almari penuh buku: (kuwariskan ini padamu, nak...)
8.7.2005 - almari penuh buku: (kuwariskan ini padamu, nak...)
Seorang pemburu harta karun terperangah, takjub, memandang tumpukan harta benda yang menggunung di dalam sebuah gua bawah tanah. Menyilaukan mata. Pun naluri awal manusia yakni keserakahan muncul seketika. Raup sana dan sini. Tidak puas dengan yang ini maka ia melempar benda yang sudah di tangannya dan mengambil yang lainnya yang lebih indah, lebih berharga, lebih mahal. Akhirnya ia pun tak sanggup mengambil apa pun, karena menganggap semuanya indah di mata.
Begitulah apa yang saya alami saat memasuki ruangan ber-AC di arena Bookfair. Benar-benar saya seperti pemburu harta karun tadi. Yang begitu takjub melihat apa yang ada di dalam. Yang saya takjub bukan pada harta benda seperti yang ditulis di awal, namun begitu banyaknya buku bagus. Yang saya takjub adalah tebaran buku di setiap stand yang memaksa pikiran saya untuk bisa memiliki semuanya.
Ambil sana, ambil sini. Akhirnya yang terbeli adalah tetap yang diskonnya besar dan yang termurah lagi. Soalnya saat itu tanggal 01 Juli 2005. Kita belum gajian coy…Sampai fordis pun ramai membahasnya.
Akhirnya saya mendapatkan buku menyucikan jiwa Said Hawwa terbitan Robbani Press. Buku ini bukan untuk saya miliki, tapi niatnya untuk seseorang teman. Setelah mengambil beberapa buku dan menyelesaikan transaksi, saya pun bergegas untuk pulang, karena saat itu jam kantor, bukan hari libur. Jadi tidak semua stand saya kunjungi.
Sebelum pulang saya mampir terlebih dahulu di stand komunitas—adanya di luar gedung istora—stand Forum Lingkar Pena. Saya titipkan pada penjaga stand itu untuk memberikannya pada teman, pengurus FLP.
“Ini buku dari siapa?” tanyanya.
“Ia pasti tahu, kok…” jawab saya sambil menyelipkan selembar daun mahoni pada halaman dua buku itu.
Ya, selembar daun sebagai tanda dari saya.
********
Pulang kantor, kebingungan melanda. Saya harus taruh dimana tumpukan buku baru ini? Sambil berkacak pinggang di hadapan lemari kaca tempat ratusan buku yang saya miliki.
Lemari itu sudah penuh. Sisi dalam maupun sisi luarnya. Akhirnya banyak buku yang bertebaran di seantero rumah. Di atas kulkas, di atas meja belajar, diatas computer, di atas televisi, di dapur, dan di macam-macam tempat lainnya.
Para tetangga sampai bilang, “harta berharganya Pak Riza cuma buku, buku, dan buku,” sambil melirik ruang tamuku yang kosong melompong dari satu set sofa ataupun yang namanya kursi.
Memang sih, saya benar-benar terkenang dengan luasnya ruang tamu kost-kost-an milik teman-teman masjid di kampus dulu. Tiada meja tiada kursi. Mereka bilang dengan ruang tamu yang luas ini, maka bisa dimanfaatkan untuk pengajian, anak-anak TPA, dan rapat-rapat kampus. So, sampai saat ini, walaupun sang kekasih telah sedikit mendesak untuk memiliki sofa dan kursi tamu, saya tetap bergeming. Alasan saya: “anak-anak tetangga kita yang ngaji di sini mau di taruh dimana?”
Akhirnya malam itu, saya tetap membiarkan buku-buku baru tergeletak di atas ranjang empuk, bukan sebagai bantal, tapi sebagai pengantar tidur saat saya membaca Segenggam Gumam milik Helvy Tiana Rosa.
Sebelum tidur, saya bilang pada Haqi, sambil memeluknya dan menghadapkan dirinya dan diriku di depan almari besar penuh buku itu, “hanya ini yang bisa Abi wariskan padamu, anakku. Baca dan baca.”
Haqi baru saja bisa membaca. Umurnya pun baru 5 tahun.
Ya, kuwariskan ini sejak dini.
Sejak memori itu masih punya daya lekat, kuat, erat, takkan pernah terlepas. Insya Allah.
Wallohua’lam.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di antara mata-mata lelah yang menatap
di antara kegembiraan bahwa kang asep telah mempunyai buah hati
kalibata, 08 Juli 2005
No comments:
Post a Comment