pecinta kata-kata
Friday, August 5, 2005 - pecinta kata-kata
[Purnama menggantung di langit Jakarta, menemaniku susuri jalan menuju pulang. Tiba-tiba aku rindu pada purnama di sudut jiwa. Masihkah ia bersemayam di sana? Dan gerimispun menjelma]
Kalimat di atas adalah kalimat pembuka pada sebuah artikel baru yang ditulis oleh seorang penulis muda, seorang kontributor eramuslim.com, seorang teman, seorang sahabat dari terkasih Qaulan Syadiida, yang berjudul Dunia Kata-kata.
Sebelumnya kalimat itu terlebih dahulu mampir di sudut handphone di suatu malam, darinya. Tak sempat terjawab segera. Namun esoknya terbalas dengan:
[Jauh di barat daya. Purnama mengejutkanku saat shubuh. Adanya
tertusuk ranting cemara. Hingga tersadar tak boleh ada gerimis duka
di hati. Karena IA satu-satunya pelipur]
Setelah itu ia mengirim sebuah email tentang kepedulian dan kecintaannya pada kata-kata, hingga ia berkata: aku mencintai kata-kata dan para pecinta kata-kata. (Tak lebih).
Bagi para pecinta kata-kata, ketika menerima kata-kata indah, tergeraklah hati untuk segera membuat kata-kata berbalas yang lebih indah terasa di hati. Maukah kau tahu indahnya kata-kata di atas?
Siapa yang menyangkal indahnya purnama? Maka teman tadi membuat sebuah metafora purnama sebagai hiasan dan teman pulangnya. Ada sentakan keindahan lagi saat membaca kalimat berikutnya: “…purnama di sudut jiwa. Masihkah ia bersemayam di sana?”. Purnama di sudut jiwa, diksi yang cantik. Siapakah ia? Tanyakan saja padanya. “Gerimispun menjelma”, lagi-lagi pilihan kata yang indah menggantikan awal mula turunnya hujan.
Sedangkan saya benar-benar mengalami keterkejutan saat keluar dari masjid karena terpampang dengan indahnya purnama subuh yang membulat penuh di lihat mata. “Oh…saya tak menyangka, malam lalu adalah malam purnama,” pikir saya. Hingga saya terpesona beberapa saat. Sampai pada kesadaran bahwa saya harus mensyukuri atas kesejukan plus keindahan subuh yang tiada tara. Maka tak boleh ada gerimis duka, air mata yang menganak sungai di pipi, dan gulana yang meresahkan jiwa karena sarat beban. Sudah sepatutnya semuanya kita sandarkan pada-Nya, pemilik segala jiwa, mahapelipur segala lara.
Tak semua orang bisa menikmati kata-kata. Tak semua orang bisa mengerti tentang indahnya kata-kata. Tak semua orang bisa memahami cantiknya kata-kata. Hingga seorang pecinta kata-kata terkadang mencari, mencari, dan mencari seorang pecinta kata-kata untuk berbagi kata, berbagi keindahannya, berbagi cantiknya diksi, berbagi rasa dan imaji.
Namun ada yang harusnya tidak terlewati, pertanyaan tentang kepada siapakah kata-kata itu ditujukan? Karena jikalau ia tahu maka ada hati yang akan tersakiti. Bukan karena kata-katanya tapi karena kata-kata itu diurai kepada yang telah memiliki hati. Khusus untuk yang satu ini, maka tiga hal yang perlu dilakukan: hentikan segera, hentikan segera, dan hentikan segera. Jika tidak, ada sepasang hati yang akan membiru dan berdarah-darah tiada halalnya, atau ada satu hati yang merana karenanya.
Atau kau suarakan pada dunia dengan sekeras-kerasnya, tidak berbisik, tidak pada media yang amat-amat pribadi. Maka berikanlah kata-kata indahmu pada hati yang telah halal untukmu.
Seperti yang Qaulan Syadiida kirimkan kata-kata indahnya pada saya:
[Bunga mawarku mungkin hanya satu dari jutaan mawar di dunia. Tapi mawarku istimewa, unik dan sangat berharga bagiku. Karena aku telah menghabiskan waktu bersamanya, melakukan banyak hal untuknya maka aku mencintainya, meski durinya kadang menyakitiku. Jika cinta dan luka adalah dua sisi yang berkelindan dari keping yang sama mungkin aku harus belajar lapang dada agar duri mawarku tak mengenai permata hatiku, cukup aku. Meski aku tak tahu bila durinya kembali menyakitiku.]
Maka saya pun membalasnya dengan kata-kata:
[Aku merinduimu layaknya api merindui air. Aku merniduimu layaknya layar merindui angin. Aku merinduimu layaknya tanah kering merindui hujan. Maka kemarilah wahai pelipur lara untuk tuntaskan kerinduan].
dan menambahnya dengan:
[Aku mencintai kata-kata dan para pecinta kata-kata , ujar seorang teman pujangga. Maka deraskanlah kata-katamu hanya untukku bak badai yang tak temukan habisnya].
Tapi ingatlah wahai Qaulan Syadiida, sesungguhnya tiada sebaik-baik kata-kata kecuali kalimat pengesaan-Nya. Tiada sebaik-baik syair kecuali firman-Nya. Maka cintailah dengan utama kata-kataNya. Deraskanlah ia di bibir dua puluh sisi setiap harinya. Sejak itu kau akan rasakan indahnya, nikmatnya. Maka bolehlah aku dan kau disebut sebagai pecinta kata-kata.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di antara penat yang tiada lelah mencabikku
00:46 05 Agustus 2005
No comments:
Post a Comment