dua perempuan dengan puisi
Monday, September 5, 2005 - dua perempuan dengan puisi
Suatu saat Azimah Rahayu dan Qoulan Syadiida menyempatkan diri untuk memberikan kesempatan kepada saya menikmati puisi-puisi mereka.
Azimah Rahayu yang genap berusia tiga puluh tahun senin kemarin, mengirim Pupus:
PUPUS
Rindu ini ternyata masih jua belum menemukan muara,
Cinta ini ternyata masih harus meneruskan kembara,
Sampai kapan dan kemana?
:Siapa yang tahu jawabnya?
Senyum sahaja mewujud dalam hati
Sebagai bukti ia mengerti,
Memahami dan pasrah pada Ilahi
Jikalah tetap ada airmata,
Maka ia hanya sekedar pengobat jiwa
Yang kembali kehilangan rasa
Seperti ketika Muhammad melepas Ibrahim ke
haribaan-Nya.
(@Azi, 4 Maret 2005: pupus yang kesekian kali)
direwind ahad, 26 Juni 2005, saat sebuah berita tiba:
seseorang akan melangsungkan pernikahannya 10 Juli
besok.
Komentar saya:
Puisi ini bagus terutama pada kalimat terakhir:
“Seperti ketika Muhammad melepas Ibrahim ke haribaan-Nya.”
Saya tak bisa membayangkan kesedihan Azi layaknya kesedihan Rosululloh ditinggalkan putra kesayangannya. Sedemikiankah?
Saya hanya berharap tak akan ada lagi Pupus yang direwind di kemudian hari.
Sedang Qoulan Syadiida dengan dua puisinya:
I. Rindu Terlarang
Apa yang lebih memeranakan
selain rindu terlarang
yang adanya terhalang
ketiadaan kehalalan
Apa yang lebih memeranakan
selain rindu terlarang
yang adanya menyelinap diam-diam
dari hati yang terbang ke langit angan
Tuhan
jika rindu ini
jika cinta ini
telah menoreh luka di kedalaman
mengapa hamba masih saja
bergeming membiarkannya mengembara
di setiap sudut jiwa
yang tak terlacak olehnya
II. Nasib Dermaga
Mungkin memang sudah menjadi nasib dermaga
harus terima kembali kapal cinta
yang sekian lama dalam kembara
mencari tambatan yang menenangkannya
Mungkin memang sudah menjadi nasib dermaga
membuka ruang seluas-luasnya
bagi setiap kapal cinta
yang kelelahan dan hendak
kembali berlabuh padanya..
****
Azi berkomentar terhadap dua puisi ini:
“hmmm, puisimu asyik meski pedih banget hehehe, tapi kok rasanya gue banget.”
Sedang saya hanya berkomentar untuk dua puisi ini:
“Saya suka dua paragraph pembuka di rindu terlarang.
Di paragraph ketiga akan tambah asyik lagi ditambah satu “jika” lagi untuk penekan.”
By the way, saya sangat menikmati dua puisi ini. Kalau Anda mau menyelami pemikiran dua perempuan ini sila untuk berapresiasi dan mendalaminya sampai Anda berkomentar: gue banget gitu loh.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di antara dua puisi
20:42 04 September 2005
No comments:
Post a Comment