06 April 2007

trial by the press

20.6.2005 - trial by the press


Putusan bebas Nurdin Halid dalam kasus dugaan korupsi dana Bulog oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, disikapi Kompas, (Jumat, 17 Juni 2005)—yang menurut saya—berlebihan dan tidak fair, terlepas dari bobroknya sistem peradilan kita.


Bagaimana tidak, media massa sebagai salah satu pilar dari bangunan demokrasi tidak mempercayai jalannya pengadilan . Padahal pilar lain dari demokrasi adalah tegaknya hukum. Disini terjadi suatu ambivalen dari sikap penegakan demokrasi itu sendiri. Di mana mereka berkeinginan tegaknya demokrasi namun di sisi lain meruntuhkannya dengan jalan tidak memberikan kepercayaan penuh pada pengadilan itu sendiri.


Maka yang terjadi adalah pengadilan oleh media massa , yakni penghakiman oleh pers bahwa seseorang itu telah bersalah. Terjadi penanaman stigma, mau menang dan benar sendiri di sini. Padahal tentu Majelis Hakim yang terhormat telah mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhi keputusan mereka.


Tentu bagi kita, sangat mengharapkan negeri ini bebas dari koruptor, namun hendaknya kita pun wajib menghormati putusan pengadilan tersebut, Kita masih punya jalan lain di mana, Jaksa masih berkempatan mengajukan kasasi ke tingkat peradilan yang lebih tinggi lagi.


Masalah bahwa sistem peradilan kita yang buruk, itu yang harus sama-sama kita perbaiki. Usaha pemerintah dengan pembetukan Komisi Judisial adalah langkah yang patut di hargai. Sehingga ke depan dunia kehakiman mempunyai pengawas yang melihat apa-apa yang diperbuat oleh para hakim. Terpenting di sini adalah tidak terjadi lagi trial by the press, yang benar dan salah adalah menurut media. Apabila ini dibiarkan maka yang terjadi adalah tirani minoritas.


Jika pers mau bersikap adil, maka selayaknya pers juga bersikap sama kepada nasib Abu Bakar Ba’asyir. Karena seharusnya ia sudah harus dibebaskan dari tahanan ketika masa tahanan tersebut sudah habis. Namun apa yang terjadi, pers hanya bungkam, tak ada pembelaan sama sekali, Kalapun ada beritanya, itu pun tidak sebagai berita utama. Juga tak ada pemberian stigma kepada sistem peradilan kita bahwa telah terjadi ketidakadilan terhadap seorang kakek tua yang tak berdaya itu.


Maka dapat dilihat, ada apa dengan pers kita, seharusnya pula apa pun yang mengusik rasa keadilan, pers pun mengangkatnya dan menyorotnya, tidak memandang siapa orangnya.


Akhirnya, kembali sikap dewasa kita dalam berdemokrasi perlu dipupuk. Sikap penghormatan kita terhadap peradilan perlu kita tegakkan. Fungsi kontrol dari pers memang wajib dijalankan namun tentu dibarengi dengan upaya penegakkan kode etik jurnalistik.


Saya harap ini bukan upaya balas dendam terhadap PN Jakarta Selatan yang telah banyak menjebloskan para pemimpin redaksi ke terali besi dalam berbagai kasus pencemaran nama baik oleh pers.


Allohua’lam.


riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

No comments: