Hanya Seorang FIDEL CASTRO
Wednesday, January 25, 2006 - Hanya Seorang FIDEL CASTRO
Siapa yang tidak tahu dengan Fidel Castro pada saat ini? Sosok atheis yang telah memimpin Kuba selama 47 tahun ini bahkan kembali membuat merah telinga para petinggi Gedung Putih dengan tawarannya yang seperti mengejek itu.
Sebagaimana diberitakan oleh Republika kemarin (24/1), Castro menawarkan kepada penduduk miskin Amerika Serikat—negara moderen, makmur, dan superpower—bantuan berupa operasi mata sebanyak 150 ribu operasi. Termasuk di dalamnya berupa bantuan jemputan, akomodasi, dan perawatan yang dibutuhkan secara gratis.
Tawaran ini bagi Amerika mungkin merupakan upaya mempermalukan mereka, namun bagi Castro tentu bukan sekadar iseng belaka atau rutinitas pemberian kutukan kepada Amerika sebagaimana biasanya, tapi karena Castro meyakini kemampuan negaranya yang memang perlu dibanggakan. Yakni kemampuannya dalam menyediakan rumah sakit yang canggih, peralatan medis yang lengkap, dan didukung dengan sumber daya manusia yang unggul.
Dan ini semua bermula dari ambisinya menjadikan Kuba sebagai kekuatan medis global. Sejak tahun 1980, Kuba mulai menanamkan investasi pada sektor bioteknologi. Hasilnya adalah pada tahun 1990 Kuba menjadi negara pertama yang mengembangkan dan menjual vaksin Meningitis B disusul dengan Hepatitis B.
Tidak berhenti disitu, bersama Venezuela sejak 10 tahun yang lalu menggelar operasi mata gratis bagi warga warga miskin di Amerika Latin. Tidak tanggung-tanggung enam juta orang telah menerima manfaat dari program ini.
Dan pada akhirnya dunia pun mengakui keunggulan Kuba di bidang kesehatan ini. Bahkan prestasinya mengalahkan Amerika Serikat dalam masalah ketersediaan tenaga medis, yakni satu dokter untuk 177 penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat dengan satu dokter untuk 188 penduduk.
Tentunya keunggulan itu menjadikan Kuba sebagai daya tarik yang memesona bagi ribuan dokter dari berbagai dunia. Seperti yang ditulis Republika lagi, bahwa tahun lalu saja 1800 dokter dari 47 negara menyelesaikan studinya di Kuba. Pada saat yang sama 25 ribuan tenaga medis Kuba melanglang buana dengan menjelajahi sedikitnya 68 negara, termasuk Indonesia.
Maka dengan semua keunggulan itu pula wajar bagi Castro untuk meyakini bahwa Kuba dapat terselamatkan dari kebangkrutan finansial dan memutuskan ketergantungan pada sektor pariwisata. Wajar bagi Castro untuk membantu warga miskin Amerika Serikat yang sering menggerakkan sisi-sisi kemanusiaan negaranya karena banyak dari mereka terganggu penglihatannya.
Dus, dengan semua keunggulan itu wajar pula bagi Castro untuk menunjukkan izzah (kemuliaan) dirinya dan bangsanya. Wajar bagi Castro untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya dan bangsanya masih tetap eksis di tengah embargo tiada berkesudahan dari negara besar yang selama enam kepemimpinan presidennya tidak sanggup menggulingkan dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah mengapa ia sanggup tidak bertekuk lutut di bawah kaki Amerika Serikat? Mengapa ia mampu bertahan dari embargo ekonomi itu dengan hanya mengandalkan produksi gula, industri perikanan, dan cerutu Havana-nya yang terkenal itu? Mengapa ia sanggup menunjukkan kemuliaan dirinya hatta ia hanya seorang komunis, atheis pula? Yang seharusnya kemuliaan itu ditunjukkan oleh seorang muslim. Mengapa?
Seharusnya kemuliaan itu ditunjukkan oleh para emir negara Arab yang dengan kebijakan cadangan minyaknya bisa mengobrak-abrik tatanan perekonomian global, bukan ditunjukkan oleh Ajami seperti Iran. Ditambah dengan kemampuan salah satu negaranya yang dapat mengumpulkan lebih dari tiga juta manusia dalam satu waktu.
Dengan dua kekuatan itu, dipastikan mereka dapat menggentarkan hati para musuh Islam dan dunia. Namun apa yang terjadi? mereka bahkan menjadi budak-budak setia dari tuannya yang bernama Amerika Serikat.
Bahkan mereka bersorak sorai di saat tuan besarnya menebarkan angkara murka dengan melakukan invasi kepada negara Arab lainnya. Sehingga satu pertanyaan muncul: ”Dimana logika , dimana akal sehat? Saya semakin tidak paham saja membaca kelakuan politik beberapa negara Arab ini. Apa yang mereka cari sebenarnya?” (Syafii Maarif,17/1).
Tidak hanya itu, persoalan Israel pun tidak kunjung selesai sampai saat ini. Walaupun dari hari kehari sejak tahun 1948 nasib dan harga diri Palestina yang nota bene adalah bangsanya sendiri sudah semakin tiada artinya di mata durjana Israel.
Sosok-sosok yang mempunyai izzah itulah yang tidak dapat diberikan negara-negara Arab pada saat ini. Walaupun dulu pernah tercetak satu orang yang dapat melawan dengan gagahnya kesombongan Amerika Serikat dengan upaya yang dilakukan oleh King Faisal bin Abdul Aziz dengan embargo minyaknya pada tahun 1973.
Namun selalu saja di saat tunas kejayaan Islam mulai tumbuh, maka hama kekuatan kotor tak terlihat mulai bermain dengan segala daya dan upayanya. Di tahun 1975 Faisal pun dibunuh oleh keponakannya sendiri. Dunia Islam pun berduka tapi membawa sebuah pengakuan dalam hati yang paling dalam tentang kemuliaan diri seorang Faisal.
Bagaimana dengan Indonesia? Sanggupkah negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini dapat menunjukkan izzahnya di hadapan Amerika Serikat? Sanggupkah ia menandingi sikap yang ditunjukkan oleh Kuba yang luas daratannya hanya 88% dari pulau Jawa itu?
Hanya segunung keraguan untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Karena pada saat yang sama Indonesia pun dipertanyakan keunggulan apa yang dipunyainya, selain dari tingkat korupsinya yang sudah terkenal di dunia internasional.
Lagi dengan tekad kemandirian yang nyaris nihil pada diri para pemimpinnya. Semisal adanya ajakan untuk memboikot produk-produk Amerika Serikat dibalas dengan segudang argumen yang bersembunyi di balik kepentingan rakyat: ”Bahwa kita sendiri yang akan rugi kalau kita melakukan aksi boikot itu.” Lalu dengan alasan: ”berapa pengangguran akan tercipta dengan aksi itu?”, kekanak-kanakan, picik dan lain sebagainya.
Padahal di sisi lain, mereka membungkuk-bungkuk menuruti apa kata IMF dan para kapitalis liberalis dalam menelurkan kebijakan pembangunannya, tanpa melihat apa rakyat masih mampu untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasarnya?
Lalu jikalau tekad kemandirian itu saja nihil akankah mampu untuk menghadapi embargo dan tekanan dari negara-negara yang berusaha menginjak-injak kedaulatan dan harga diri bangsa ini? Tidak, tidak akan mampu.
Maka kita banyak menyaksikan anak-anak bangsa kita di siksa, dianiaya, diusir oleh para majikannya, pemerintah republik ini boro-boro untuk menegur negara pengimpor Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu, bahkan untuk memberikan bantuan hukum saja pun tak mampu.
Bahkan dengan negara tetangga yang bekas salah satu provinsinya saja tidak bisa bersikap tegas dalam menyikapi tiga rakyatnya yang tewas tertembak oleh ulah prajurit perbatasan negara itu. Apatah lagi dengan menghadapi negara Kangguru yang sudah terlalu banyak mengintervensi dan telah lama tidak bisa bersikap sebagai tetangga yang baik bagi Indonesia?
Maka tanpa kemuliaan diri itu, dengan mudahnya bangsa ini ikut turut pula memerangi anak bangsanya sendiri baik individu maupun kelembagaan dengan tuduhan terorisme yang dibuat-buat dan stigma yang amat buruk.
Maka tanpa kemuliaan diri itu kita pun akan melihat pula bangsa ini begitu rendahnya merengek-rengek kepada bangsa lain untuk mendapatkan pinjaman dan investasi baru yang menggiurkan bagi keberlangsungan jalannya pembangunan. Dan merengek-rengek pula untuk dapat menangguhkan pembayaran utang di saat jatuh tempo tak sanggup membayar bunganya saja yang benar-benar mencekik leher.
Maka tanpa kemuliaan itu kehinaan apalagi yang akan menimpa bangsa ini? Padahal tanpa mereka sadari—atau pura-pura tidak tahu—bahwa 85 % bangsa ini punya modal unggul untuk meninggikan izzahnya, yakni Islam.
Karena sungai sejarah peradaban Islam walaupun selalu dialiri dengan airmata, darah, dan pengorbanan, tidak akan jemu-jemunya menyuburkan tanah-tanah sekitarnya untuk senantiasa menumbuhkan dan mencetak generasi-generasi rabbani, para pahlawan, orang-orang besar, dan mempersembahkan tokoh-tokoh agung kepada dunia.
Maka kemuliaan manalagi yang didapat selain dari Islam? Kemuliaan manalagi yang didapat selain dari menegakkan panji-panji dan obornya yang terang gemilang itu? Kemuliaan manalagi yang didapat selain dari menguatkan geraham untuk senantiasa berpegang teguh pada dua pusaka yang ditinggalkan utusan terakhir-Nya?
Jika itu didapat, tidak hanya seorang Castro yang atheis itu yang akan tunduk dan menghinakan diri pada kemuliaan Islam, beribu-ribu Castro bahkan berjuta-juta nasionalis yankee hawkees pun akan terpaku, tunduk, dan bertekuk lutut di bawah bangsa yang hanya menakutkan dirinya pada satu Tuhan: Allah Sami’il ’Aliim .
Cuma: kapan saat itu akan tiba?
Allohua’lam.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08.29 25 Januari 2006
No comments:
Post a Comment