18 April 2007

IBU KEPALA SEKSI BISA, NENEK-NENEK PUN BISA, MENGAPA SAYA TAK BISA?

IBU KEPALA SEKSI BISA, NENEK-NENEK PUN BISA,
MENGAPA SAYA TAK BISA?

Sakit kepala yang tak tertahankan ini membuatku tidur lebih awal. Lalu terbangun di sepertiga malam terakhir tepatnya pukul setengah empat pagi, dan menyempatkan untuk sholat. Setengah jam kemudian sudah ada di belakang kemudi, memanaskan mobil dan siap-siap berangkat ke kantor.
What the…? Berangkat ke kantor jam empat pagi? Ada apa gerangan dikau? Ya, karena saya masih canggung untuk mengemudi dan dikhawatirkan ada apa-apa dengan mobil tua ini maka saya sempatkan untuk masuk kantor lebih awal.
Sekalian ini merupakan test case untuk menambah jam terbang mengemudi saya yang sudah terbiasa di jalanan komplek namun di jalan raya yang penuh dengan berbagai situasi ini merupakan pengalaman baru bagi saya.
Sebelumnya saya dihantui dengan berbagai kekhawatiran. Tebak apa coba? Betul, kekhawatiran takut menabrak mobil lain, orang, dan anak-anak. Apalagi kalau mogok di tengah jalan, di tengah kemacetan, dan di klakson dari belakang. Tidak bisa memutar. Tidak bisa parkir. Mengerem mendadak. Mengisi bensin di SPBU. Dan masih banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang membuat keberanian saya mengendur. Alhasil enam bulan mobil itu dibiarkan teronggok begitu saja. Ataupun kalau terpakai tentu bukan saya yang mengemudi, tapi orang lain.
Nah, kemarin-kemarin tetangga saya memakai mobil ini. Setelah dipakai ia lalu bilang:”mobilnya enggak mogok kok, bahkan enak malah.” Nah loh, saya yang punya, orang lain yang menikmati dan merasakan enaknya. Dari situlah saya mulai bertekad untuk bisa mengendarai sendiri dan merasakan seberapa enaknya sih mengendarai mobil ini.
Apalagi Ibu Kepala seksi saya sanggup pulang pergi ke kantor atau kemana-mana naik mobil. Bahkan nenek-nenek pun bisa—saat mengendarai motor dan melihat hal ini saya sampai terpesona dan terlongong-longong. Adalagi malah, anak di bawah usia 17 tahun sudah sanggup bawa angkot mengambil trayek Bojonggede-Depok malam hari.
Jadi, mereka saja sanggup berjuang di rimba belantara lalu lintas Jakarta, masak saya tidak bisa. Akhirnya saya memberanikan sendirian berkendara, dan untuk memulainya saya harus berangkat jam empat pagi. Agar saya tidak shock dan punya cukup waktu dan kesempatan untuk absen pagi.
Pukul empat pagi lebih sedikit akhirnya saya sudah berada di jalanan lengang. Saya berniat ke SPBU untuk mengisi bensin dulu berjaga-jaga kalau ada apa-apa. Lima kilometer dilalui SPBU sudah ada di depan saya. Saya belok, parkir di dekat mesin penyalur bensin, Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Saya matikan mobil, dan mengangkat panel rem tangan. Tapi….
Saudara-saudara, ternyata rem tangan saya masih pada tempatnya. Saya lupa menurunkannya saat parkir di depan rumah tadi. Walah…pantesan, mobil ini berat sekali, suaranya pun terdengar “ngeden”. Tidak apa-apa ini pengalaman bagi saya.
Saya grogi dan sedikit panik saat membuka tutup bensin. Mana nih kuncinya…? Maklum baru kali ini saya membeli bensin sendiri. Jadi, tidak familiar mana kunci pasnya. Sang penjaga dengan sabarnya menunggu saya mengutak-atik kunci. Akhirnya ketemu juga.
Beberapa menit kemudian sudah kembali di jalanan, dan sempat di-goblok-in (maaf) supir angkot karena posisi kendaraan saya di tengah-tengah. Padahal saya merasa sudah di pinggir kok. Tidak apa-apa, cool man…, santai. Anggap saja angin lalu.
Kota Depok saya lalui dengan aman. Saya tidak memaksakan diri masuk gigi lima. Bukan Karena tidak berani. Tapi karena sudah saya coba-coba kok tidak masuk-masuk. Ih….takut. Cukup gigi empat saja dah. Di klakson dari belakang oleh truk dengan lampu yang menyorot terang saya minggir ke kiri. Takut juga…
Suara Adzan sudah terdengar jauh sayupnya di belakang. Saya berencana sholat shubuh di Masjid Al-Shofwa Lenteng Agung (ikhwan Salafy pasti tahu keberadaan masjid ini). Dan saudara-saudara, ternyata saya sanggup satu kali belokan saja untuk parkir di sana. Mantap…Saya bersyukur rencana ini dimudahkan oleh Allah dan diberikan kesempatan untuk sholat berjamaah tanpa ketinggalan di masjid itu.
Pukul lima lebih empat menit waktu hape saya, saya kembali mengarungi jalanan sepi Jakarta. Stasiun Tanjung Barat aman saya lalui. Lalu masuk daerah Pasar Minggu. Jelas sudah kemacetan sudah ada di sana karena banyak pedagang yang berjualan di pinggir jalan dan metromini yang ngetem. Sempat mogok dan tidak bisa dinyalakan mesinnya, saya panik. “Wah kejadian lagi penyakitnya nih,”pikir saya. Tenang-tenang. Santai. Jangan panic. Saya matikan semua lampu. Saya buka kunci dan tekan gas. Grungggg…akhirnya bisa lagi.
Dua puluh menit di sana tidak membuat saya gelisah. Waktu absen masih jauh coy… Jalan Raya Pasar Minggu masih sepi. Lalu saya tidak membelok melalui Volvo tapi terus menuju ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dan di pertigaan Duren Tiga, lampu merah sudah berwarna hikuning, saya teruskan saja walaupun di ujung sana kendaraan sudah mulai bersiap-siap. Masih sempat juga ternyata.
Dekat komplek kantor, saya terlalu minggir ke kiri, sehingga terdengar bunyi gesekan antara karet ban dengan trotoar. Cuma lecet-lecet dikit.
Pintu gerbang kantor masih tertutup. Saya turun untuk membuka pagar dan palang besinya. Belum ada satu mobil pun ada di halaman parkir yang luas itu. Saya memarkirkan mobil di bagian belakang kantor dekat jalan keluar. Tidak di tengah, karena masih ada ketakutan menabrak mobil lain saat keluar dari tempat parkir.
Saya ambil sepatu dan tas saya. Tidak lupa untuk mengelap mobil dengan kanebo yang telah saya siapkan sebelumnya. Maklum mobil ini mau dilihat oleh teman yang ingin membelinya. Loh…baru dicoba kok sudah mau dijual aja…? Tidak apa-apa toh? Di beli ya syukur, uangnya bisa terpakai untuk yang lain. Tidak terjual ya syukur juga, bisa saya perbaiki lagi kerusakan-kerusakannya.
Sekarang tinggal memikirkan cara pulangnya, nih. Maklum Jakarta sore sangatlah macet. Apalagi kalau hari Jumat. Di tambah ada jalan tanjakan di perlintasan kereta Citayam yang masih menjadi kekhawatiran dan pertanyaan bagi saya, “bisa tidak saya menaklukannya?”. Di tengah ratusan motor dan puluhan angkot yang ngetem sembarangan di sana. Ketakutannya adalah ketidakmampuan saya untuk menyelaraskan kopling dan bukaan gas. Kalau benar-benar terjadi, mobil saya pasti mundur ke belakang dan…. Takut untuk membayangkannya.
Tapi biarlah. Yang akan terjadi nanti, terjadilah. Paling untuk antisipasi saya pulang jam sepuluh malam. Saat jalanan Jakarta sudah mulai lengang.  Namun pelajaran hari ini yang bisa dipetik adalah kekhawatiran dan ketakutan itu adalah cuma besar di angan-angan, pada saatnya ia nihil tiada berbekas. Jadi jangan pernah takut dengan semua itu. Perbanyak doa dan sholawat. Itu saja.




riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:19 02 Juni 2006

No comments: