Melihat Ketua BIN dari Jauh
Wednesday, January 25, 2006 - Melihat Ketua BIN dari Jauh
Suatu sore, ketika hendak mengambil KTP saya di gerbang komplek BIN, saya dikejutkan oleh teriakan dari anggota TNI yang bertugas di pos tersebut kepada teman-temannya yang sedang duduk santai di samping pos. Mereka yang berpakaian preman langsung bersembunyi masuk ke dalam pos, sedangkan mereka yang berpakaian dinas “sekuriti” langsung mengambil segala atribut yang harus dikenakannya.
Saya yang segera pergi dari pos itu sambil menengok ke belakang bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Ternyata, dari kejauhan ada sosok tegap, berkulit bersih, berpakaian sport menunggang kuda tinggi berwarna coklat. Di belakangnya terdapat beberapa pengawal dengan berjalan kaki dan ada juga yang menaiki kendaraan seperti mobil golf—hanya yang ini lebih besar lagi.
Langsung semua pemakai jalan di suruh minggir oleh pengawal, pos penjagaan yang berada di depan komplek langsung di tutup, sehingga ada beberapa kendaraan yang hendak memasuki komplek terpaksa berada di luar untuk beberapa saat. Sampai sosok berkuda itu menjauh dan di saat saya meninggalkan komplek itu, pintu gerbang masih di tutup.
Pembaca tahu siapa dia? Ya betul, dia adalah orang nomor satu dalam penanganan intelejen di negara republik ini. Hendropriyono. Sosok yang menjadi momok bagi umat Islam di era orde baru berkuasa dan sedang jaya-jayanya. Siapa yang tidak ingat dengan peristiwa Warsidi Lampung yang berdarah-darah itu.
Sekarang, ia menjadi Ketua Badan Intelejen Indonesia, suatu jabatan setingkat menteri, dan bertanggung jawab langsung terhadap presiden. Kalau pembaca adalah orang-orang yang sering melewati jalan antara Kalibata dan Volvo Pasar Minggu, maka pasti Anda akan melihat suatu renovasi besar-besaran di lingkungan komplek. Apalagi kalau Anda adalah orang yang juga sering masuk ke dalam komplek tersebut—karena komplek tersebut juga berbaur dengan komplek perumahan pegawai BIN—maka Anda pasti akan merasakan banyak perubahan tersebut.
Sepengetahuan saya yang kadang-kadang (kalau tidak dikatakan sering) mampir bersilaturahim ke rumah saudara, maka perubahan itu akan dirasakan ketika berada di pos pertama pintu gerbang. Sosok yang menyambut kita selain para anggota TNI juga adalah para petugas ( ini bukan anggota TNI, mereka direkrut utamanya dari para anak-anak pegawai BIN sendiri) yang berseragam hijau dengan bersepatu bot dan bertopi koboi. Sangat amat nyentrik.
Pintu keluar masuk pun di alihkan menjadi satu di sebelah selatan dengan pos yang cukup megah—yang mungkin biaya pembuatannya juga lebih mahal dari perumahan PNS tipe 21. Semua kendaraan beroda empat diperiksa dengan teliti menggunakan piranti anti logam dan kaca penglihatan untuk melihat bagian bawah mobil.
Semua yang masuk—kecuali tukang ojek yang telah dikenal, diwajibkan untuk menyerahkan ID card untuk ditukar dengan tanda pengenal tamu. Ini sebenarnya sudah sejak lama sebelum Hendropriyono menjabat sebagai ketua BIN, namun sekarang lebih ketat lagi (prosedural inilah yang menyebabkan saya kadang malas untuk bersilaturahim dengan saudara saya di komplek BIN). Semua itu terjadi di pos pertama untuk masuk komplek perumahan dan komplek perkantoran BIN. Saya tidak tahu bagaimana pula prosedural di pos perkantorannya yang di kelilingi pagar kawat tinggi itu. Jadi ada pagar tinggi di dalam pagar luar komplek.
Kemudian perubahan lainnya adalah, jalan sisi selatan yang biasanya juga bisa dilalui oleh para pengunjung umum, sekarang diblokir dan di setiap ujung jalannya berdiri pos penjagaan dengan para penjaga yang juga dibekali alat komunikasi primer yakni handy talky. Sekarang jalan itu menjadi jalan khusus karena di situlah Hendropriyono bertempat tinggal di rumah dinasnya. Semua jalan diberikan tanda-tanda lalu lintas standar, yang dulunya tidak ada sama sekali, dan jalan sekunder dijadikan satu arah.
Sekitar beberapa bulan yang lalu saya pernah melihat beberapa atau belasan ekor menjangan Bogor berada di bagian belakang komplek perkantoran di balik pagar kawat tinggi itu. Semua bisa di lihat dengan jelas. Namun sekarang entah kemana menjangan itu, mungkin sudah dipindahkan ke Monas. Dan sekarang di ganti menjadi istal (kandang kuda) yang amat bagus sekali.
Pada saat saya melintas masuk menuju rumah saudara saya sore itu, saya melihat kuda tegap yang sedang dimandikan oleh beberapa orang, dan awalnya saya berpikir bahwa kuda itu diperuntukkan bagi para petugas berseragam koboi itu. “Asyik juga jadi petugas disini”, pikir saya. Namun perkiraan saya salah besar, ternyata kuda itulah yang dipakai Hendropriyono untuk jalan-jalan di sekitar komplek.
Pembaca juga melihat bukan, sekarang telah berdiri kokoh sebuah tugu besar di depan komplek perkantoran BIN. Itulah BIN saat ini, mengalami perombakan luar biasa mungkin juga luar dalam. Entah bermaksud menjadikan BIN sebagai suatu lembaga yang harus dipandang oleh dunia internasional sebagai lembaga bonafid atau lainnya saya tidak tahu.
Tapi yang pasti, sepengetahuan saya (itu pun kalau saya tidak lupa) perombakan itu tidak dilakukannya waktu ia menjabat sebagai menteri transmigrasi di era Gus Dur. Saya juga berpikir, wah sepertinya Hendropriyono jadi anak emasnya Ibu Presiden apalagi dalam masalah pemberantasan terorisme ini. Tentu bukan dengan anggaran yang kecil ia dapat melakukan semua itu. Apalagi setelah ia sukses menangkap Umar Al-Faruq dan mereka yang dianggap olehnya sebagai teroris.
Tapi apa yang saya lihat di sore itu, seperti saya melihat suatu peristiwa di era majapahit atau era mataram dulu, di mana pemimpin feodal begitu dimuliakan, semua warga yang berada di pinggir jalan harus menundukkan kepalanya sebagai tanda penghormatan. Dan para orang tua berharap kalau-kalau pejabat kerajaan itu melirik anak gadisnya, setidaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orangtua.
Saya juga sempat berpikir, enak juga jadi menteri. Apalagi dengan menunggang kuda sepertinya ia bagaikan Mahapatih yang sedang inspeksi warganya tapi sayang hanya warga di tanah perdikannya (kira-kira rumah di komplek itu sudah bayar PBB belum yah…?:)). Bagaikan Adipati yang berusaha menyusun kekuatannya sendiri.
Saya pun sempat berpikir, “ah itu kan, fasilitas yang pantas ia dapatkan sebagai seorang menteri”. Apa iya…? Sedangkan banyak yang menjadi korban tak bersalah dari penerapan UU anti terorisme, lho apa hubungannya? Entahlah…Anda semua yang bisa menilainya.
Dan sepertinya, saya cukupkan di sini dulu tulisan ini. Terus terang saja, ketika saya menulis ini dan akan mempublikasikannya saya merasa khawatir. Terus terang pula saya merasakan sekali bahwa orde (untuk tidak dikatakan rezim) saat ini, menjadikan saya was was untuk mengungkapkan pendapat saya. Tidak ada bedanya pada waktu era orde baru.
Apalagi dengan adanya Undang-Undang anti terorisme. Dengan undang-undang itu intelejen kita bisa berbuat apa saja. Bahkan bisa juga ada intelejen cyber yang melacak siapa yang membuat tulisan ini. (wah paranoya bgt). Tak mengapalah….walaupun saya PNS dan masih satu almamater dengan Hendropriyono (mantan Ketua Ikatan Alumni STIA LAN), bukan berarti tidak harus dikritik, betul tidak…(gaya AA Gym)?
Yang benar datangnya dari Allah, dan yang salah dari diri saya pribadi, subjektifitas sangat berperan sekali dalam penulisan ini, makanya saya memberi judul Melihat Hendropriyono dari Jauh, tidak dari dekat, karena hanya sebatas informasi terbatas yang saya peroleh, kemudian saya kelola, dan jadilah tulisan ini.
Wassalaam.
riza almanfaluthi
: Senin, 21 Juni 2004.
: dedaunan sepanjang isya yang terlalu pendek untuk dilewatkan hanya dengan
menonton tv.
di edit 09:43 24 Januari 2006
No comments:
Post a Comment