SELAKSA HARAP SEKEPING HARU
19.7.2005 - *~~~~SELAKSA HARAP SEKEPING HARU~~~~*
Pagi itu di sebuah pantai di kawasan Anyer, angin masih menyisakan dinginnya malam sedangkan sinar matahari sesekali menghangatkan suasana karena awan hitam masih sering menutupinya. Debur ombak menjadi pelengkap kesegaran pagi itu dengan pasir pantai yang putih dan lembut. Tapi akung tak ada kicau burung camar disini.
Terlihat di ujung utara pantai ini sekelompok wisatawan berkumpul melihat sebuah kerja keras yang dipertontonkan para nelayan dalam menarik jala yang terpasang sore kemarinnya.
Jala tersebut panjangnya hampir mencapai 300 meter. Dimulai dari ujung selatan dengan sebuah tonggak bambu jala dipasang mengelilingi area sekitar pantai. Sebuah jukung (perahu kecil) nelayan membawa jala dan memasangnya hingga radius 100 meter dari tepian pantai kemudian ke arah utara sekitar 100 meter pula, lalu ditarik kembali kurang lebih 100 meter ke tepi pantai membentuk sebuah bujur jangkar perangkap ikan.
Nah, pagi ini adalah ritual keseharian para nelayan, sekitar 10 orang menarik tali jala yang ada di ujung utara, sedang satu orang nelayan lainnya naik jukung dan mencabuti patok bambu dengan mengitari area tangkapan. Upaya menarik jala sambil berjalan dari ujung utara ke ujung selatan inilah yang ditonton para wisatawan.
Yang paling seru dan menegangkan adalah ketika para penarik jala sudah sampai di ujung selatan, karena di titik inilah akan terlihat seberapa banyak tangkapan yang akan diperoleh. Dengan usaha yang sangat keras, bergotong royong, tarikan kuat, sesekali pula sorakan, mereka tetap bersemangat menarik jala. Para penonton bertambah banyak dengan rasa keingintahuan yang tinggi melihat suatu peristiwa yang jarang mereka lihat. Semua berharap akan melihat tangkapan yang melimpah dan besar-besar, apalagi kalau ikan hiu yang tertangkap.
Ujung jala mulai terlihat, semeter demi semeter jala ditarik. Penonton masih harus menunggu sekitar lima menit lagi untuk dapat melihat ujung jala yang lainnya. Akhirnya sampailah di ujungnya. Penonton segera merubungi. Tapi apa yang terlihat dari hasil tangkapan itu, tidak ada ikan kakap, tuna apalagi ikan hiu, udang pun tak ada. Yang ada hanya ikan teri dan ikan lain yang besarnya hanya sebesar telapak tangan. Hasilnya kalau ditimbang hanya sekitar dua kilogram.
Melihat sedikitnya tangkapan itu, penonton merasa kecewa dan terdengar gumaman tidak jelas dari mereka. Namun para nelayan menanggapinya dengan dingin-dingin saja, tak tergurat di wajah mereka kesedihan atau kekecewaan, sepertinya semua itu adalah hal yang biasa saja, dan mereka pun langsung membubarkan diri.
Ada banyak hikmah yang dapat digenggam dari peristiwa itu. Aku tersadar bahwa setiap usaha yang kita lakukan dalam mencapai sesuatu mungkin saja hasilnya tidak sepadan dengan kerja keras kita, atau tidak seperti yang kita harapkan di awal. Kemudian aku sadari pula sesungguhnya Allah tidak melihat hasil, tetapi Allah selalu melihat usaha yang kita lakukan, apakah usaha itu ditempuh dengan niat yang ikhlas, niat yang benar, dan jalan yang benar?
Hikmah lainnya adalah adanya teguran terhadap kesombongan orang-orang kota, bahwa tak selamanya suatu usaha dapat dihitung berdasarkan materialisme belaka namun juga pada semangat kegotongroyongan yang masih melekat di sebagian lapisan masyarakat Indonesia. Buktinya para nelayan itu langsung membubarkan diri tanpa meminta hasil kerja keras mereka kepada pemilik jala itu.
Ada hikmah lainnya yakni adanya semangat untuk selalu melihat ke bawah tentang kehidupan para nelayan kita, yang notabene mereka adalah saudara-saudara kita juga. Sangat ironis sekali ketika republik ini mengklaim sebagai negara maritim, Negara yang nenek moyang mereka adalah seorang pelaut dengan pedang panjang (eh salah yah…J ), negara yang luas lautnya meliputi hampir 2/3 total wilayahnya, namun kehidupan para nelayannya masih berkutat dengan kemiskinan absolut dan sangat-sangat memprihatinkan.
Di saat nelayan-nelayan negara lain sudah memakai GPS untuk mengetahui posisi ikan, memburu paus, melanglang buana dengan kapal canggihnya, nelayan kita masih berkutat dengan perahu mesin tunggalnya dan masih tradisional (sekitar 80% dari total perahu dan kapal yang dimiliki para nelayan). Dan nelayan kita masih berkutat dengan persoalan bagaimana perahu mereka bisa berlayar di tengah harga BBM yang semakin naik. Itulah nelayan kita.
Sorenya, dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Gambaran para nelayan kita masih berjalan di ingatanku. Kadang memang selaksa harap hanya akan menjadi sekeping haru (atau tangis malah…) kalau kita tidak ingat bahwa yang menentukan segalanya adalah ALLAH KARIIM.
Allohua’lambishshowab.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di pantai yang adanya membuatku melayang
Medio 2004
No comments:
Post a Comment