaan seseorang di dunia ini.
Ho...ho...ho...ada pula lembaran-lembaran lain yang lebih kecil ukurannya, bergambar, dan bernomor seri tertumpuk rapi. Biasanya setiap pagi si pemilik rumah ini membagi-bagikan itu kepada para penghuni rumah yang lain. Yang biasa kudengar mengiringi pembagian itu adalah celotehan dari si kecil: ”Mi, kok cuma seribu?”
Di sebelah lemari itu ada meja kecil setinggi lutut orang dewasa. Cukup untuk menaruh sebuah tape recorder. Lebih tepatnya lagi meja ini berguna untuk menaruh apa saja. Kaset-kaset yang bertumpuk tidak teratur, kunci sepeda motor, sobekan-sobekan kertas, brosur-brosur penawaran kredit bank, buku diary, majalah, makalah, pulpen, dan banyak lagi lainnya. Sepertinya meja ini tak layak muat untuk menerima segalanya. Yang pasti: berantakan sekali.
Tidak hanya itu. Di sisi lain dari lemari ada juga rak kecil berwarna biru laut terbuat dari plastik. Niatnya mungkin untuk menaruh peralatan sembahyang, tapi itu cuma di bagian atasnya.Lagi-lagi yang tampak adalah tumpukan kertas, buku dan majalah. Namun terlihat pula tiga buah tas kerja di sana.
Di sudut kamar yang lain teronggok meja rias dengan begitu banyak kosmetik di atasnya. Ada cermin besar di sana. Cukup untuk melihat setengah tubuh manusia. Tentu hanya fisik yang terlihat. Tidak ada isi hati yang tampak. Tapi memang jujur sekali sang cermin ini memantulkan bayangan.
Kulit yang menghitam, rambut yang memutih, kulit yang mengeriput, mata yang menyayu tanpa cahaya, tubuh yang membongkok karena tulang yang merapuh, senyum yang enggan bangkit dari sudut bibir, gigi yang tinggal satu dua ditampilkan apa adanya pula. Tidak dilebihkan atau dikurangkan sedikitpun. Jujur, jujur sekali. Terkecuali sumber bayangan itu memakai topeng. Pun saat ia benar-benar memakai topeng pada galibnya itu adalah sebuah bentuk kejujuran pula. Sebuah pantulan, sebuah penegasan: Ia memakai topeng!
Lalu persis di antara rak plastik dan meja rias itu ada sebuah pintu lagi. Pintu kamar mandi. Yup, kamar ini mempunyai kamar mandi di dalamnya. Kecil dan tidak luas. Sekilas aku melihat di sana ada kran, ember, gayung dan tentunya...ah, aku geli menceritakannya kepada engkau. Lain kali aku membisikkan segalanya padamu, tidak saat ini, dan hanya untuk kamu saja, tidak untuk yang lain.
Kini, saatnya membicarakan tempat di mana aku sedang memandang sekeliling kamar ini. Ranjang ini. Aku berdiri di tempat di mana biasanya sepasang pemilik rumah ini membaringkan kepalanya di ranjang ini. Terlihat sekali bayanganku ada di cermin meja rias di seberang sana.
Ranjang ini empuk sekali. Saking empuknya ketika seseorang menggeser tubuhnya terasa sekali goyangannya. Ini berarti, ranjang itu cuma spring bed murahan. Kalau yang benar-benar mewah, asli, dan mahal maka jalinan kawat spiral yang menyusunnya tidak konvensional tetapi dirancang khusus dengan per sejajar yang terpisah, tidak saling terkait, terbungkus kantong kain satu per satu dan tidak dikaitkan dengan kawat helical yang dapat mengurangi gunjangan. Ini jelas akan menambah kenyamanan bertidur. Saat orang bisa nyaman tidur maka sehatlah ia.
Engkau pasti bertanya, kenapa aku bisa tahu sejauh itu? Ah, aku ini bisa melihat apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa melihat. Aku ini bisa mendengar apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa mendengar. Aku ini bisa berbicara apa saja walaupun mereka menyangka aku diam membisu di setiap waktu. Aku ini bisa merasakan apa saja walaupun mereka tidak pernah menyangka aku dapat merasakan segalanya. Bahkan aku bisa kejam membunuh. Faktanya di setiap lenganku ada bercak-bercak—tidak cukup setetes atau sepercik—darah dari musuh-musuh mereka yang bergerilya di setiap malam.
Ohya, ada selimut di atas ranjang itu. Selimut yang biasa tak terpakai oleh mereka berdua—karena kamar tak berpendingin ini sudah cukup membuat mereka kepanasan-- Hanya pada saat-saat tertentu saja selimut itu berfungsi. Tak perlu kuceritakan pula kepada engkau tentang semua yang aku lihat, aku dengar, dan aku rasakan. Karena ini bukan cerita stensilan.
“Brak….!” suara pintu terbuka memecahkan perenunganku pada deskripsi kamar ini. Aku melirik. Sosok perempuan terlihat memasuki kamar. Memandang sebentar ke sekeliling kamar. Melangkah ke ranjang. Membereskan bantal dan selimut. Lalu memungutku.
Aku sadar kini waktunya untuk bertugas. Aku kencangkan otot-ototku. Energi kusalurkan pada setiap lenganku yang panjang, ramping, dan lurus. Persis saat ia menjerembabkan aku di permukaan kasur. Membersihkan segala macam debu dan tungau yang tidak bisa terlihat oleh mata biasa. Berkali-kali aku dipukulkan ke kasur dan menyapu bersih segala macam benda-benda kecil di atasnya. Aku sudah terbiasa. Paling cuma belasan kali.
Tidak berhenti sampai di situ. Ada tugas lain. Kini aku melayang-layang di seantero kamar. Mencari makhluk-makhluk kecil bersayap dan penghisap darah. Kamar yang lembab ini memangnya menjadi habitat terbaik untuk tumbuh kembang mereka. Perempuan itu melihat seekor terbang menghindari terjanganku yang digerakkan oleh tangan perempuan ini. ”Wusss...!” Masih menerpa angin. Dan aku masih waspada dengan tetap menyalurkan tenaga ke sekujur lenganku.
”Tap...” Aku merasakan momentum luar biasa. Saat lenganku menangkap dan menggencetnya. Ada cairan merah keluar dari tubuh nyamuk itu. Mungkin ia sempat menggigit penghuni rumah ini. Tidak lama aku dibiarkan menggeletak di atas meja rias. Kudengar perempuan itu berkata kepada lelaki yang baru saja memasuki kamar, ”Nanti belikan satu lagi sapu lidi untuk di kamar depan. Yang ini biar di sini saja.” Tiba-tiba kamar itu gelap.
Tapi jangan dikira aku ini buta karena aku bisa melihat apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa melihat. Jangan dikira aku ini tuli karena aku bisa mendengar apa saja walaupun mereka menyangka aku tidak bisa mendengar. Jangan dikira aku ini bisu karena aku bisa berbicara apa saja walaupun mereka menyangka aku diam membisu di setiap waktu. Jangan dikira pula aku ini tidak perasa karena aku ini bisa merasakan apa saja walaupun mereka tidak pernah menyangka aku dapat merasakan segalanya.
Kegelapan ini tidak akan lama.



Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16:14 05 Juni 2006