[TIPIKOR]-Kutunggu Bapak di Masjid
Monday, January 16, 2006 - [TIPIKOR]-Kutunggu Bapak di Masjid
Siang itu begitu panas. Matahari dengan teriknya membakar Jakarta. Tak ada yang tersisa dari hujan yang turun dua hari sebelumnya. Dengan peluh yang membasahi wajah, saya menuntun motor menuju pelataran parkir Polda Metro Jaya. Citizen masih menunjukkan pukul satu lebih lima menit. Setelah menyampirkan jaket, saya bergegas menghampiri petugas parkir untuk menanyakan di mana letak kantor TIPIKOR.
Petugas tersebut langsung menunjuk ke arah menara tinggi di sebelah selatan, dan mengatakan bahwa kantor tersebut berada di bawah menara itu. Pfhh…kurang lebih seratus meter jaraknya dari tempat saya berdiri.
Kembali saya melangkahkan kaki dengan tergesa agar tidak kehilangan waktu. Soalnya, batas waktu untuk menjenguk hanya sampai jam dua siang. Setelah bertanya kesana kemari—sampai beberapa kali tersesat, dan di ping pong berulang kali—akhirnya saya sampai di depan pintu besi tebal yang terkunci dari dalam dan berjendela kecil seukuran muka saja.
Saya ketuk pintu besi, dan jendela kecil itu terkuak. Muncul sebuah wajah dan langsung menanyakan apa keperluan saya. Saya katakan saja bahwa saya ingin menjenguk tetangga saya yang sedang berada dalam sel itu sambil menyebut namanya.
Petugas tersebut dengan muka masam hanya meminta saya untuk menunggu, kemudian dia menutup kembali jendela itu. Dan saya masih berdiri di depan pintu itu sambil terbengong-bengong, tidak ada penjelasan sampai kapan saya harus menunggu. Saya melihat ke sekeliling, tidak ada tempat untuk berteduh yang nyaman, yang ada hanyalah bedeng tempat para pekerja sedang menyelesaikan renovasi gedung TIPIKOR.
Saya menghampiri bedeng itu untuk sekadar menghindari terik matahari yang sepertinya semakin menyengat penduduk bumi. Di sana sudah menunggu sambil berdiri seorang ibu dengan dua orang anaknya. Setelah berbasa-basi sebentar akhirnya saya mengetahui bahwa kunjungannya pun sama yakni untuk menjenguk. Dia akan menjenguk suaminya yang terlibat dalam suatu aksi perampokan yang gagal. Ibu itu mengatakan bahwa suaminya hanya diajak oleh temannya. Sambil tersenyum kecut dia bilang, “sudah enggak ada hasilnya, ketangkep lagi”.
Dia pun menanyakan siapa yang akan dijenguk oleh saya. Saya hanya bilang, ”seorang tetangga”. Ibu itu kaget setengah tidak percaya. “Tetangga saja kok dijenguk segala”, tukasnya. Ya, memang saya hanya menjenguk seorang tetangga. Walaupun tidak satu RT dengan saya, sudah kewajiban seorang muslim untuk dapat menghibur saudaranya.
Saya tidak kenal dekat dengan tetangga saya itu, sebut saja Pak Anton (bukan nama sebenarnya). Dia adalah anggota legislatif periode 1999-2004 dari partai pemenang pemilu tahun 1999. Dia termasuk orang yang disegani di komplek saya. Semua orang tahu, dialah yang rajin menyumbang dana untuk menyokong kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di komplek kami. Mulai dari acara agustusan, kegiatan besar di masjid, pelopor pemasangan lampu penerangan jalan ber-watt besar, kegiatan senam pernafasan, sampai betonisasi jalan di RT-nya. Hingga akhirnya diangkatlah ia menjadi Ketua RT. Namun sayangnya dia jarang pergi ke Masjid.
Sampai suatu ketika, di penghujung masa akhir jabatannya—Pak Anton dipastikan tidak terpilih lagi karena dia membelot dan menjadi caleg dari partai baru pimpinan salah seorang putri proklamator. Sayang suara pendukungnya tidak memungkinkan kembali untuk mengantarkannya menduduki kursi empuk anggota dewan.
Bahkan surat kabar nasional memberitakan adanya aduan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat kepada Polda Metro Jaya tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi di DPRD Kota X, yang pula menyebutkan namanya sebagai salah satu calon tersangka.
Akhirnya beberapa minggu kemudian dijemputlah Pak Anton dari rumahnya menuju Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan, sampai kemudian ditetapkan bahwa dia resmi menjadi tersangka bersama ketujuh belas anggota lainnya yang termasuk dalam kepanitiaan anggaran di dewan.
Tidak ada kegegeran di komplek saya, semua diam, sampai-sampai pula nyaris tidak ada orang yang menjenguknya. Sepengetahuan saya, kecuali istrinya, baru ada dua orang yang menjenguknya. Itu pun tidak satu RT dengannya.
Berita itu sampai ke telinga pengurus masjid Al-Ikhwan, yang dulu sempat berseberangan tentang suatu masalah. Keluhan Pak Anton tentang tidak ada yang menjenguknya dari para pendukung yang dulu selalu menempelnya menjadi bahan pemikiran Dewan Keluarga Masjid untuk mengutus saya menemui dan bersilaturahim dengannya. Untuk itulah siang itu saya berdiri lama menanti pintu besi ini terbuka.
Akhirnya setelah menunggu lima belas menit lamanya, keluar rombongan yang ada di dalam dan pengunjung yang berada di luar saling berebutan untuk masuk. Ruangan itu berukuran kurang lebih seratus meter persegi. Di sinilah tempat menjenguk itu. Antara ruangan utama dengan deretan sel-sel di sepanjang lorong hanya dibatasi jeruji. Di samping kanan ada jendela berjeruji, tempat tersangka kasus narkoba bertemu dengan penjenguknya, dan tidak ada kursi sehingga harus berdiri untuk berkomunikasi.
Setelah menyerahkan KTP ke petugas jaga, sambil menunggu Pak Anton dipanggil saya diminta untuk duduk dulu di bangku panjang seperti bangku tunggu di puskesmas. Beberapa saat kemudian, Pak Anton yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek, keluar sambil mencari-cari siapa yang menjenguknya. Saya berdiri dan menghampirinya, tampak sekali ia terkejut melihat kedatangan saya. Di mulai dari salam, jabat tangan erat, dan menanyakan kabar kesehatannya, akhirnya kami mengobrol panjang.
Tentang bagaimana bermulanya kasus ini, pertentangan antara Undang-undang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah yang sudah diperintahkan oleh Mahkamah Agung untuk dibatalkan, character assassination, aspek politik yang amat kental dalam penangkapannya, kaitannya dengan pilkada langsung, dan usahanya untuk keluar sesegera mungkin dari sini.
Satu yang terucap darinya, “sesungguhnya ada hikmah di balik semua ini, saya lebih memahami tentang roda kehidupan, bahwa orang tidak selamanya selalu berada di atas, tentu ada masanya ia untuk di bawah, entah pelan-pelan atau sengaja dijatuhkan, dan didorong secara tiba-tiba dengan menyakitkan”.
“Kini saatnya kembali merenungi perjalanan hidup saya dan lebih mendekati pada Yang Di Atas, apalagi ramadhan sebentar lagi kan jelang, sedih saya tidak berkumpul dengan keluarga”, lanjutnya. Sesaat saya terpaku, sungguh ini menjadi nasehat mulia.
Tak terasa, hampir satu jam lamanya saya berbincang-bincang dengannya. Waktu besuk ternyata masih lama, tidak sampai jam dua tapi sampai jam tiga siang. Di akhir perbincangan, istrinya yang bekerja sebagai PNS di Pemerintah Kota X datang sambil membawa bungkusan makanan.
Saya mempersilahkan kepadanya untuk melepas kerinduan pada istrinya. Ini pula kesempatan saya pamit berpisah dengannya. Matanya berkaca, sungguh dia merasa tersanjung dan bahagia dikunjungi utusan DKM Al-Ikhwan. Saya peluk erat dirinya, dan membisikkan di telinganya, “kami tunggu bapak di masjid”.
***
Kembali saya arungi Jakarta dengan motor plat merah butut ini. Saya bersyukur motor ini masih bisa membawa saya melakukan sedikit kebaikan selain tugas utamanya mengantarkan saya menagih utang dari bule ke bule, dari India ke India, dari cina ke cina, dari makian ke makian, dari hibaan ke hibaan, dari panas dan dinginnya hujan.
Seperti rasa syukurnya saya dengan nikmat kebebasan yang ada pada saya. Kadang kita sadari, manusia memahami rasa syukur ketika kenikmatan yang dulu ia punyai sudah tiada di sisinya. Manusia sadar perlunya bersyukur tentang nikmat kebebasan dan kemerdekaan ketika ia sudah berada di dalam sel.
Pula tentang nikmat sehat baru ia sadari ketika sudah jatuh sakit dan di rawat di rumah sakit. Tetapi sungguh terlambat orang yang mengetahui perlunya bersyukur tentang nikmat kehidupan ketika ia sudah mati. Sebagaimana digambarkan AlQur’an tentang manusia yang menghiba-hiba kepada Rabb-Nya untuk dihidupkan sekejap saja ke dunia agar banyak berbuat kebaikan yang tidak pernah ia lakukan di muka bumi. Tapi sungguh ia terlambat.
Kadang sebagai manusia, kita memang perlu untuk bersilaturahim dan menjenguk orang sakit, mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan, atau ta’ziah ke pekuburan, selain sebagai perwujudan pemenuhan hak-hak saudara-saudara kita, juga sekadar mengingatkan tentang banyaknya nikmat yang kita miliki yang tidak dimiliki oleh yang dikunjungi. (Tapi saya rasa bukanlah tempatnya seorang lajang yang berkunjung dalam suatu walimatul ‘urus,y mensyukuri nikmatnya sebagai lajang yang tidak lagi dipunyai oleh sepasang mempelai.) Saya teringat Arrahman. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Sehari menjelang ramadhan, Pak Anton diberikan status sebagai tahanan kota. Malam kedua, ia ikut tarawih bersama kami. Setelahnya pun ia ikut tadarusan. Membaca ayat demi ayat bersama kami. Shubuh tadi pun ketika saya sedang menulis ini, azan mengalun darinya. Sungguh ini hadiah ramadhan bagi kami. Semoga ini adalah buah dari silaturahim dan selamanya tetap bergabung dengan kami.
Aid bin Abdullah Al-Qarny dalam bukunya “Don’t be sad”—yang menjadi buku terlaris di abad modern di dunia Arab—pernah mengatakan: maka berilah perhatian kepada orang lain dan berterimakasihlah atas kebajikan yang telah dilakukannya.
Allohua’lam.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
2003
Edited 11.00 14 Januari 2005
No comments:
Post a Comment