malam ahad: we are never too old to learn
27.6.2005 - malam ahad: we are never too old to learn
Malam Ahad, 25 Juni 2005
Citizen-ku masih menunjukkan kurang dari jam dua belas malam. Hasratku untuk terlelap di kasur empuk masih menggantang di atap. Belum dapat menelanku menuju mimpi-mimpi indah atau bahkan sebaliknya?
Hari ini cukup melelahkan. Masih sempat kuikuti seminar tentang debt, foreign exchange, and international financial stability oleh Peter Dirou—Lead Advisor to DG Treasury, Ministry of Finance—dengan terkantuk-kantuk. Menarik namun segera terhapus dengan kecemasan bahwa aku perlu belajar untuk ujian metodologi penelitian, senin besok.
Malam ini, setelah beberapa lembaran catatan kuliah kubuka, aku coba untuk surfing di internet. Secara tak sengaja (atau sengaja?) aku kembali temukan catatannya. Catatan seorang Azimah Rahayu tentang we are never too old to learn, tentang we are never too late to start. Sempat terpana dengan apa yang ia tulis. Lancar, mengalir, dan tentu enak dibaca.
Semuanya diawali tentang keterpanaannya pada sosok-sosok yang ia kenal sejak di Jurangmangu. Yang kini—menurutnya—telah membuatnya iri. Mereka pada usia matang-matangnya menuju kedewasaan, telah menjadi visioner dan mempunyai orientasi hidup terang sekali seterang matahari. Mereka merajut hidup dengan meniti karir dan mengayuh biduk rumah tangga, sejak dini. Sedangkan dirinya stagnan di suatu titik. Masih mencari identitas diri. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu berkecamuk di benaknya.
Hai, ke mana saja kamu selama ini? Apa saja yang telah kamu lakukan dalam hidupmu? Bisa apa kamu saat seusia mereka? Apa saja yang kamu mengerti dan telah kamu jalani saat berusia belasan dan dua puluhan? Prinsip apa yang telah kamu pegang dengan kokoh saat usia awal dua puluhan?
Sampai suatu ketika, di saat ia nyaris putus asa di awal dua puluh limanya, seorang teman memberikan kalimat yang menghunjam dan dalam padanya: we are never too old to learn, we are never too late to start.
Sejak saat itu, ia terpacu untuk berubah. Tidak ada kata tua untuk belajar, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Ia ikuti kursus-kursus yang akan membuatnya berubah. Ia melatih dirinya untuk dapat berpindah kuadran kehidupan. Dari sosok yang masih mencari jati diri hingga sampai suatu titik keniscayaan bahwa ia telah berubah.
Lima tahun sudah dari pergolakan batin itu adalah kini ia sudah menjadi sosok terkenal di dunia sastra Indonesia. Ia kini tergabung di komunitas penulis muda Islam: Forum Lingkar Pena.
Jelang usianya yang ketigapuluh, masih dalam kesendiriannya, yang kukenal darinya adalah tidak ada lagi cerpennya yang tidak mengalir seperti di kampus dulu. Funky tapi masih syar’i coy…Supervisor di berbagai kegiatan kerelawanan. Dan masih menjadi salah satu masinis untuk menarik gerbong besar panjang bernama dakwah.
Ia berubah. Kita pun bisa berubah. Perubahan terkadang perlu cara revolusioner tetapi measurable. Kedisiplinan adalah salah satu kuncinya pula. Itu yang pernah aku rasakan dulu, lama sekali. Satu-satunya pengalaman berharga yang membuatku memahami bahwa tiada yang sulit di dunia ini jika kita berpikir positif dan mempunyai azzam (tekad) kuat.
Bagaimana tidak, ketika aku baru memasuki SMU, aku adalah termasuk orang yang anti dengan matematika. Namun apa yang terjadi, ketika memasuki kelas dua, aku tertinggal dengan teman-teman yang lain.
Akhirnya timbul suatu niat untuk memulai perubahan. Siang-malam kuhabiskan dengan matematika, matematika, dan matematika. Disiplin dan latihan terus menerus. Apa yang bisa kupetik adalah saat pembagian nilai matematikadi ujian akhir: aku mendapat nilai excellent.
So, kita semua bisa berubah. Sekali lagi dengan revolusioner dan measurable. Napoleon saat mendaki sebuah tebing yang sulit di Pegunungan Alpen bersama pasukannya, pernah berkata: tidak mungkin adalah kata-kata yang hanya ada dalam kamus orang-orang bodoh.
Tapi mungkin anda punya cara lain untuk berubah. Berubah apa saja. Tentu ke arah yang membuat diri kita bernilai di hadapan manusia, utamanya adalah di hadapan-Nya. Sekali lagi ke arah yang lebih baik.
Saat kita tak punya rasa cinta pada sesama maka berubahlah.
Saat kita tak punya rasa takut dengan dunia maka berubahlah.
Saat kita tak punya rasa percaya diri maka berubahlah.
Saat kita merasa sendiri maka berubahlah.
Dan masih jutaan saat-saat lainnya yang membuat kita mandeg dalam menghitung sisa-sisa hari kita. Maka berubahlah, pindahlah saya dan Anda ke kuadran kehidupan yang lebih baik. Insya Allah kita bisa.
Ups...tiba-tiba hasrat memeluk mimpi-mimpi itu menekanku pada titik yang aku tak sanggup untuk menahannya beberapa menit lagi. Tak dapat memberikan kesempatan pada jemariku menari di atas tuts sesaat saja. Untuk akhiri fragmen kehidupan pada hari ini.
Terimakasih Azimah, malam ini Anda adalah sosok yang kesekian, selain mereka—Ayyasy, Haqi, Ria (adek kelasmu)—yang membantuku untuk berubah. Aku tak sabar menunggu esok, untuk mengirimmu SMS. Sekadar ucapkan: terimakasih. Itu saja.
**********************************************************************
01.15, 26 Juli 2005
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
No comments:
Post a Comment