10 April 2007

dedaunan itu...

Friday, August 12, 2005 - dedaunan itu...

Awal Januari 2003, di antara keramaian yang tak henti-hentinya membuat dunia selalu terasa hidup, di antara pepohonan tua yang teriris tajamnya angin, hujan, dan mentari, di antara jalan lebar yang memutar tak berkesudahan, di antara tepian danau yang tak beriak, di antara kilau putihnya istana yang berdiri angkuh di seberang sana, saya temukan sebuah nama di sebuah papan penunjuk arah: kafe dedaunan.

Berawal dari sanalah, saya memakai nama dedaunan sebagai nickname di mirc, menggantikan nickname yang saya pakai sedari awal sejak pertama kali bergabung. Maka berbagai sapaan menyambut nama ini. Dari sekadar sapaan biasa hingga sapaan yang luar biasa seperti “makanannya embek, yah?”, “Daun muda apa tua, nih?”, atau “hati-hati dimakan ulat, lho.” Sapaan seperti ini biasanya tidak saya tanggapi.

Bagi saya, nama dedaunan sungguh mempunyai filosofi yang mendalam. Ia tumbuh bermula dengan hijau muda, lalu hijau menyegarkan, hijau tua, dan mulai layu, kecoklatan, dan mengering, jatuh melayang ke tanah, hingga menjadi hara yang kembali menyuburkan pepohonan. Satu mengering tumbuh seribu yang menghijau, terus menerus, tiada berkesudahan sampai pohon itu tumbang dan tak layak lagi menjadi saksi perjalanan hidup manusia. Begitulah seharusnya manusia hidup di muka bumi ini, menjadi bermanfaat bagi sesama. Maka pantaskah saya menjadi dedaunan itu?

Siapa yang tidak tahu kegunaan daun pisang, ia menjadi pembungkus nasi dan penambah keaslian masakan, bahkan ia mempunyai sesuatu yang bisa dikenang hingga kini oleh Dayu AG dan Ine Cyntia, sebagai peneduh dalam memori daun pisang. Ia pun menjadi pembungkus nasi Jamblang, yang tanpa daun jati itu tidak terasa kelezatannya bahkan tak akan terkenal namanya.

Ia pun menjadi pengganti segitiga pengaman yang seharusnya terpasang jika mobil Anda mogok. Maka Anda pun akan menemui di sepanjang jalanan kota Jakarta ini metromini, kopaja, bahkan mobil keren berhiaskan dedaunan tergantung di bagian belakang mobil jika dalam keadaan mogok. Tapi entah kamuflase atau bukan jika Anda menemui angkutan minibus berhenti di pinggir jalan raya Pasar Minggu dengan dedaunan sebagai pertanda mogok, karena begitu banyaknya. Atau jangan-jangan ini sekadar siasat untuk ngetem menunggu penumpang. Entahlah…

Dedaunan pun menjadi penghias buku, trademark, judul weblog, hingga email account saya. Bahkan ada yang khas bila dedaunan itu ada di sebuah ranting cemara. Ia akan berbeda dengan dedaunan lainnya. Ia khas tumbuhan pakis. Meruncing, tak lebar dan mengembang. Bagai jari-jari kecil nan mungil.

Ia pun akan membuat suatu melodi indah dengan gemerisiknya jika ia tertiup angin. Gemerisik pohon bambu tak kalah asyiknya didengar, bahkan menjadi bumbu penyedap di banyak film dan sinetron misteri.

Dedaunan menjadi alas dan penutup sarang bagi banyak binatang. Entah burung elang Afrika, alligator Florida, atau sekadar semut merah hutan tropis Amazon.

Ia pun menjadi pelengkap perang yang tak bisa diremehkan dalam kamuflase bagi banyak prajurit tangguh di dunia. Mulai dari Red Khmer, Navy Seal, hingga prajurit Koramil Depok.

Dedaunan pun sudah terkenal berabad-abad lampau sebagai obat walaupun juga dapat menjadi racun oleh tabib-tabib Cina dan ahli-ahli pengobatan dunia, mulai dari daun murbai, daun pepaya, hingga daun jambu.

Ia pun menjadi saksi bagi keberlangsungan suatu babad dengan daun lontarnya mulai Kaling hingga Mataram di timur Jawa, Pakuan hingga Banten di barat Jawa, Swarnadwipa hingga Malaka di pulau seberang.

Dedaunan pun menjadi mahkota bagi banyak kaisar besar, dari Alexander The Great, Julius Caesar, atau mafioso fiktif ala Mario Puzo: Don Croce, dengan daun zaitunnya. Atau bahkan sebagai alas tidur dengan daun kurmanya bagi Umar bin Khaththab, khalifah penakluk dua raja, kaisar dan kisra.

Ia pun menjadi metafora yang tak habis-habisnya dipakai pada sebuah puisi, cerpen, novel, drama bahkan film selevel The Lord of The Ring. Bahkan Lady Galadriel pun sempat memesona Aragorn saat menyanyikannya dengan harpa: “tentang dedaunan aku bernyanyi, daun-daun emas, daun-daun emas yang tumbuh disana:…”

Maka betapa banyak ia berguna, sampai saya pun tak sanggup berlama-lama duduk memikirkannya, hingga penat terasa. Maka dengan nama itu, sanggupkah saya menjadi bermanfaat bagi yang lain, jika tidak, buat apa saya memakai nama itu. Jangan pula pernah terpikir untuk menjadi racun. Karena ia menyakitkan bagi diri sendiri, pun bagi yang lain.

Maka inilah saya sebagai dedaunan. Sebagai penjelas bagi semua yang bertanya kenapa saya memakai namanya.





riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

di antara “sakura” yang mem-“pudar” dan “kasih kekasih”

21:41 10 Agustus 2005

1 comment:

Anonymous said...

Mas Riza,

kasih background daunnya dong, biar lebih terasa lagi nama dedaunannya