09 April 2007

MENULIS ITU GAMPANG

Menulis bagi sebagian orang adalah hal yang paling menyulitkan, buktinya banyak mahasiswa yang ingin segera menyelesaikan kuliahnya terbentur dalam tugas akhir berupa penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk sebuah skripsi.

Menulis pun bagi sebagian yang lainnya adalah hal yang mudah, kita tinggal menuangkan apa yang ada dalam pikirannya ke dalam sebuah kertas (layar putih kosong, sekarang….) dan untuk memulainya kita tak peduli dengan bagus atau enak tidaknya tulisan itu dibaca. Menurut saya, itu yang penting bagi seorang penulis pemula termasuk saya ini.

Sebagai bentuk pelatihan, kita tidak harus memulai dengan sebuah cerita pendek, essay, apalagi sebuah novel. Tidak, tidak dengan itu, tapi kita menuangkan apa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari—walaupun sekecil apapun objek tulisan—mungkin sebuah perasaan yang timbul ketika kita sedang mencuci pakaian atau motornya, ketika kita sedang jalan-jalan di mal, atau ketika kita sedang merenung di sebuah halte di waktu hujan mengguyur dengan derasnya. Bahkan kebanyakan penulis besar memulainya dengan menulis sebuah diary. Jangan malu-malu untuk mengungkapkannya. Hhm…Oh ya tradisi menulis diary di barat menjadi gerbang penulisan populer dan biografi.

Ketika kita telah mempunyai gagasan, kita pun segera menuliskannya, dan kita tak peduli juga berapa paragraf yang telah kita susun. Yang penting kita bersegera untuk menuliskannya seperti bersegeranya saya ke masjid karena adzan maghrib telah berkumandang memanggil. Dan itupun sudah menghasilkan empat paragraf .

Lanjut lagi, tapi ternyata semua itu tidak mencukupi. Karena kita mempunyai sedikit gagasan. Berkali-kali kita membulatkan tekad untuk menulis apa yang ada di kepalanya. Tapi apa daya kita tak mampu menulis sebuah huruf pun (karena kita sering tekan tombol delete dan back space). Kalau orang timur bilang: nafsu besar tenaga kurang.

Kurangnya gagasan itu bisa ditimbulkan karena kurangnya kita membaca. Jadi dengan membaca kita sebenarnya sedang menyusun sebuah perpustakaan besar di otak sebagai sebuah sumber berjuta-juta referensi (ingat bukan, bahwa otak kita bermemori satu juta gygabyte), tinggal kita men-defrag-nya supaya bisa tersusun rapih, maklum semakin tua kita semakin mudah lupa di sebelah mana sebagian memori itu kita simpan di otak.

Selain itu, ternyata kita butuh suatu sistematika gagasan, karena terkadang ketika kita sudah mempunyai semuanya dan lalu kita mencoba menuangkannya, sepertinya ada yang kurang. Oh ternyata si Kodok yang main nih, ya karena ternyata tulisan kita melompat-lompat, kadang lompatannya ke kiri dan ke kanan tak beraturan (seperti tulisan saya ini) tapi tak mengapa. Kita butuh suatu sistematika gagasan. Caranya bagaimana? mudah saja: ambil secarik kertas dan tulis poin-poin kecilnya, atau kalau malas melakukannya tulis saja semua lalu baca dan baca lagi, pasti kelihatan mana lompatan yang benar dan mana yang kesandung-sandung.

Dan bersyukurlah bagi anda yang sudah mempunyai komputer di rumahnya, walaupun kata sebagkitan pakar IT, komputer kita hanya sebatas mesin tik belaka, tapi tak mengapa. Mengapa demikkitan, karena kita tak perlu menyobek-nyobek kertas lagi karena saking kesalnya betapa tulisannya jelek banget. Di mesin tik modern ini kita cuma tinggal pencet dua tombol tadi. Tapi ya mbok di ingat, tarif listriknya bang…:-).

Terakhir, tulis sekarang juga.

Oh ya terakhir sekali, publikasikan tulisan anda, itu penting juga lho untuk mendapatkan masukan berharga.


RIZA ALMANFALUTHI
dedaunan di ranting cemara

di antara optimisme hidup
8:47 29 Juli 2005 dengan sedikit revisi
*) judul di atas mengutip judul sebuah buku yang ditulis Arswendo Atmowiloto

No comments: