10 April 2007

Kemana Pajak Penerangan Jalan Kami?

Monday, September 5, 2005 - Kemana Pajak Penerangan Jalan Kami?


Sabtu pagi, sebagian warga RT 011 RW 017 Komplek Puri Bojong Lestari melakukan kerja bakti. Pada umumnya, kerja bakti adalah sarana warga masyarakat untuk bersilaturahim antarpenghuni komplek, membangun serta memelihara sarana-sarana umum. Namun kerja bakti kali ini termasuk yang tidak biasanya, yakni mencabuti lampu-lampu penerangan yang ada di tiang di sepanjang jalan RT kami. Ada apa gerangan?

Ya, RW kami mendapat surat resmi dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menertibkan sendiri sambungan-sambungan liar termasuk lampu-lampu penerangan di sepanjang jalan komplek kami, karena PLN menganggap bahwa pemasangan lampu-lampu penerangan itu adalah ilegal. Apabila tidak ditertibkan segera maka PLN akan terpaksa menertibkannya sendiri dan membawa semua peralatan-peralatan penerangan jalan itu.

Maka bersegeralah kami membereskannya agar lampu-lampu serta aksesorisnya dapat kami amankan. Karena bila tidak, maka peristiwa dua tahun lalu yang menimpa tetangga komplek kami akan terulang. Lampu-lampu hasil patungan dan swadaya masyarakat sendiri diambil paksa oleh PLN.

Masyarakat pun resah, bahwa lampu-lampu penerangan itu bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan masyakarat pada umumnya. Agar jalan-jalan di komplek kami tidak gelap dan terang benderang, pencuri pun akan berpikir ulang untuk bertindak. Juga yang paling tidak dimengerti oleh kami sebagai masyarakat kenapa lampu-lampu penerangan itu perlu ditertibkan sedangkan pada setiap bulannya mereka wajib membayar Pajak Penerangan Jalan sebesar 3% dari total beban yang dibayarkan. Kemana dan untuk apa uang kami sebagai pembayar pajak.

Pajak Penerangan Jalan termasuk pajak daerah. Tentu karena ini namanya pajak maka harus ditentukan oleh undang-undang. Untuk pajak daerah maka daerahlah yang menentukan seberapa besar prosentase tarif pemungutan tersebut dengan peraturan daerah (perda) yang disetujui oleh para wakil rakyat yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Besaran 3% itu dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda) melalui PLN dalam setiap bulannya dari masyarakat pelanggan PLN. Pemda setelah mendapat pajak tersebut mulai menghitung seberapa besar rupiah yang harus diserahkan kepada PLN berdasarkan jumlah lampu-lampu penerangan yang terdaftar dalam catatan Pemda.

Pada titik inilah terjadi permasalahan, PLN merasa bahwa rupiah yang diterima tidak sebanding dengan jumlah beban yang dikeluarkan untuk lampu-lampu penerangan jalan itu. Sedangkan Pemda ngotot, besaran itu sesuai dengan jumlah penerangan yang ada dalam catatan Pemda. Maka untuk mengurangi kebocoran beban dilakukanlah upaya PLN untuk menertibkan semuanya dengan melakukan aksi pencabutan lampu-lampu penerangan jalan yang tidak terdaftar di Pemda.

Pertanyaannya adalah digunakan untuk apa saja uang hasil pajak itu oleh Pemda. Uang pajak itu seharusnya digunakan untuk pemeliharaan lampu-lampu jalanan serta penambahan titik-titik penerangan. Sehingga di kemudian hari semua jalanan di wilayah itu sudah mempunyai cukup penerangan. Disinilah sering terjadi penyalahgunaan, uang itu kebanyakan digunakan dan dialihkan untuk pengeluaran-pengeluaran Pemda yang tidak berkaitan dengan penerangan jalan. Jadi PPJ digunakan oleh Pemda hanya sebagai alat budjeter, pengumpul uang yang targetnya selalu dinaikkan dari tahun ke tahun. Sedangkan target penambahan titik lampu diabaikan oleh Pemda.

Masyarakat yang menunggu apa yang akan diperbuat oleh Pemda dengan uang PPJ itu hanya termangu begitu saja. Seperti menunggu Godot yang tiada kunjung tiba. Akhirnya daripada akan menimbulkan kerawanan lingkungan akibat tiadanya penerangan jalan, masyarakat pun berswadaya untuk melakukannya secara mandiri. Lampu-lampu dan peralatan pokok penerangan jalan mereka beli sendiri. Mereka melakukan pemasangan sendiri. Dan mengambil dayanya langsung dari tiang-tiang PLN.

Di sini Pemda harusnya merasa berterimakasih bahwa sebagian tugasnya telah dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat. Dan seharusnya pula Pemda membalas kebaikan masyarakat dengan melakukan pendaftaran agar titik-titik itu menjadi legal serta membayar beban itu secara proporsional kepada PLN. Sehingga masing-masing tidak ada yang dirugikan.

Maka apa yang terjadi bila Pemda tidak tanggap, masyarakat akan mulai skeptis terhadap Pemda dan kinerja para anggota dewan yang terhormat. Pula terhadap PLN, akan timbul persepsi dari masyarakat tentang keberadaan PLN yang hanya bisanya merazia masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan kepada pelanggan kelas atas terutama pabrik-pabrik berdaya tinggi PLN—yang masyarakat pun mafhum tentang sering terjadinya pencurian listrik oleh mereka, begitu mudahnya tergoda dengan iming-iming uang.

Diperlukan suatu win-win solution di sini. Masyarakat melakukan aduan kepada Kepala Desa/Kelurahan masing-masing tentang hal ini, karena ini pun menyangkut pada system keamanan desa. Aduan juga harusnya diperdengarkan kepada wakil rakyat kita supaya mereka bisa mendengar dan menekan terhadap kinerja Pemda. Sehingga Pemda bersegera melakukan pelegalisasian.

Juga diperlukan sikap bijak dari PLN yakni dengan memberikan kesempatan kepada warga untuk mencabut sendiri sambungan liar itu dengan tetap membiarkan lampu-lampu tetap terpasang di tempatnya walaupun tiada aliran listrik sampai telah dilegalkan. Kebijakan ini dilakukan agar warga pun tidak usah repot-repot mencabuti lampu-lampu itu—dengan tangga konvensional, dan memasangnya kembali jika permasalahan ini selesai. PLN tak perlu menyita lampu-lampu itu agar tidak memberatkan warga serta Pemda, karena jika lampu itu disita, Pemda akan mengeluarkan dana lagi untuk membelinya. Sedangkan alangkah baiknya jika dana itu digunakan untuk penambahan titik-titik baru.

Semuanya perlu waktu, tapi seyogyanya Pemda bersegera karena pada dasarnya mereka adalah pelayan umat.







Akhirnya selesai juga kerja bakti ini pada pukul 11.00 WIB. Semua lampu-lampu penerangan jalan kecuali lampu pos ronda telah dicabuti dan disimpan. Maka bersiaplah kami untuk menyambut nanti malam dengan gulitanya lingkungan kami. Saya berpikir tugas seksi keamanan di lingkungan kami akan bertambah berat. Mereka harus menambah kesiagaan dan kewaspadaannya. Tentu sudah selayaknya warga yang lain turut membantu dengan—lagi-lagi swadaya—memasang lampu lima watt atau lebih di pinggir jalan rumah masing-masing. Jika tidak, siap-siap saja menikmati kegelapan itu, entah sampai kapan.







riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

di antara peluh 14:08 03 September 2005

No comments: