Playboy Indonesia: Oh Yes..., Oh No...
Monday, January 16, 2006 - Playboy Indonesia: Oh Yes..., Oh No...
Belum juga surut gaung studi banding legalisasi judi, kini masyarakat Indonesia kembali digegerkan upaya segelintir orang untuk menerbitkan majalah Playboy Indonesia. Dengan sistem franchise, izin penerbitannya pun sudah diperoleh pada akhir November 2005 yang lalu.
Kini mereka sudah mengadakan audisi playmate—model yang akan ditampilkan di halaman utama—walaupun secara tertutup. Dan rencananya majalah itu akan beredar Maret 2006 nanti. Pengusung majalah pengeksploitasi aurat perempuan ini tentu saja bersikukuh bahwa penerbitannya akan disesuaikan dengan apa yang bisa diterima oleh masyarakat. Tetapi tak menampik bahwa foto-foto syur pun tetap akan ada. (Detikhot).
Mereka pun tak takut dengan kontroversial yang akan terjadi dengan peluncuran majalah itu di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini. Dengan melihat betapa sekarang pun telah banyak beredar dan di jual di lapak-lapak majalah pria yang juga menampilkan aurat wanita. Apalagi dengan harga seribu rupiah sudah mendapatkan tabloid serupa yang lebih hot di sepanjang pintu tol Tomang, Jakarta.
Lagi-lagi alasan klise dengan berlindung di balik keindahan, cita rasa seni yang tinggi dan tidak murahan, ekspresi rasa syukur kepada Tuhan, menjadi justifikasi. Apalagi dengan jaminan bahwa majalah itu tidak akan sembarangan beredar, hanya dijual di toko-toko buku terkemuka, serta menitikberatkan distribusi pada sistem berlangganan untuk meraih pembacanya.
Kembali di sini terjadi pertarungan wacana antara sekulerisasi dan integralisasi ideologi dalam berkesenian. Di mana bertahun-tahun sebelumnya pertarungan ini sudah didahului pada ranah kesusastraan dengan adanya pembagian sastra Islam di satu sisi dengan sastra tanpa embel-embel di belakangnya di sisi yang lain.
Perlu dicermati pula bahwa rencana penerbitan ini yang sengaja diekspos lebih dini dan akan menjadi kontroversial, ditinjau dari aspek pemasaran maka apa yang diinginkan pengusungnya tercapai sudah. Selain publikasi gratis juga akan dapat dilihat kecenderungan ke mana arah angin keinginan masyarakat bertiup.
Menolak atau menerima. Bila iya, maka Rencana A: penerbitan dengan lebih berani akan segera terlaksana. Bila tidak, rencana B harus dilakukan berupa penundaan peluncuran sampai waktu yang tidak dapat ditentukan atau menunggu lengahnya imun dari masyarakat.
Namun tentunya, kelengahan itu jangan sampai terjadi di tengah keinginan mayoritas bangsa ini keluar dari keterpurukan, kemiskinan, degradasi moral, dan rentetan musibah sepanjang tahun lalu bahkan di awal memulai tahun barunya.
Akankah tidak terpikir tentang musibah apa lagi yang akan menimpa bangsa ini dengan adanya niatan semu itu? Akankah tidak terpikir kerusakan moral apalagi yang akan dialami oleh para generasi penerus bangsa ini, yang sudah dibombardir dengan tayangan porno melalui siaran televisi, piranti-piranti cakram bajakan, telepon genggam, dan internet?
Akankah tidak terpikir naiknya angka kejahatan berupa kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, pemerkosaan, trafficking, pedophilia atau semuanya itu sekadar onggokan angka statistik tiada berguna?
Atau akankah pemerintah pun kembali mengulang langkah paradoksal dengan membiarkannya begitu saja beriring dengan program peningkatan sumberdaya manusia Indonesia?
Mengutip pendapat seseorang di sebuah milis: “ketika di dalam kerja keras membenahi pendidikan bagi anak bangsa, pengupayaan peningkatan pengalokasian dana yang cukup, pembenahan sistem pendidikan, perbaikan gedung-gedung sekolah dan disertai peningkatan kesejahteraan guru, ditengarai ada upaya-upaya yang kontra produktif, yang mengikis dan menggerogoti output yang ingin dihasilkan, maka berapa besarkah dana yang akan terhambur sia-sia?” (Arnoldison, 13/1/06). Ya, sia-sia.
Tapi di saat mata hati menjadi bebal kesia-siaan pun hanya dianggap masalah kecil dan resiko yang harus diterima sebagai negara yang akan maju dalam pergaulan global. Tentu dengan sejuta argumen yang telah dikokang. Semisal tidak ada relevansi yang signifikan antara kemajuan dan kedigdayaan suatu bangsa dengan penerbitan-penerbitan tidak bermoral tersebut.
Namun tidakkah kita bisa mengambil pelajaran penting tentang keruntuhan peradaban umat Islam dengan kota-kota gilang gemilangnya di Baghdad, Cordova, Granada, Sevilla, ataupun Istanbul? Ya, keruntuhan terjadi di saat aspek moral sebagai PONDASI suatu peradaban berada pada titik nadir.
Bahkan Prancis yang tergolong negara besar, memiliki militer terlatih dan dipersenjatai dengan senjata-senjata canggih, serta diprediksikan oleh sebagian pengamat sanggup memberikan perlawanan kepada Jerman di saat perang kedua, pada kenyataannya mereka menyerah dengan mudah, tanpa syarat, bertekuk lutut di bawah kaki Hitler. Satu analisis penting dari kekalahan tersebut adalah Perancis dilanda dekadensi moral parah yang dibungkus dengan nama kebebasan (Alwakkil: 1998).
Ataukah kita akan bercermin pada polisi dunia Amerika Serikat (AS) di mana keluarga sebagai PILAR PENEGAK suatu peradaban dengan berjalannya waktu semakin ringkih dan tidak mempunyai ketahanan mental yang kuat. Single parent akibat perceraian ataupun kumpul kebo, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, penyalahgunaan psikotropika, hingga gank-gank kejam yang tidak mengenal hukum dan perikemanusiaan.
Tinggal menunggu waktu saja dari keruntuhannya, yakni di saat hukum dan penegakkannya sebagai ATAP PELINDUNG suatu peradaban hanya sanggup mengaum di atas kertas.
Lalu bagaimana dengan tanah air tercinta ini? Di saat penegakan hukum tidak berjalan, akankah dua hal lain paling esensi suatu peradaban yakni moral dan keluarga pun menjadi tidak kokoh, lemah, ringkih bagaikan sarang laba-laba?
Tentu kita akan sama-sama berseru: Tidak! sambil menata langkah-langkah perbaikan ke depan. Maka, langkah pertama adalah sudah sepatutnya pemerintah sebagai pemegang otoritas sah bersikap tegas. Pelegalisasian rencana undang-undang antipornografi dan pornoaksi menjadi suatu hal yang niscaya. Ketegasan ini perlu agar kebingungan para pakar terhadap pendefinisian pornografi dan pornoaksi berhenti. Dan tentu berhenti dengan keperpihakan pada nilai-nilai moral dan etika yang termaktub pada agama yang dianut mayoritas bangsa ini, yang tentunya juga ada pada agama lainnya.
Langkah Kedua tidak bisa dilepaskan dari peran para perwakilan rakyat di DPR RI dalam mempercepat pembahasan rencana undang-undang tersebut yakni dengan memetakan kekuatan kawan dan lawan. Sehingga dengan demikian diketahui seberapa besar kekuatan riil dari para pengusung moral dan pendukung materialisme. Setelahnya jika perlu pengerahan massa berupa parlemen jalanan dapat dibentuk sebagai kekuatan penyeimbang. Selain sebagai bentuk pengawasan atas kinerja anggota DPR yang seringkali lambat dalam menelurkan legislasi dan tidak sebanding dengan gaji/tunjangannya yang diterima.
Langkah ketiga adalah dengan tetap mempererat silaturrahim dan menyinergikan gerak dari para partai Islam, ormas Islam, LSM dan tentunya pula dengan media Islam serta pemuka-pemuka agama-agama lain yang seide agar tetap menjadi kekuatan penekan yang selalu diperhitungkan. Dengan tidak bosan-bosannya membuat pernyataan sikap, pembentukan opini melalui media massa, dan penyebaran ide perlawanan pada setiap khutbah sholat jumat.
Ketiga langkah di atas akan percuma bila tidak ada dukungan dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Berupa langkah tidak membeli, tidak membaca, tidak menonton produk-produk erotisme dengan alasan apapun. Yang terpenting lagi adalah azzam atau tekad dari setiap muslim untuk selalu terpanggil melakukan amar makruf nahi munkar. Sebagaimana himbauan Ikatan Da’i Indonesia agar setiap muslim harus proaktif dan terdepan dalam menebar nilai-nilai kebaikan dan memusnahkan nilai-nilai kejahatan.
Bila tidak, maka dengarkanlah firman Allah dalam surat AlJaatsiyah ayat 23 ini: ”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
Bila tidak, maka bersiaplah-siaplah melihat seorang bapak sembunyi-sembunyi, ragu-ragu membeli Playboy, sambil bergumam: ”oh Yes, oh No.” Ya, karena dia penasaran. Tidak, karena risih, malu, dan takut ketahuan anak-anaknya. Na’udzubillah.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12:02 15 Januari 2006
No comments:
Post a Comment