19 April 2007

PERCAYA ENGGAK PERCAYA

PERCAYA ENGGAK PERCAYA

By: Riza Almanfaluthi


Pada sebuah acara reality show yang ditayangkan di sebuah televisi swasta diperlihatkan bagaimana kemampuan seorang paranormal bertubuh subur dan berpeci hitam dapat melihat keberadaan dan penampakan berbagai macam makhluk halus, semacam genderuwo, pocong, kuntilanak, tuyul dan masih banyak lagi lainnya.
Agar tidak dianggap membual oleh para pemirsa, maka ia pun sering membawa bintang tamu untuk turut melihat dan merasakan keberadaan makhluk itu. Sang paranormal terlebih dahulu harus membuka mata batin sang bintang tamu dengan menangkupkan salah satu telapak tangannya ke wajah bintang tamu dengan tidak lupa mulutnya komat-kamit entah merapalkan mantera apa. Dan terpenting lagi wajah bintang tamu masih kering karena tidak ada semburan air yang keluar dari mulut sang dukun itu.
Lalu apa yang terjadi? Setelah dibuka mata batinnya—sebenarnya adalah bintang tamulah yang dirasuki oleh jin—ia benar-benar dapat melihat semua itu. Ada yang biasa-biasa saja, terkejut, terperangah, bahkan shock, menjerit, dan pingsan.
Sang dukun tentunya tidak main-main untuk memperlihatkan semua itu kepada bintang tamu. Ada sebuah keinginan terpendam dari sang dukun kepada sang bintang tamu yaitu adanya sebuah perubahan sikap. Dari yang semula tidak percaya menjadi percaya. Bahkan diharapkan percaya 100%, tidak lagi tidak percaya, atau setengah percaya dengan cuma mengatakan ”percaya enggak percaya”. Lalu menjadi pendukung fanatik yang dapat menyukseskan misi yang dibawa acara itu.
Tapi sungguh, bukan percaya pada makhluk piaraan dukun itu yang akan dibahas pada tulisan kali ini. Karena bagi saya acara itu adalah acara yang dapat menjerumuskan para pemirsanya kepada lubang hitam kemusyrikan—karena berlawanan secara syar’i dengan pandangan Islam terhadap makhluk gaib. Syukurnya acara itu tidak bertahan lama karena kalah rating dengan acara lainnya.
Di sebuah cerita lain, saat ramai-ramainya pemilihan presiden di tahun 2004, di mana Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dianggap terlambat untuk memberikan dukungannya kepada Amin Rais dan lebih condong keberpihakannya kepada pasangan Wiranto-Shalahuddin Wahid, yang pada akhirnya ternyata Amin Rais pun kalah di putaran pertama.
Lalu PKS memberikan dukungannya kepada pasangan SBY-JK di putaran kedua, maka sesaat menjelang hari H pemilihan tersebut, betapa banyak kader merasa risau dengan hasil ijtihad para pimpinan partai ini. Resah karena ada sejuta pertanyaan yang menggelayuti di benak para kader, ditambah berhasilnya kampanye negatif terhadap pilihan PKS tersebut, sehingga tuduhan, cacian, dan makian bertebaran di media massa dan khususnya di dunia maya sejak putaran pertama, maka membuat sebagian kader kehilangan rasa percaya dirinya dan bertanya-tanya pertimbangan apa sih yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Partai dalam hal ini?
Tidak sekadar bertanya-tanya, berburuk sangka—yang dulunya sebagai suatu yang tidak pantas dan haram dilakukan seorang muslim dan kader—menjadi hal yang biasa dikedepankan terlebih dahulu untuk menilai tindak tanduk para pimpinan partai. Ada ketidakpercayaan yang menjangkiti hampir sebagian kader.
Namun sebagiannya yang berusaha tetap percaya dengan hasil ijtihad itu pun tidak luput dari serangan sejuta pertanyaan hitam itu. Namun lebih mending karena mekanisme tabayyun tetap dipertahankan melalui jalur yang digariskan dari ranting sampai pusat. Tapi setidaknya ini tetap menjadi hal yang tidak biasa dan wajar untuk dilakukan karena pada saat barisan jamaah ini dalam keadaan genting memerlukan kader-kader yang senantiasa percaya pada para pimpinannya tanpa syarat dan penghentian mekanisme pertanyaan yang akan membuat bertambah runyamnya keadaan dan tidak tepatnya keputusan yang akan diambil.
Salah seorang kader pernah mengirimkan pertanyaan itu melalui pesan singkat ke telepon genggam Ustadz Hidayat Nurwahid mempertanyakan keputusan yang diambil serta ketidakbenaran dugaan dari berita-berita yang diterima.
Jawaban singkat dan menohok diberikan oleh Ustadz Hidayat Nurwahid. Kurang lebihnya demikian:
"Yaa Akhi, jikalau antum tidak percaya lagi kepada saudara antum, kepada siapa lagi antum akan percaya...?"
Membaca jawaban yang diberikan sang Ustadz, ia pun gemetar dan menangisi apa yang telah diperbuatnya. Sejak saat itu ia tidak pernah bertanya-tanya lagi tentang ijtihad yang dilakukan para pimpinan partai itu. Dulu ia percaya 100% tapi kini kepercayaannya meningkat menjadi 1000%. Ia pun menjadi yang terdepan dalam menangkis setiap berita buruk yang dibawakan dari siapa saja yang akan meruntuhkan eksistensi keberadaan jamaah dakwah itu.
Cerita kedua inilah yang akan membawa kita pada arti penting dari sebuah kepercayaan (ats-tsiqah) dalam sebuah jamaah. Sehingga karena begitu pentingnya arti sebuah kepercayaan ini maka Asysyahid Hasan Al Banna memasukkannya ke dalam Arkanul Bai’at (rukun-rukun bai’at) jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimin.
Bahkan beliau menempatkan ats-tsiqah ini pada urutan terakhir dari 10 rukun sistematis dalam pembentukan kader ummat yang terbaik. Ini menandakan bahwa kepercayaan pada sebuah karakteristik gerak jama’ah terkait bagaimana sang kader tersebut memahami terlebih dahulu rukun-rukun sebelumnya.
Ia tidak akan pernah memahami arti penting sebuah kepercayaan jika ia belum memiliki pemahaman yang benar pada jama’ah ini. Setelah ia paham maka ia pun dianggap belum bisa memiliki kepercayaan yang penuh jika ia tidak ikhlas dalam setiap amalnya.
Tidak berhenti di ikhlasnya hati, maka ia pun harus senantiasa beramal sebagai buah dari pemahaman ilmu dan keikhlasan. Setelahnya pula seorang kader dalam setiap amal atau kerja nyatanya harus disertai dengan upaya sungguh-sungguh atau daya juang yang tinggi (jihad) dengan tangannya, lisannya, pendidikan ataupun politik.
Dan sebagai konsekuensi logis dari sebuah kerja keras atau perjuangan tersebut adalah adanya sebuah pengorbanan dari dirinya baik dalam bentuk waktu yang diberikan, harta, atau bahkan dengan jiwanya.
Dan semua itu dibingkai dengan adanya ketaatan yang kuat seorang kader pada pimpinannya serta adanya konsistensi atau keteguhan seorang kader dalam menjalani perjuangan tersebut. Ia teguh tidak hina, tidak lemah, dan tidak tunduk kepada musuh.
Dan terpenting lagi ia senantiasa harus dapat membersihkan pola pikirnya dari berbagai prinsip nilai lain atau pengaruh individu lainnya, proses inilah yang disebut sebagai tajarrud (pemurnian). Pemurnian yang mampu membedakan manusia menjadi golongan-golongan sebagai berikut: muslim mujahid, muslim qa-id, muslim aatsim, dzimmy, mu’aahad, muhayyid, muhaarib.
Lalu sebelum ia mampu menjadikan kepercayaannya pada jama’ah ini sebagai rukun terakhir dari sepuluh rukun tersebut maka ia berkewajiban untuk mempunyai nilai-nilai ukhuwah (persatuan) dengan saudara-saudaranya yang lain yang didasarkan pada ikatan hati dan ruhani yang terikat pada sebuah simpul aqidah yang sama. Karena sesungguhnya ukhuwah itu adalah saudaranya keimanan dan perpecahan adalah saudara kembarnya kekufuran.
Barulah setelah seorang kader memiliki kesembilan rukun ba’iatnya itu ia senantiasa melengkapinya dengan sebuah kepercayaan (Tsiqah). Kepercayaan di sini menurut Asysyahid adalah rasa puasnya seorang tentara atas komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan mendalam yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan.
Berikut apa yang dimaksud kepercayaan itu adalah:
1. Kepercayaan ini merupakan komponen yang sangat penting dalam pengambilan keputusan;
2. Lawannya kepercayaan adalah keraguan, dan keraguan ini merupakan sikap nurani yang menjadi karakter dasar seorang munafik. Pun keraguan itu adalah langkah pertama syaitan dalam menyesatkan manusia;
3. Kepercayaan diri menjadi bagian yang menentukan dalam pengembangan diri seseorang;
4. Dan Islam telah menunjukkan konsep membangun kepercayaan diri manusia dengan konsep diri dan harga diri yang luar biasa luas dan tinggi. Di mana seorang kader atau da’i menjadi sangat percaya diri bila mempunyai nilai-nilai kepercayaan dan keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada Islam, kepada kepemimpinan, dan kepada Ikhwah (saudara). Dan ini adalah sebuah harga mati.
5. Natijah (buah) yang dihasilkan dari nilai-nilai tersebut maka timbulnya suatu kesadaran dan perasaan tenang, tenteram, cinta, rasa hormat, dan menghargai orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama. Terutama pula kepada pimpinannya. Di mana seorang kader siap menjadi prajurit yang benar-benar mampu memberikan kepercayaan dan ketaatan tanpa sedikitpun keberatan atau ganjalan hati.
6. Karena bagi jama’ah ini pemimpin adalah unsur penting dakwah, di mana tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar kepercayaan–yang timbal balik—antara pemimpin dan pasukan menjadi neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khithahnya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan ketegarannya menghadapi berbagai tangangan. (Risalah Pergerakan 2:194)

Dan ada sebuah parameter yang diungkapkan oleh Assyahid dalam menentukan sejauhmana kepercayaan dirinya terhadap kepemimpinan yang ada. Karena sekali lagi kepemimpinan dalam jama’ah ini menduduki posisi sebagai orang tua dalam ikatan hati, posisi guru dalam hal fungsi kepengajaran, posisi syaikh dalam aspek pendidikan ruhani, dan posisi pemimpin dalam aspek penentuan kebijakan plitik secara umum bagi dakwah. Asysyahid pun menekankan bahwa tsiqah kepada kepmimpinan adalah segala-galanya bagi keberhasilan dakwah.
Inilah parameter itu:
1. Apakah sejak dahulu ia mengenal pemimpinnya, apakh pernah mempelajari riwayat hidupnya?
2. Apakah ia percaya kepada kapasitas dan keikhlasannya?
3. Apakah ia siap menganggap semua instruksi—yang diputuskan oleh pemimpinnya untuknya, tanpa maksiat tertentu—sebagai instruksi yang harus dilaksanakan tanpa reserve, tanpa ragu, tanpa ditambah dan tanpa dikurangi, dengan keberanian memberi nasehat dan peringatan untuk tujuan yang benar?
4. Apakah ia siap untuk menganggap dirinya salah dan pemimpinnya benar, jika terjadi pertentangan antara apa yang diperintahkan pemimpin dan apa yang ia ketahui dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak ada teks tegasnya dalam syariat?
5. Apakah ia siap untuk meletakkan seluruh aktivitas kehidupannya dalam kendali dakwah? Apakah—dalam pandangannya—pemimpin memiliki hak untuk menimbang dan memutuskan antara kemaslahatan dirinya dan kemaslahatan dakwah secara umum?

Maka setelah ia menjawab semua paramater itu, seorang kader dapat menilai kadar dirinya apakah ia mempunyai kepercayaan kepada pemimpin atau tidak? Percaya sepenuhnya atau cuma bisa berkata percaya nggak percaya sih. Kalau yang terakhir yang terucap, maka bersiaplah sang kader untuk ditinggalkan gerbong dakwah yang melaju dengan cepat ini atau digantikan dengan kader-kader lain yang lebih baik dan lebih tsiqah lagi.
Allahuta’ala a’lamu bishshowab.




Maradi: 1. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2
2. Makalah lainnya.


Riza Almanfaluthi
09:24 25 September 2006

No comments: