ceri, monyet, dan tukang ojek
Monday, July 25, 2005 - ceri, monyet, dan tukang ojek
Satu-satunya pohon yang berhasil saya tanam di depan rumah adalah Pohon Kersem —orang Indramayu atau Cirebon menyebutnya demikian, tapi entah mengapa Orang Citayam atau bahkan Jakarta menyebutnya Pohon Ceri (keren amat). Buahnya kecil-kecil, berwarna merah, dan rasanya manis.
Bibit pohon itu memang asli saya bawa dari Indramayu di tahun 2002, saat berkunjung ke rumah orang tua yang memaksa saya untuk membawanya. Saya enggan membawanya karena selain repot diperjalanan juga tidak sekeren pohon mangga kalau di tanam. Di daerah saya, pohon itu cocok untuk tempat bermain monyet dan sudah tentu buahnya adalah makanan favorit mereka. Akhirnya dengan membawa tiga bibit yang diambil dari selokan sebelah rumah saya kembali ke Jakarta dengan diiringi tatapan menelisik para penumpang kereta Cirebon Express kearah bawaan saya yang memang menonjol dan menarik perhatian banyak orang.
Pohon itu saya tanam di bantaran kali depan rumah. Depan rumah adalah Kali Pesanggrahan—kalau terlihat deras dan tinggi permukaannya, maka Cipulir sudah pasti kebanjiran. Jalan selebar empat meter adalah sebagai pembatas rumah dengan bantaran kali.
Dengan pupuk organik pemberian tetangga sebelah, saya menanamnya. Menemani pohon pisang raja, kelapa, rambutan, jambu, dan mangga. Satu bibit lainnya saya tanam persis di halaman rumah. Sedangkan satu lagi ditanam di belakang rumah. Pagi dan sore menjadi waktu untuk memberikan air sebagai penerus kehidupannya. Tidak sampai enam bulan, pohon yang berada di bantaran kali itu telah menjulang, menganopi, dan berbuah. Meninggalkan yang lainnya, yang masih tidak juga berbuah bahkan mati, entah kenapa.
Sejak saat itu depan rumah menjadi tempat bermain baru bagi anak-anak RT. Mereka berebutan untuk naik sampai puncaknya, tinggal saya yang tak henti-hentinya meneriaki mereka untuk turun. Bukan karena tidak mau buahnya diambil, tapi takut mereka jatuh.
Pula tempat itu kini menjadi persinggahan bagi banyak orang yang setelah berjalan di bawah panas terik matahari, seperti tukang bakso, pemulung, penjual barang kelontongan, bahkan pengendara motor yang kelelahan karena tak bisa menghidupkan mesinnya.
Satu lagi, kini setiap paginya ada yang terasa indah didengar. Senandung merdu burung-burung kecil. Ya, kesegaran pagi semakin bertambah diiringi tingkah polah mereka dalam mencari makan. Apalagi ketika matahari mulai menyinari semesta, hangatnya mulai terasa dan bertambah ramai pulalah fragmen kehidupan di sekitar pohon itu.
Dari semut–semut hitam yang menggantikan kelelawar malam, lebah-lebah yang mencari sari bunga, hingga kupu-kupu, atau kucing jantan yang menandai daerah kekuasaannya dengan air seninya di bawah pohon. Oh…satu kebaikan yang kita tanam ternyata banyak membawa manfaat bagi makhluk lain. Jadi ingat kata-kata bijak itu: tanamlah pohon kebaikan walaupun esok akan kiamat. Karena sesungguhnya kebaikan—seberapapun kecilnya, pasti akan membawa manfaat untuk siapapun. Pertanyaannya adalah akankah kita menjadi pohon-pohon itu? Yang berbuah dan meneduhi. Bahkan kita takkan pernah terlambat untuk menjadi pohon kebaikan itu, selama ruh belum sampai ke tenggorokan, pun andai besok akan kiamat. Pagi ini saya mendapat banyak pelajaran.
“Bang, ke depan bang!” seruan dari seorang ibu tua membawa sarat beban menyadarkan lamunan saya yang sedang duduk di atas motor.
“Eh, iya…iya bu,” tanpa basa-basi saya antar ia ke depan komplek.
“Terima kasih ya bang,” sambil menyodorkan tiga lembar ribuan kumal.
“Maaf bu, saya bukan tukang ojek,” sambil tersenyum dan segera memacu gas meninggalkan dia yang masih terpana.
Sekali lagi pagi ini saya mendapat satu pelajaran di bawah pohon Kersem. Jangan duduk melamun di atas motor di bawah pohon kersem, apalagi kalau Anda belum mandi, karena orang akan menyangka engkau adalah tukang ojek.Hmmm, tak mengapa.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di pagi yang berselimut tebal kesegaran
citayam,11:17, 23 Juli 2005.
No comments:
Post a Comment