09 April 2007

aku takut mati

Monday, July 25, 2005 - aku takut mati

Beberapa menit hanya memandangi layar kosong di depan mata. Tak tahu memulai dari mana untuk mengurai kejadian-kejadian tragis di depan mata selama sepekan ini. Bagaimana tidak, saya melihat dua kecelakaan membawa maut pada sore hari menjelang berbuka. Membuat saya tercenung cukup lama. Bergeming memikirkan sebuah awal mula episode kehidupan lain yakni kematian.

Selasa sore, seperti biasanya jalanan dari arah Pasar Minggu menuju Depok begitu padat, sampai menjelang flyover Tanjung Barat. Selepas itu barulah saya bisa menggeber kendaraan di atas enam puluh kilometer per jam. Tapi ada yang aneh di sore itu, sejak Stasiun Tanjung Barat kendaraan mulai memadat dan semakin lama semakin macet. Tapi dengan motor yang anti kemacetan ini, saya bisa terus melaju bersama motor-motor yang lain. Ini tidak seperti biasanya.

Terbukti, antrian panjang disebabkan para pengguna jalan melambatkan kendaraannya untuk melihat apa yang telah terjadi, ditambah dengan sepeda motor yang diparkir sembarangan dan ditinggal di pinggir jalan oleh pemiliknya untuk melihat peristiwa kecelakaan di pinggir rel. Saya pun ikut-ikutan berhenti untuk melihat apa yang terjadi.

Sosok muda itu terbaring kaku dengan darah segar yang keluar dari lubang hidung dan telinganya, membasahi rambutnya, kental, hampir mengering dan mulai dikerubuti lalat. Sebagian tubuhnya ditutupi beberapa helai koran. Wajahnya yang sudah ditutupi pun seringkali dibuka kembali oleh orang-orang yang ingin melihat siapa yang menjadi korban, untuk memastikan apakah korban adalah orang yang dikenalnya atau bukan. Dari saksi mata diketahui korban dipastikan terjatuh dari KRL Jakarta-Bogor karena terbentur tiang listrik besi yang amat dekat sekali dengan rel.

Dadaku berdegup kencang.

Jum’at sore, kejadian yang hampir sama, di waktu yang sama terjadi lagi. Namun kali ini tempatnya berbeda. Kalau anda termasuk pelaju KRL Bogor-Jakarta atau sebaliknya atau pemakai kendaraan bermotor, pasti tahu pintu lintasan kereta api antara Stasiun Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia. Kembali yang menjadi korban adalah anak muda dan kali ini berseragam SMU. Di tasnya ditemukan clurit dan sebotol bensin. Bisa ditebak, pelajar ini termasuk yang doyan tawuran.

Dari keterangan saksi mata diketahui, pelajar itu ditendang dari atas KRL Nambo yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bagian kepala yang jatuh terlebih dahulu, membentur bebatuan dan aspal jalanan. Bagian belakang kepala bocor, darah kental mengalir dari lubang telinga dan hidung. Setelah sekarat beberapa detik langsung tewas di tempat. Sangat kebetulan sekali, pelajar itu tewas tidak jauh dari rumahnya.

Setahun yang lalu, persis di bulan ramadhan, di tempat yang sama pernah terjadi kecelakaan. Kepalanya tidak berbentuk lagi karena dihantam KRL. Kata orang sekitar, perlintasan itu sering kali memakan korban, dan sayangnya disikapi oleh sebagian warga dengan mengaitkan hal-hal klenik, makanya setiap tahun ada yang berani momotong kambing di bawah pohon dekat rel hanya untuk dijadikan tumbal. Sayang…

Tidak biasanya, sepanjang sisa perjalanan pulang saya hanya fokus terhadap dua peristiwa itu. Saya pikir, saya banyak disadarkan tentang satu hal yang seringkali manusia lupa dan merasa akan hidup selamanya yakni kematian. Batas antara hidup dan mati sungguh amat tipis. Karena kematian bisa menjemput kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja. Entah dengan kesakitan yang luar biasa atau tidak. Di atas tempat tidur atau di medan laga. Ketika subuh kan menjelang atau saat mentari tenggelam di ufuk barat. Entah dengan utuh harum mewangi atau tiada berbekas, bahkan busuk.

Setelah melewati pintu kematian, maka terbentanglah di hadapan kita dunia lain. Dunia dengan segala keekstrimannya. Diawali dengan kegelapan kubur yang amat dan sangat pekat ataukah terang benderangnya cahaya. Penjaga dengan kelemahlembutannya atau sebaliknya penjaga berwajah sangar dengan alat pemukul yang luar biasa besarnya.

Lalu padang yang amat luasnya. Tentang mahkamah yang amat adilnya menghitung satu dzarrah setiap perbuatan. Tentang manusia dalam karakter dan perwujudan yang disesuaikan dengan perbuatannya di muka bumi. Tentang wadah pembalasan segala kemungkaran yang amat panasnya dan kejam siksanya. Atau tentang wahana keindahan yang tak bisa terbayangkan oleh manusia.

Saya bergidik. Tiba-tiba saya tersadar, saya jadi takut mati. Saya belum siap untuk mati. Dan saya sadar yang menentukan baik tidaknya pembalasan yang akan diterima adalah amal atau semata-mata karena rahmat Allah Yang Maha Luas. Yaa Rabb, betapa amat sedikitnya amal saya. Jangan-jangan ketakutan saya pada kematian ini adalah karena saya sudah kena penyakit wahn. Cinta dunia dan takut mati. Semuanya berbanding terbalik dengan timbangan keimanan.
Saya teringat perkataan Osama bin Ladin saat berbicara pelawanan kepada Amerika dan Inggris: ".....karena kalian cinta kehidupan sedangkan kami mencintai kematian."
Sedangkan Abu Darda’: “Sesungguhnya aku mencintai kematian karena tidak ada yang mencintainya kecuali orang yang mukmin sedangkan kematian akan dapat melepaskan seorang mukmin dari penjara. Juga aku mencintai harta dan anak yang sedikit karena yang demikian akan dapat menimbulkan satu bencana dan yang dapat menyebabkan condong pada keduniaan. Padahal nantinya satu keharusan untuk berpisah dengan dengan penuh kedukaan. Dan segala sesuatu yang diluar ingatan pada Allah adalah satu keharusan untuk ditinggalkannya nanti ketika telah tiba ajalnya.”

Duh Gusti, ampuni hamba, kapan aku akan mencintai kematian seperti mereka para pahlawan Mu'tah, Yarmuk, dan Kadisiyah mencintai dan merindui kematian syahidnya?



riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

di sekitar LA (lenteng agung)

dengan sedikit revisi di 25 Juli 2005

No comments: