sehelai nasehat dalam sepucuk surat untuk kalian
27.6.2005 - sehelai nasehat dalam sepucuk surat untuk kalian
Kepada dua saudaraku,
di
selatan dan di ujung timur jauh kota ini.
Rentangan waktu tak cukup mampu untuk kita membalas apa yang telah Allah berikan kepada kita sejak lahir hingga helaan nafas terakhir sekarang ini. Maka pujilah Ia Yang Maha Pemurah atas segalanya.
Berjuta lembaran pun tak cukup mampu menampung kemurahan dan keagungan akhlak Sang Terkasih Muhammad Rasulullah SAW, nabi akhir zaman. Maka bershalawatlah, Sesungguhnya Allah dan para malaikat pun bershalawat padanya.
Saudaraku, pada suatu saat, tiba-tiba aku ingat tentang kalian. Sudah lama saya tidak mendengar kabar kalian. Dan kebetulan pula ingatan itu tiba saat kalian sudah menyelami bahtera rumah tangga setahun lamanya.
Saudaraku, setahun bukanlah waktu yang pendek untuk dapat saling mencintai karena-Nya. Namun setahun pun bukanlah waktu yang lama untuk dapat saling memahami.
Saudaraku, masihkah terekam kuat dalam ingatan peristiwa yang mengguncang ‘arsy setahun yang lalu. Tentang perasaan yang membuncah dan kebahagiaan yang meledak-ledak. Hidup terasa menjadi mawar harum semerbak.
Izzatul Jannah dalam bulan setengah (2004) sampai mengatakan: tidak ada yang seindah pernikahan sebab ia memberi kelegaan, ruang yang luas untuk memanjakan jiwa, rasa keindahan, dan rasa kasih. Sungguh ia adalah tempat menyejajarkan kaki yang lelah sebab benturan antara manusia, tempat meluruhkan jerih sebab ujian dan masalah. Maka Sang Nabi menyebutnya sebagai setengah diin. Tetapi, tahukah engkau bahwa pernikahan tidak selamanya mawar?
Saudaraku, kututup buku itu sambil merenung, mengambil kaca metafora untuk menghitung diri seberapa salah tangan ini mengayuh biduk itu. Seberapa salah tangan ini menunjuk arah yang benar, agar tak lewati riak–riak kecil hingga gelombang tinggi menggulung. Enam tahun kami kayuh dan ternyata menyadari bahwa kami harus banyak saling belajar untuk menjadikan bahtera itu tenang. Sungguh pertolongan Allah-lah yang membuatnya tetap tenang, dan itu yang kami harapkan hingga akhirnya nanti di suatu saat aku dapat selamatkan diriku dan mereka dari panasnya api neraka. Ya Allah jauhkanlah panasnya api neraka-Mu dari kami.
Saudaraku, sari dari kita menaiki biduk itu adalah sudahkah setengah diin yang lain itu kita peroleh? Mampukah kita menyelamatkan diri kita dan mereka dari kengerian abadi itu? Maka yang terpenting dari semua itu adalah kita berusaha untuk tetap mengayuh biduk ini dalam ketenangan syariat-Nya.
Saudaraku, adakah biduk itu telah dapat menjadi ruang untuk memanjakan jiwa dan meluruhkan jerih? Sedangkan jarak dan waktu menjadi sekat pekat yang tak gampang dilewati dengan mudah. Perlu pengorbanan.
Saudaraku, ternyata aku tak bisa membayangkan hidup seperti kalian. Aku bertanya pada diriku sendiri, bisakah aku hidup seperti kalian? Suatu saat aku menyadari ternyata aku adalah orang rumahan. Aku tak bisa bepergian sebentar tanpa mengingat orang-orang yang aku cinta, melupakannya begitu saja dan menjadi sosok angkuh berstatus freeman susuri kota-kota indah di sepanjang selatan Jawa. Maka dapatkah aku menjadi sosok-sosok kuat seperti kalian yang dengan sabarnya menempuh semua itu.
Saudaraku, yang hanya dapat aku berikan kepada kalian adalah dua ayat indah bagi jiwa-jiwa yang lelah tempuhi kesabaran:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah:4-5).
Saudaraku, ternyata Alam Nasyrah adalah pelipur bagi jiwa-jiwa sarat beban.
Saudaraku, saling panggillah kalian dengan panggilan yang terindah, selayaknya Sang Nabi memanggil belahannya: Khumaira.
Saudaraku, janganlah pernah bilang ‘seandainya’ karena Rasulullah SAW melarang mengatakan itu sebab ia adalah pintu syaitan—itu yang kembali aku temukan dari Izzatul Jannah.
Saudaraku, pupuklah cinta hingga sarat dan memenuhi kamar-kamar hati kalian. Di saat pertemuannya kalian akan temukan dahsyat keindahannya.
Saudaraku, ingatlah tentang hari akhir yang sungguh abadi. Yang indahnya tak bisa terbayangkan dan terlintas dalam pikiran manusia. Yang kengeriannya pun begitu pula.
Saudaraku, jadikan momentum ini awal untuk menasehatiku pula. Untuk saling berbagi. Aku butuh itu. Aku butuh itu untuk tidak menjadi jiwa-jiwa dengan ruhani yang ringkih. Pun dengan kalian.
Saudaraku, jangan biarkan biduk itu kosong dari mawar-mawar indah semerbak mewangi. Tentang tak selamanya mawar, itu takkan pernah terjadi jika kalian menyadari cinta kalian adalah cinta karena-Nya.
Saudaraku, semoga sehelai nasehat ini—tidak hanya buat kalian juga terpenting adalah buatku juga—adalah menjadi pelipur. Pelipur dari segala keresahan, karena ia berasal dari Dzat Yang Maha Penyembuh. Bukan dariku, manusia dhoif dan faqir ini.
Saudaraku, dalam setiap tangan yang menengadah ke atas di setiap malamnya, aku berharap tak melupakan kalian. Dan sudikah kiranya kalian melesatkan panah-panah harap itu kepada-Nya dengan menyelipkan namaku di setiap tangkainya. Bisa jadi dari kalian, semua harapku didengar-Nya.
Saudaraku, siang Ahad ini semakin terasa pijar-pijar panasnya. Sudah saatnya aku akhiri ini. Aku akan menekuni yang lain:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyrah:7-8).
NB:
Seperti apa yang diminta oleh dedek-mu,
Kutulis ini untukmu, dan ku-cc-kan untuknya.
Alfaqir ilallah
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
No comments:
Post a Comment