06 April 2007

Melatiku di Sabtu Malam

30.5.2005 - 30.5.2005 - Melatiku di Sabtu Malam



Hai…bertemu kembali denganku, dalam keceriaan Sabtu Malam. Dengarkan Melati di Jayagiri dan Aryati di sepanjang ku menulisnya. Teringat suasana alam perjuangan para pendahulu kita melawan para penjajah dulu. Dengan setelan baju dan celana pendek warna coklat toska kumuh, topi miring dengan senapan ala kadarnya atau paling canggih senapan mesin penembak pesawat udara.
Bergerilya susuri lembah dan gunung, sampai berjalan mengendap-endap di jalanan Kota Cirebon. Lewati rumah-rumah Cina bergaya tempo doeloe. Wuih, melankolis nian daku tinggalkan sebongkah hati di belakang dengan senapan di pundak. Mula Bekasi, Tanjung Pura, Cilamaya, Cikampek, Pamanukan, Subang, Bandung, Sumedang, Cirebon, sampai ke Yogya.
Ah, sudahlah lupakan memori tentang perang kemerdekaan dulu, lupakan bertempur dengan Kolonel “Jantje” Meijer di Sekitar Gunung Slamet. Lupakan semuanya dulu hingga kau kembali teringat akan Aryati, kembali lagi kau bisa susuri ingatan dulu.
Sudah berapa tahun sih kita Merdeka? Ternyata kita jelang 60 tahun usia republik ini. Tapi mengapa kalau aku berbicara dengan teman seperjalanan selalu berisi keprihatinan-keprihatinan dengan nasib bangsa ini? Keprihatinan tentang nasib anak-anak jalanan, orang miskin, pengangguran, sistem pendidikan, mutu sumber daya manusia, sistem peradilan, para penegak hukum, nasib pulau-pulau di perbatasan, nelayan-nelayan miskin, para petani, sistem keuangan dan moneter, ketidakberdayaan bangsa ini di dunia internasional sungguh tiada izzah, korupsi yang berurat dan berakar, dan masih banyak ribuan permasalahan lainnya yang tak dapat ditulis satu persatu dan tak bisa di bahas dengan ribuan seminar pun.
Sedangkan di negeri ini sungguh banyak orang pintar, konon kata dosenku Indonesia ini mempunyai doktor terbanyak di dunia. Tapi kok yah..jadi begini nasib bangsa ini. So, ternyata kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa tidak berbanding lurus dengan banyaknya orang pintar an-sich. Dibutuhkan juga mereka yang memiliki moral hazard, dan nilai-nilai kebaikan.
By the way, tiba-tiba aku jadi malas nerusin tulisan ini, mood saya kembali hilfil (hilang feeling ). Ya sudah, cukuplah di sini saya pikirkan bangsa ini. Berarti kemampuan saya cuma segininya. Urusan itu biarlah para petinggi kita yang memikirkannya. Terpenting, bagaimana sih kemajuan bangsa ini dimulai dari tindakan kebaikan kecil yang kita lakukan untuk kemaslahatan bangsa ini? Sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil.
Terakhir, jangan terlena dengan Melati di Jayagiri yah…coz, it was…


Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

No comments: