AINA LAHUM ‘INDAAMAA aL-HARBU ‘ALAA aL-‘IRAAQI
Monday, January 16, 2006 -
AINA LAHUM ‘INDAAMAA aL-HARBU ‘ALAA aL-‘IRAAQI
Dimana Mereka Saat terjadi Perang Irak…?
Invasi yang sudah memasuki minggu ketiga itu kini telah memakan korban sipil begitu banyak, ratusan orang telah tewas, ribuan lainnya luka-luka dan kehilangan tempat tinggalnya yang telah rata dengan tanah. Perang telah memisahkan orang tua dengan anak-anaknya, suami dengan istrinya, dan telah menghilangkan kebebasan manusia untuk hidup damai.
Siapa yang tidak menangis melihat bayi yang tak berdosa menjadi korban perang dengan tubuh yang telah terbakar dan tidak utuh. Siapa yang tidak terketuk nuraninya melihat seorang ibu histeris dengan memukul-mukulkan tangan ke kepalanya karena enam orang anaknya telah menjadi mayat.
Dan siapa yang tidak panas hatinya melihat warga setempat diperlakukan semena-mena. Menyuruhnya supaya bersujud dan diam sembari memukulkan popor senjata ke kepala saat digeledah di tanah air mereka sendiri oleh pasukan penjajah karena mereka dianggap termasuk bagian dari Fida’in Irak. Tak ada tempat bagi mereka yang berusia muda untuk hidup bebas karena agresor telah menganggap mereka bagian dari suatu rezim otoriter.
Semuanya itu bisa kita saksikan dan kita dengar di layar kaca, media cetak, dan radio-radio dalam maupun luar negeri. Dunia mengecam kesombongan Amerika, demonstrasi marak di seantero dunia. PBB yang diharapkan menjadi penengah dalam konflik ini tidak bisa berbuat apa-apa. Sidang darurat Dewan Keamanan kemarin bukannya mengeluarkan resolusi mengecam invasi tersebut malah mengeluarkan resolusi yang dapat diartikan malah menjustifikasikan invasi tersebut yakni tentang dilanjutkannya program pangan Oil for Food yang sempat terhenti untuk Irak.
Dan saya melihat semuanya, saya merasa bukan orang Arab, dan saya pun dibatasi oleh jarak dengan daerah konflik tersebut.Yang saya rasakan, saya hanya orang Islam yang gemas melihat ketidakadilan yang menimpa umat Islam sekarang ini, setelah Bosnia, Chechnya, India, Palestina, Philiphina, Ambon, Afghanistan dan sekarang saatnya Irak. Kita semua melihatnya.
Saya sampai bertanya-tanya tentang kemampuan orang Arab dalam menyelesaikan konflik yang sudah berpuluh-puluh tahun melanda kawasan tersebut. Yang paling lawas adalah konflik Palestina sejak Israel yang dibantu Inggris dan PBB berdiri pada tahun 1948, sampai sekarang Palestina tetap menjadi ladang pembantaian bagi orang-orang Arab. Atau konflik teranyar di akhir abad ini yaitu invasi Saddam ke Kuwait, dengan alasan Kuwait telah merampok minyak Irak melalui pengeboran di sepanjang perbatasannya.
Secara ekstrim saya sampai bertanya-tanya manakah jiwa kepahlawanan orang-orang Arab pendahulu atau khususnya Ikhwanul Muslimin dalam setiap pertempuran. Sedangkan yang saya dengar dan lihat di media sekarang ini adalah kekalahan-kekalahan dan korban-korban yang berjatuhan di pihak Arab. Jangan-jangan semua semangat kepahlawanan itu bualan belaka dan hanya ada di buku-buku saja—yang kemudian saya sadari tidak demikian, karena tanpa jiwa dan ruhul jihad dan kepahlawanan itu tak mungkin ada Alhambra di Cordova, Samarra di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, Taj-Mahal di India, Maqam Sa’id bin Abi Waqqash di Cina, Masjid Agung di Demak, bahkan Masjid Raya di Roma.
Secara ekstrim lagi adalah saya tidak perlu lagi peduli dengan Irak dan masalah kaum muslimin lainnya di kawasan Timur Tengah sana, karena saya selalu merasa sakit hati saja melihat tayangan-tayangan dan berita saat ini. Yang menggambarkan betapa kekuatan sekutu telah hampir mendekati Baghdad dan lagi-lagi korban yang ditampilkan menjadi mayat ataupun tawanan perang adalah orang-orang Arab.
Daripada saya sakit hati dan membuat pikiran tidak bisa menanggung beban berlebihan serta daripada saya selalu mengucapkan kata-kata ARAB BAHLUL ketika menyaksikan tayangan-tayangan itu, lebih baik cari channel lain dan nonton film holywood yang bagus-bagus, menonton tayangan kriminal, atau channel gosip-gosip murahan. Tapi pada akhirnya tetap juga tidak bisa, selain saya tidak suka tayangan-tayangan murahan tersebut, saya tidak bisa membiarkan hati ini beralih dari kecintaan terhadap saudara-saudara saya di sana yang sedang menderita. Tapi sejujurnya saya ikut merasakan penderitaan mereka.
Yang saya sesalkan adalah mana tindakan dari saudara sebangsanya sendiri melihat semuanya itu. Tidakkah mereka tergugah? Tidakkah orang-orang Kuwait itu sadar bahwa Yusuf al-Qorodhawi telah berfatwa bahwa haram hukumnya menyediakan fasilitas apapun kepada siapapun juga yang akan memerangi kaum muslimin?
Tidakkah mereka sadari bahwa orang-orang Kuwait itu telah mempergunakan uang zakat yang merupakan hak kaum muslimim di dunia sebesar 20% dari hasil pertambangan minyaknya, untuk menyewa anjing-anjing penjaga dan satpam-satpam Amerika untuk menjaga wilayahnya dan menyerbu Irak? Tidakkah mereka lupakan sejenak peristiwa 1991? jangan pikirkan tentang perbuatan tiran dan diktator Saddam Hussain dulu, pikirkan sajalah rakyatnya yang notabene adalah satu rumpun dan bangsa dengan mereka.
Yang saya pertanyakan pula adalah mana fatwa ulama-ulama Arab Saudi? sedangkan ulama Syi’ah saja yang merupakan “musuh ‘aqidah” orang sunni memfatwakan kepada kaum muslimin dunia wajib berjihad melawan agresor yang akan menindas dan mengusir mereka. Mana peran ulama-ulama sholih yang menyesaki Mekkah dan Madinah dengan keilmuan dan kezuhudan mereka, yang menggemuruhkan Masjidilharam dengan kewara’an mereka dalam khutbah hajinya, yang menggaungkan dunia dengan suara-suara indah mereka dalam kaset dan CD murottal 30 juznya? Mana suara mereka?
Dan akhirnya saya kembali harus mengutip perkataannya Soekarno—yang sempat saya idolakan namun kemudian saya samakan dia dengan diktator Gamal Abdul Nasser bahkan Saddam Hussain sendiri, yang mengorbankan dan memenjarakan para ulama sholih demi kepentingannya. Soekarno pernah bilang: JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Saya pun merunut ulang sejarah.
Jazirah Arab pernah menjadi pusat peradaban dan pemerintahan, serta kekhalifahan Islam tepatnya di Medinah pada masa Rosululloh SAW hingga khalifaturrasyidin terakhir yakni Ali bin Abi Thalib. Setelah itu pusat Islam dipindahkan ke Damaskus sebagai Ibukota dari Dinasti Umayyah. Kemudian Baghdad menjadi Ibukota selama Kekhalifahan Bani Abbasiyyah. Cordova menjadi kota peradaban cemerlang di barat dari keturunan Dinasti Umayyah.
Peradaban Islam diwarnai pula dengan sejarah Istanbul yang menjadi Ibukota Kekhalifahan Ustmani. Dengan segala potensi keilmuan dan sejarah yang dimilikinya, kota Madinah tidak dapat kembali menjadi pusat pemerintahan Islam sejak wafatnya Ali di tahun 661 M sampai sekarang.
Bahkan kota Mekkah yang suci sekalipun sejak zaman Rosululloh tidak pernah menjadi pusat kekuasaan Islam, walaupun pernah diusahakan oleh Abdullah bin Zubair bin Awwam bin Khuwailid—ibunya bernama Asma’ binti Abu Bakar. Bibi dari ibunya yaitu Aisyah ummul mukminin. Dan bibi dari ayahnya yaitu Khadijah istri pertama Rasulullah SAW. Semoga Alloh meridhai mereka.
Ibnu Zubair tidak dapat melanjutkan perlawanannya melawan Bani Umayyah setelah Mekkah dikepung oleh Hajjaj bin Yusuf (semoga Alloh melaknatnya) selama lima bulan dan sepuluh malam. Ibnu Zubair wafat setelah bertempur dan dikepung rapat oleh pasukan lawan. Hajjaj bin yusuf langsung sujud syukur atas terbunuhnya Ibnu Zubair lalu mengirimkan kepalanya ke Damascus. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Selasa 17 Jumadil Ula 73 Hijriah / 692 Masehi.
Setidaknya kalau melihat potensi Arab Saudi sekarang ini, dengan cadangan minyaknya yang melimpah, adanya dua kota suci Ummat Islam, potensi hampir tiga juta jama’ah haji, maka sudah selayaknya penguasa Arab Saudi dapat memanfaatkannya sebagai pusat peradaban Islam yang kuat, namun itu tak terjadi.
Malah yang terjadi kemudian adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai wali mereka untuk menjaga negaranya dari ancaman musuh. Khamar yang semula diharamkan untuk masuk ke Arab Saudi, sejak perang teluk pertama menjadi barang yang mudah dijumpai dan dikonsumsi oleh pasukan-pasukan sewaan.
Hal inilah yang dianggap oleh Usamah bin Ladin bahwa pemerintahan Arab Saudi telah mengingkari Islam. Padahal sebelumnya Usamah dengan segala kekayaan yang dimilikinya dan jalur Afghanistannya pernah menawarkan diri untuk menjaga tanah Arab itu dari kemungkinan invasi Saddam sehingga tidak perlu mendatangkan pasukan asing. Namun hendak dikata apalagi, pemerintah Arab Saudi menolaknya dan malah mengusir serta mencabut kewarganegaraannya.
Yang aneh adalah sikap dari ulama-ulama di Mekkah dan Madinah yang notabene sampai sekarang menjadi rujukan ilmu fiqih dari seluruh dunia, bahkan menjadi pusat dari Dakwah Salafiyah dunia—sampai-sampai untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari Ambon saja Ustadz Ja’far Umar Thalib meminta fatwa dari ulama Salafi yang ada disana. Dan kebanyakan dari mereka hampir tidak menyentuh dunia politik sama sekali—terkecuali di Indonesia ini dengan keterlibatan Laskar Jihad di Ambon—bahkan dalam hal menyikapi Palestina ataupun Irak saat ini. Mengapa demikian?
Dan kalau kita kembali melihat sejarahnya, maka yang menjadi pilar dari berdirinya Dinasti Su’ud sekarang ini adalah pemuka bangsawannya sendiri, para ulama, serta para pemimpin suku di daerah-daerah. Yang paling menonjol dari pilar tersebut adalah pilar ulama ini setelah bergabungnya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pelopor gerakan Ishlah dunia muslim.
Salah satu dari dua syarat yang diminta oleh Pangeran Muhammad bin Su’ud kepada Syeikh adalah “hendaknya Syeikh tidak meninggalkan mereka, dan merekapun TIDAK DIGANTI oleh orang lain”. Mengenai syarat itu, Syeikh berkata kepada Pangeran: “rentangkan tanganmu, aku berba’iat padamu. Darah harus dibayar dengan darah, dan perang dengan perang.” Syeikh meyakini bahwa kebenaran itu harus mempunyai kekuatan yang mendukungnya. Karena Alloh akan melenyapkan dengan kekuasaan, apa-apa yang tidak dilenyapkan dengan Al-Qur’an.
Bertemunya dua kepentingan itu ternyata mendatangkan manfaat ganda. Pada satu sisi, tahun 1773-1818, gabungan kekuatan itu mempersatukan masyarakat Islam untuk pertama kalinya sejak masa-masa awal. Pada sisi lain, bagi seluruh dunia Islam, gerakan pemurnian ini bergema dengan timbulnya gerakan perang terhadap bid’ah di berbagai negeri muslim.
Namun yang terjadi kemudian setelah wafatnya Syeikh adalah peran dominan dari ulama dalam kehidupan politik tidak ada sama sekali, yang menonjol adalah peran dari kaum bangsawan ini, terutama pada saat pemerintahan Raja Faisal. Pergerakan Islam dunia selain dakwah salafiyah tak ada geliatnya sama sekali. Peran ulama di sana saat ini adalah membentengi mainstream salafiyah dari pemikiran dan pergerakan Islam lainnya untuk tetap eksis dan tetap menjadi penopang dari monarki Arab Saudi.
Maka tidaklah aneh hingga saat ini belum ada satupun keterlibatan ulama salafi untuk memberikan fatwa bagaimana menyikapi serbuan Amerika dan Inggris ke Irak. Karena hal ini merupakan hal yang sensitif yang setidaknya akan membuat perpecahan di antara ketiga pilar itu. Kerajaan akan kehilangan mukanya di hadapan tuan besar Amerika ketika dianggap tidak bisa mengendalikan ulamanya yang selama ini diberikan tunjangan sangat besar.
Dan bagi para ulama ini akan menyebabkan hilangnya privillege yang selama ini dinikmatinya. Pada akhirnya entah sampai kapan kita—terutama saya—akan mendengar fatwa dari ulama-ulama sholeh itu yang akan menyejukkan ummat, yang akan menghentikan kesombongan Amerika, yang akan membangkitkan ruhul jihad muslimin di seluruh penjuru dunia, atau mungkin kita takkan pernah mendengarnya hingga Irak dan tanah air Islam lainnya benar-benar akan jatuh ke tangan Amerika dan kaum kuffar lainnya.
Sekarang saya dan Anda hanya menunggu datangnya pertolongan Alloh melalui ababil-Nya dengan perantaraan do’a-do’a yang kita panjatkan di setiap akhir shalat. Dan kita tetap akan menyaksikan pembantaian itu sembari minum teh manis hangat di pagi hari dan merutuki para emir Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UEA, Bahrain, pengkhianat Kurdi Sekuler, dan para antek Amerika yang membiarkan semua itu terjadi, karena kebodohan dan ketidakmampuan kita pula untuk membantu mereka.
Allohu ‘alam bishshowab. Semoga Alloh memaafkanku karena kelancanganku ini.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.(Q.S. 5:51)
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (Al-Mumtahanah:1)
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. (HR Muttafqun ‘Alaih).
Daftar Bacaan:
1. Al-Qur’anul Karim;
2. Buku Sunnah yang mulia;
3. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Idologis, dan Penyebarannya), Al-
Ishlahy Press, 1995;
4. Fajrul Islam, Dr. Ahmad Amin, 1965;
5. Al-Firaq Bainal Firaq, Isfirani;
6. Ensiklopedi Islam; 1997
7. Qadatu-Fathi’l-Iraqi
8. Wajah Dunia Islam, Pustaka al-Kautsar, 1998;
9. Zionis Israel atas Hak Palestina, Luqman Hakim gayo, Penerbit Arikha Media
Cipta, 1993;
10. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Joesoef Sou’yb.
Ps.:
Artikel di atas ditulis saat dimulainya penyerbuan Agresor Amerika ke Iraq. Sekarang banyak beredar VCD tentang kekalahan-kekalahan yang diderita prajurit pengecut Amerika oleh para mujahidin Iraq.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
2003
Diedit, 12.00 14 Januari 2006
No comments:
Post a Comment