20 April 2007

THE KINGDOM

PETRODOLAR

Pada tanggal 20 Oktober 1973, dengan nama Allah dan berdasarkan agama yang diturunkan pada Muhammad 1400 tahun yang lalu di Mekah dan Madinah, raja Faisal dari Saudi Arabia mengemukakan jihad melawan Israel dan negara-negara yang membantunya. Sebagai bagian dari jihad tersebut ia menetapkan embargo penuh pada pengiriman minyak kerajaan ke Amerika Serikat. Sejak saat itulah keadaan di dunia begitu berubah.
Di tahun 60-an, dunia barat dan Jepang membayar kurang dari 2 dolar Amerika Serikat setiap barel untuk minyak yang mereka terima dari Saudi Arabia dan negara-negara Timur Tengah. Harga 1,80 dolar untuk 42 galon Amerika, tak lebih dari sekitar 4 sen dolar setiap galonnya. Satu dasawarsa kemudian dunia barat harus membayar 32 dolar untuk 42 galon—suatu kenaikan rata-rata 264 persen pertahunnya! Tak heran bila Saudi Arabia menjadi begitu kaya. Dan dunia barat merasa begitu miskin.
Tampak jihad raja Faisal itu telah menjadi salah satu titik penting dalam sejarah abad kedua puluh ini. Embargo minyak yang dipelopori oleh Faisal, kemudian diikuti oleh ledakan harga energi sebagai akibatnya, mengawali pergeseran kekayaan dunia secara besar-besaran, mengalir kekayaan dalam jumlah yang tak pernah terjadi sebelumnya.
***
Tiga paragraf di atas adalah sebuah kutipan pembuka dari sebuah buku lawas yang ditulis oleh Robert Lacey berjudul KERAJAAN PETRODOLAR SAUDI ARABIA. Buku yang diterbitkan tahun 1986 oleh Dunia Pustaka Jaya dengan jumlah halaman sebanyak 663 ini tanpa sengaja saya temukan di pedagang buku Stasiun Kalibata saat menunggu kereta rel listrik.
Kondisinya masih sangat bagus, tidak terlihat seperti buku lama. Walaupun sudah berwarna kekuningan. Ini mungkin buku baru yang tidak laku atau belum sempat terjual. Yang menarik saya cuma membelinya dengan harga Rp12.000,00 saja setelah sang pedagang menawarkan dengan harga Rp15.000,00 sebelumnya.
Buku yang berjudul asli The Kingdom ini merupakan hasil riset yang dimulai pada Agustus 1977 yang dilakukan oleh penulis selama ia diizinkan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Ia melakukan banyak wawancara dengan para petinggi seperti raja Saudi Arabia pada saat itu King Khalid ibn Abdul Aziz, dan para pangeran serta bangsawan-bangsawan dari dinasti Saud, plus dukungan dari Pusat Riset Raja Abdul Aziz.
Tak pelak buku ini menceritakan dari awal bagaimana dinasti ini didirikan. Dari semula hanya orang-orang badui yang hidup di padang pasir yang membakar dan menyiksa keluarga mereka dengan kekeringan, kemiskinan, kelaparan, pun anggapan sebagai suku yang terlalu mengikuti naluri, tak punya rasa keindahan, keingintahuan, selera halus, filsafat, kesenian tulis, seni rupa, bahkan tak punya dongeng-dongeng yang pelik sampai kepada perubahan drastis di mana mereka menjadi penguasa karunia Allah di muka bumi, penguasa jaringan sisa-sisa berlemak di bawah permukaan bumi, penguasa genangan hitam yang menggelegak: minyak bumi.
Mereka menjadi yang paling dihormati di seluruh dunia, penguasa yang bisa menentukan damai dan tenteramnya kehidupan perpolitikan dunia. ”Dan jikalau saja bukan karena adanya suatu keanehan yang terjadi pada lapisan bumi tempatnya berpijak, maka dunia barat pastilah tak akan peduli apa yang terjadi dengan raja Khalid. Kalau saja buminya itu tak mengadung apa-apa, maka penghuni kerajaan Saudi Arabia akan bebas menikmati padang pasir mereka, sajak-sajak mereka atau kenehan apa saja yang ada dalam kehidupan mereka. Paling-paling mereka akan menarik perhatian bila sekali-sekali majalah ilmiah seperti National Geographic memuat artikel bergambar tentang mereka,” ungkap Lacey.
Tetapi Syaikh Ahmad Zaki Yamani—Menteri Minyak Saudi Arabia saat itu—mengatakan:
”Negara barat melihat kami hanya sebagai sebuah negara yang ada hanya untuk mengisi tangki mobil. Tetapi pandangan itu terlalu moderen untuk Arabia. Dan itu bukanlah pandangan kami dan juga bukan pandangan jutaan orang di seluruh dunia yang sama-sama menganut agama kami.”
”Kalau Anda ingin mengerti tentang Saudi Arabia, Anda harus mengerti bahwa 1400 tahun yang lalu Allah telah menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad di kota-kota suci Mekah dan Madinah. Kedua kota tersebut begitu jauh terpisah dari padang-padang minyak kami, tetapi masih tetap merupakan bagian dari Arabia kami. Dan bagi kami, keduanya jauh lebih penting dari apapun juga.”
”Itulah sebabnya orang-orang di negara Muslim yang miskin menyapa aku. Karena aku datang dari Mekah! Inilah yang paling berarti. Tentang Mekah dan Islam-lah orang-orang itu mengajakku berbicara. Jadi kalau aku ditanya, apa yang menjadi tulang punggung Kerajaan kami ini, maka akan kujawab, di atas segala-segalanya adalah Islam. Bukan minyak. Suatu hari kami akan kehabisan minyak. Tetapi kami takkan pernah kehilangan Mekah dan Madinah.”
Subhanallah, pernyataan yang keluar dari hasil wawancara yang dilakukan penulis di bulan November 1980 dan Mei 1981 itu, terasa gaungnya hingga saat ini, saat waktu telah berputar 26 tahunan. Adanya semangat persaudaraan yang memang dibutuhkan sekali untuk dunia Islam saat ini menghadapi kezaliman-kezaliman penguasa dunia yang menyetir dengan boneka-boneka untuk memuaskan nafsu kolonialismenya. Tapi sayangnya gaungnya yang terasa adalah gaung yang semakin melemah.
Dalam buku tersebut diceritakan pula tentang bagaimana Abdul Aziz merebut Riyadh sampai ia menakhlukkan Nejd daerah pedalaman Saudi Arabia dengan dukungan dari Kaum Muwahiddun (Salafy) dan tentunya mengusir keturunan Nabi Muhammad yaitu Ibnu Rasyid sebagai penguasa Mekah dan Madinah pada saat itu.
Pengusirannya terhadap Ibnu Rasyid mengakibatkan ia harus berhadap-hadapan dengan dengan Kekhilafahan Turki, menyebabkan ia harus menerima gencatan senjata karena sampai saat itu pertempuran yang terjadi tak menyebabkan salah satu dari mereka kalah atau menang.
Bulan Pebruari 1905 Turki mengakui kekuasaan Saudi di Nejd, sebaliknya Abdul Aziz menerima pengangkatan dirinya sebagai qaimaqam (komisaris distrik). Ini berarti Abdul Aziz menerima kenyataan akan adanya kekuasaan Turki di atasnya, sebuah sikap yang sangat bertentangan dengan sikap antiTurki-nya sebelum itu.
Suatu sikap yang nantinya pun akan selalu ia terangkan kepada setiap tamunya, bahwa dahulu ia mau mengaku tunduk pada Sultan Turki hanya karena terpaksa oleh keadaan. Sebagai seorang Wahabi, kata Abdul Aziz, ia takkan pernah bisa menerima tuntutan Sultan yang mengaku bergelar khalifah, sebab cara orang Turki menjalankan ajaran Islam sungguh sangat menyimpang dari garis yang benar. Oleh karena itulah pendahulunya dulu—Muhammad Ibn Saud—pernah melarang para peziarah yang dilindungi oleh Khalifah untuk berziarah menuju Mekah dan Medinah, dan hal inilah yang membuat marah besar Khalifah yang menganggap dirinya sebagai pelindung dua tempat suci.
Masih banyak hal yang menarik diungkap di buku ini, misalnya tentang bagaimana penyikapan suku badui ini di kala mereka menjadi orang kaya baru, intrik sesama saudara, pembunuhan, perebutan kekuasaan, pemborosan, dan korupsi, November gelap di tahun 1979, penyikapan terhadap Syiah dan Al-Ikhwan, kegemasan Onassis terhadap pembentukan OPEC, permusuhan terhadap Biarawan Zion*)dan penerimaan kerajaan terhadap investasi Pepsi daripada Coca-Cola.
Saya merasa beruntung sekali mendapatkan buku bagus seperti ini.Walaupun belum seluruhnya terbaca, tapi saya merasa yakin sedari awal, buku ini akan membuat saya mengetahui secara detil masa lalu Saudi Arabia hingga masa awal 80-an. Setidaknya ini akan memberikan gambaran utuh dari Saudi Arabia masa kini. Muhammad Abduh mengatakan masa lalu adalah bagian dari masa kini sehingga tidak mungkin dilupakan begitu saja. Sehingga bisa memahami apa dan kenapanya pewaris kerajaan petrodolar saat ini bertindak, yang menguntungkan saudara-saudaranya seiman di seluruh dunia atau hanya memuaskan dahaga keduniawaian semata.
Sejarah yang sedikit dibahas waktu smu dulu kini terbentang dengan detilnya dalam satu buku yang merupakan ramuan—seperti diakui penulisnya—dari peristiwa sejarah, hasil pengamatan pribadi, desas-desus di pasar, ramalan masa depan, ditambah dengan kenangan orang-orang tua yang masih ingat tentang keadaan dunia mereka, dunia yang bagi kita bagaikan tertinggal berabad-abad yang lalu.
***
Kita bukannya sekadar pembuat slogan belaka. Apa yang kita katakan akan kita kerjakan. Jika mereka memandangmu dengan sebelah mata, katakan bahwa Allah memberkati rasul-Nya dan bangsa negara ini. Kalian adalah keturunan para pahlawan jaman bahari, kalian anak cucu mereka yang berjuang di samping nabi. Jadilah madu bagi mereka yang bersahabat dengan mu, jadilah racun bagi musuh-musuhmu. (Raja Faisal bin Abdul Aziz, 1973)
***

*) Suatu kebetulan semata bahwa persis sebelum membaca buku ini, saya membaca buku Rizki Ridyasmara yang membahas tentang Biarawan Zion ini secara detil di Knight Templar Knight of Christ (2006).


Maraji: Robert Lacey, Kerajaan Petrodolar Saudi Arabia, Cet-I, 1986, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta;



Riza Almanfaluthi
Citayam Siang
15.00 01 Pebruari 2007

No comments: