09 April 2007

MASJID KITA

MASJID KITA

Sekitar pukul 16.30 WIB dalam perjalanan menuju stasiun Gondangdia Ahmad terlebih dahulu singgah di suatu masjid yang terletak di komplek perkantoran untuk menunaikan Sholat Ashar. Masjid Kebon Sirih namanya. Untuk menuju masjid tersebut maka harus melewati pintu gerbang utama gedung. Ahmad meminta izin untuk masuk ke komplek perkantoran tersebut kepada Satpam yang bertugas di gerbang tadi. Dengan pandangan penuh selidik dan tanda tanya, Satpam mempersilahkan Ahmad untuk masuk setelah mendapat penjelasan bahwa dirinya mau menunaikan Sholat.

Dari kejauhan arsitektur masjid itu sungguh indah dan menawan, ruang utama masjid berada di lantai dua. Lantai bawah adalah untuk ruangan pertemuan atau ruangan apapun namanya. Untuk menuju ruangan utama Ahmad harus menaiki anak tangga ke atas. Tapi sebelumnya, persis di depan tangga berjaga pula seorang Satpam dengan membawa HT. Ahmad pun meminta izin pula untuk shalat. Lalu Ahmad menaiki tangga dan mencari tempat wudhu, dan ternyata Satpam pun mengikuti Ahmad ke atas dan duduk menunggu di teras masjid yang berhalaman luas tersebut. Ahmad pun sholat. Setelah sholat sebenarnya Ahmad masih ingin beristirahat sejenak, mengagumi ornamen masjid yang begitu indah, mengamati pemandangan di sekitar gedung masjid, dan membaca mading yang tertempel di papan pengumuman, namun dirinya merasa tidak enak dengan adanya pengawasan dari Satpam tersebut, sehingga ia buru-buru untuk segera meninggalkan masjid. Ahmad ber-khusnudzon saja, soalnya hari itu adalah hari keempat lebaran, yang tentu saja Jakarta masih sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Apalagi pada malam natal lalu guncangan bom meledakkan banyak gereja dan memakan banyak korban, tentu Satpam harus dapat meningkatkan kewaspadaannya.

Pengalaman lainnya di alami oleh Hakim yang berniat untuk melaksanakan sholat Dhuha di masjid di bilangan Pondok Aren. Tapi apa lacur, niatnya untuk memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan kandas karena fasilitas untuk berwudhu dan pintu masjid terkunci dengan rapat. Padahal di dalamnya ada sang marbot yang melihatnya sedang berusaha membuka pintu yang terkunci, namun sang marbot bergeming untuk tetap membiarkan Hakim berada di luar. Fenomena apa pula ini?

Itulah masjid kita. Banyak masjid didirikan namun tak banyak pula yang dapat diramaikan oleh beragam aktivitas. Pendirian masjid yang susah payah—sampai-sampai dengan mengumpulkan dana di jalan-jalan, setelah berdiri megah dan indah namun sunyi senyap. Kegiatan baru tampak ketika sholat Magrib dan Isya plus shubuh, itu kalau masjid yang berada di perkampungan, bila yang ada di perkantoran hanya ramai pada saat sholat Dhuhur dan Ashar saja, sedang waktu-waktu lainnya jangan ditanya, padahal disekitar perkantoran tersebut terdapat perkampungan penduduk.

Apa yang dialami oleh Hakim dialami oleh banyak musafir yang ingin memenuhi hajatnya, fasilitas MCK yang tidak memadai dan terkunci. Padahal masjid adalah tempat yang pertama kali dicari oleh musafir yang berniat istirahat. Alasan apa yang paling kita dengar adalah supaya masjid dan segala fasilitas yang ada tidak kotor dan barang-barang aman, jadi silahkan saja sholat di luar masjid. Tapi Masjid adalah milik umat, bukan milik suatu RT, kelompok, atau komunitas masyarakat di sekitarnya, tapi tetap yang berkewajiban menjaga dan merawatnya sudah tentu mereka. Akankah masjid kita akan selamanya begini? Think about it.






riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

tiga yang lampau, dengan perbaikan kini

10:22 23 Juli 2005

No comments: