17 April 2007

pajak di antara penulis dan penerbit

Monday, November 28, 2005 - pajak di antara penulis dan penerbit


Sudah selayaknya seorang penulis memperoleh penghargaan atas karyanya yang diterbitkan oleh penerbit berupa royalti, atas karyanya yang memenangkan perlombaan berupa hadiah, dan atas karyanya yang dimuat di media cetak berupa honorarium atau apapun namanya.

Tulisan ini tidak berkisar tentang besaran nilai dari royalty, hadiah, atau honorarium yang layak dan pantas untuk penulis, tapi membahas tentang sesuatu yang terlupa atau sengaja dilupakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di sini entah penulis atau pemberi penghargaan atau imbalan tersebut, yakni PAJAK.

“Wow, pajak…makhluk apa pula ini”.

Sudah menjadi suratan takdir bahwa manusia selalu ingin untung dan tidak mau rugi sama sekali. Begitu pula sikap manusia terhadap pajak, kalau bisa tidak bayar pajak mengapa harus bayar? Itu yang biasa dipikirkan oleh manusia bagaimana menghindarkan diri dari pajak. Wong zakat yang diwajibkan syariat agama saja—kalau tidak ingat siksa akhirat yang didapat—diupayakan untuk bisa dihindari pula dan masih banyak orang yang tidak bayar zakat.

Oleh karena itu, salah satu definisi kuno Adriani—orang Belanda—terhadap pajak adalah adanya unsur yang dapat dipaksakan, selengkapnya: ”Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanaya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”(Brotodihardjo:1993)

Nah, kembali kepada masalah penghargaan kepada penulis itu, maka ada kewajiban pajak yang terselip di antaranya, yakni pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atau yang biasa disebut Pajak Penghasilan Pasal 21.

Kewajiban yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh penulis ataupun pemberi penghargaan tersebut. Jika tidak maka ada sanksi yang mengikutinya dan yang akan menanggung beban berat adalah pemberi penghargaan karena simpul kewajibannya yang paling besar menurut ketentuan perpajakan yang berlaku ada padanya.

Yakni kewajiban utama dari pemberi penghargaan adalah melakukan penghitungan yang benar, pemotongan yang benar, dan penyetoran pajak yang benar terhadap imbalan dalam nama dan bentuk apapun yang diberikan kepada penulis. Satu lagi yang sering terlupa adalah pemberi imbalan wajib memberikan Bukti Pemotongan pajak baik diminta ataupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak.

Sedangkan bagi penulis—dalam ketentuan pajak tidak disebut dengan istilah ini tapi dengan istilah ”pengarang”—ia harus rela pendapatannya dipotong pajak. Tapi ini tergantung perjanjian kontrak yang ditandatangani oleh penulis dan penerbit, aturan perlombaan, atau aturan redaktur media apakah mencantumkan klausul khusus tentang pemotongan pajak ini. Hal ini untuk menghindari sengketa di kemudian hari antara penulis dan penerbit, juga persiapan jika diperiksa oleh auditor dari kantor pajak.

Jika dalam perjanjian kontrak, aturan perlombaan, atau aturan redaktur media disebutkan bahwa seluruh pajak ditanggung oleh penulis maka penulis harus rela penghasilannya dipotong pajak. Jika disebutkan bahwa pajak akan ditanggung oleh penerbit, penyelenggara perlombaan, atau media maka bersyukurlah karena begitu baiknya mereka—dan ini langka.

Jangan khawatir bagi penulis yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), ia memiliki keuntungan tersendiri yakni dapat mengurangkan pajak akhir tahunnya dengan pajak yang telah dipotong pemberi imbalan itu atau biasa disebut kredit pajak. Sehingga pajak yang masih harus dibayar pada akhir tahun jumlahnya akan nihil, atau sedikit saja, atau bahkan lebih bayar—dapat diminta kembali atau untuk kompensasi pajak berikutnya.

Selanjutnya, berapa sih tarif pajak yang diberlakukan terhadap penghasilan yang diterima oleh penulis? Tarif yang dikenakan berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000 yakni berkisar antara 5% sampai 35%, berikut tarifnya:

- Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) s.d. Rp25 juta : 5%

- Lapisan PKP di atas Rp25 juta s.d. Rp50 juta : 10%

- Lapisan PKP di atas Rp50 juta s.d. Rp100 juta : 15%

- Lapisan PKP di atas Rp100 juta s.d. Rp200 juta : 25%

- Lapisan PKP di atas Rp200 juta : 35%



Gede banget...Memang ada penulis yang penghasilannya di atas Rp200 juta? Insya Allah ada, apalagi penulis bule yang bukunya sering jadi best seller.

Apa...? Nggak denger...Ooh, yang itu. Iya, iya...sabar yah, saya akan kasih contoh perhitungannya. Ini anak nggak sabaran banget, takut kegedean dipotongnya yah?

Coba saya ilustrasikan untuk masalah royalti terlebih dahulu.

Seperti yang dituturkan dalam Royalti yang Pantas untuk Penulis (Asma Nadia:2005), saat bukunya terbit penulis biasanya akan mendapatkan downpayment atau apapun namanya senilai 20% dikali prosentase royalti dikali jumlah cetakan pertama dikali harga jual.

Misalnya jika buku terbaru karya Mohammad Fauzil Adhim ’Inspiring Words for Writers’ di jual seharga Rp32 ribu (Adhim: 2005) dan prosentase royaltinya sebesar 10% (karena ia penulis ternama), jumlah cetakan pertamanya 5000 eksemplar, penghasilan downpayment yang diterima Bang Fauzil adalah sebesar:



= 20% x 10% x 5000 x Rp32.000

= Rp3.200.000,00



Maka pajak yang harus dipotong oleh penerbit Pro-You dari penghasilan itu adalah sebesar:

= 5% x Rp3.200.000,00

= Rp160.000,00.



Jika buku itu laris di pasaran dan laku terjual semua, maka penghasilan berupa royalti yang diterima adalah sebesar sisanya:

= 80% x 10% x 5000 x Rp32.000

= Rp12.800.000,00.

Besaran tarif yang dipakai tetap sebesar 5%, sehingga PPh Pasal 21 yang di potong adalah sebesar = 5% * 12.800.000,00 = Rp640.000,00.



Jikalau, buku tersebut berulangkali di cetak lagi karena begitu larisnya sampai mencapai jumlah 100.000 eksemplar sehingga mencetak sejarah baru dalam dunia perbukuan Indonesia, maka dapat dihitung berapa royalti yang diterima oleh Bang Fauzil ini yakni sebesar: 10% * 100.000 x Rp32.000,00 = Rp320.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang dipotong oleh penerbit adalah sebesar:

Rp25.000.000,00 x 5% = Rp1.250.000,00

Rp25.000.000,00 x 10% = Rp2.500.000,00

Rp50.000.000,00 x 15% = Rp7.500.000,00

Rp100.000.000,00 x 25% = Rp25.000.000,00

Rp120.000.000,00 x 35% = Rp42.000.000,00

Total jenderal PPh Pasal 21 yang dikenakan terhadap penghasilan Bang Fauzil adalah sebesar Rp78.250.000,00. Jumlah yang sangat fantastik untuk sekadar membayar pajak.

Ilustrasi di atas adalah contoh pengenaan pajak terhadap royalty yang diterima oleh penulis. Bagaimana dengan penulis yang memenangkan hadiah atas keikutsertaannya dalam perlombaan penulisan artikel fiksi dan non fiksi yang diselenggarakan oleh penerbit Islami atau lembaga lain misalnya?

Tidak ada bedanya dengan ilustrasi di atas, tinggal diterapkan saja tarif tersebut di atas dengan jumlah hadiah dalam nama dan bentuk apapun yang diterima. Gampangnya begini, Tari menjadi juara pertama dalam lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Lingkar Pena Publishing House, hadiah yang di dapat adalah berupa kesempatan umroh ke tanah suci Makkah pada 10 hari terakhir ramadhan.

Untuk menghitung PPh Pasal 21, terlebih dahulu harus dinilai besaran penghasilan kena pajak tersebut dalam bentuk uang artinya berapa biaya umroh itu berdasarkan nilai pasarannya, misalnya sebesar Rp15.000.000,00, maka PPh Pasal 21-nya adalah jumlah tersebut di kali tarif 5%.

Bagaimana dengan honorarium yang diterima oleh penulis karena artikelnya dimuat di surat kabar? Sama persis dengan ilustrasi di atas, dengan menerapkan tarif PPh terhadap jumlah honorarium yang diterima.

Jikalau penulis mendapatkan jumlah yang diterimanya utuh tanpa dipotong pajak, berarti PPh pasal 21nya ditanggung oleh pemberi royalti, hadiah, dan honorarium. Pemberi penghargaan—seperti telah diuraikan di atas—berkewajiban untuk menghitung, memotong, menyetorkan ke bank, serta melaporkannya ke kantor pajak.

Bagaimana jika tidak? Karena kemungkinan ada pula pemberi hadiah yang telah memotong pajak dari penulis namun tidak melakukan kewajiban selanjutnya yakni kewajiban penyetoran dan pelaporan. Ini tidak akan diketahui sampai dilakukannya pemeriksaan oleh auditor dari kantor pajak terhadap pembukuan pemberi hadiah, biasanya dilihat pada sisi biaya yang akan mengurangi penghasilan kena pajak.

Auditor akan mengecek jumlah biaya berupa hadiah atau royalti pada pembukuan dengan jumlah hadiah atau royalti yang dilaporkan ke kantor pajak. Bila ditemukan selisih yang lebih besar pada pembukuan pemberi hadiah, maka terhadap selisihnya itu dikenakan tarif PPh pasal 21 sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak atau langsung dikenakan dengan tarif yang tertinggi. Jangan lupa ada sanksi yang harus dikenakan terhadap pemberi hadiah yakni sanksi adminsitrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan dengan maksimal pengenaan bunga sebesar 48% terhadap jumlah yang seharusnya disetor. Besar juga.

Selain itu jika tidak dilaporkan oleh penerbit atau pemberi penghargaan, yang akan rugi adalah penulis yang mempunyai NPWP dan mengkreditkan pemotongan itu. Jikalau penulis mengklaim adanya kelebihan pajak karena besarnya pemotongan yang dilakukan oleh penerbit lebih besar daripada penghitungan pajak akhir tahun, dan kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap penulis tersebut, auditor pajak akan melakukan konfirmasi kepada kantor pajak dimana penerbit melaporkan pajaknya.

Jawaban konfimasi yang tidak ada—karena penerbit tidak melaporkan pajak yang dipotongnya—akan mengakibatkan kredit pajaknya tidak bisa dikreditkan sebagai pengurang pajak. Akibatnya jumlah kelebihan pajak yang seharusnya bisa dinikmati oleh penulis akan berkurang atau bahkan penulis diharuskan membayar tambahan pajak lagi. Ini jelas tidak mengenakkan bukan?

****

Inilah sekelumit tentang pajak di antara penulis dan penerbit, yang ternyata tidak hanya ada madu di antaranya. Tulisan ini berusaha untuk memberikan sedikit gambaran tentang pengenaan pajak apa saja yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima oleh penulis. Sehingga diharapkan bahwa penulis sadar bahwa ada pajak (selain zakat tentunya) yang ia bayar dan dititipkan kepada penerbit, di mana penerbit harus melakukan kewajiban lainnya. Dan juga kesadaran adanya hak dan kewajiban yang sama-sama dipikul oleh penulis dan penerbit.

Tulisan ini bukan pula untuk menakut-nakuti penulis dan penerbit, karena kebanyakan kelalaian ini sengaja atau tidak, di kemudian hari akan mengakibatkan penerapan sanksi yang memberatkan dan membutuhkan proses keberatan serta banding yang cukup lama. Artinya ketika kita mempersiapkan sedini mungkin untuk penghindaran sanksi itu, maka ini berarti kita mempunyai tax planning yang bagus, sehingga tak perlu menyewa konsultan pajak yang akan merasa bahagia ketika urusan kita tidak kunjung selesai karena banyaknya charge yang bisa dinikmati mereka.

Allohua’lam.




riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

tidak berhenti di 104

10:09 28 September 2005







: ada yang kurang jelas,

sila untuk email di

dedaunan02@telkom.net

No comments: