both sides perspective (kasus lupa absen)
Wednesday, July 27, 2005 - both sides perspective (kasus lupa absen)
Bagaimana tidak jengkel ketika menyadari bahwa saya yang seharusnya tidak pernah terlambat dan tidak pernah pulang cepat di bulan Juli dinyatakan satu kali tb dan satu kali pc. Dan ini hanya gara-gara saya benar-benar lupa menaruh jari saya di atas scanner absen. What the…
Apalagi belum ada solusi tuntas yang diberikan oleh teman penanggung jawab absen untuk mengatasi permasalahan ini. Berarti siap-siap saja ada pengurangan nilai dari take home pay yang di dapat. Masalahnya bukan pula nilai yang akan kita dapat—tapi sesungguhnya dalam setiap nilai itu berharga karena tidak ada nilai yang besar kalau tidak diawali oleh nilai yang kecil—tapi adalah hak saya yang dirampas oleh sebuah sistem yang tidak mengakomodir sekecil apapun kekhilafan dan kealpaan manusia dan secara sewenang-wenang merebut hak-hak saya sebagai manusia. Ingat saya juga manusia (mengutip lirik seurieus).
Maka apa yang terjadi, perasaan tertindas dan ego saya muncul—alhamdulillah tidak ada makian dan umpatan yang keluar dari mulut ini, karena saya sadari semua itu tidak baik, menyakiti diri sendiri, juga tetap tidak solutif. Dan puluhan rencana segera siap dijadikan meriam untuk ditembakkan dalam perang, seperti protes kepada pemimpin Subbagian juga kepada pimpinan tertinggi, sampai jika saja rencana itu tetap gagal, maka saya pasrah dan akan saya tuntut saja hak tersebut di akhirat, karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pengadilan-Nya adalah pengadilan yang seadil-adilnya. Sekali lagi ini karena masalah hak yang tidak semestinya diberikan kepada saya, sedangkan saya telah melaksanakan semua kewajiban yang dibebankan dan Insya Allah telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Sampai suatu ketika, ada sekelebat titik kesadaran bahwa ini perlu didiskusikan dengan teman, sehingga awalnya diharapkan ada sokongan moral untuk mendukung upaya yang akan saya lakukan.
Akhirnya bukan hanya dukungan namun ada sebuah ide yang membuat saya harus merubah paradigma berpikir saya selama ini. Apa yang teman saya bilang, “cobalah kita berpikir dengan both sides perspective.” Wah, makhluk macam apa pula ini?
Ternyata hal inilah yang dari dulu saya berusaha lakukan, namun jarang sekali saya pakai untuk setiap permasalahan yang melibatkan dua pemikiran manusia. Kadang saya pakai dan kadang tidak. Dan untuk kasus kali ini saya tidak terpikir sekejap pun untuk memakai cara pandang dengan dua sisi itu. Sisi kita dan sisi mereka. Sisi pelaku dan objek penderita.
Saya dan teman, satu persatu mengurai kasus ini dengan menggunakan cara berpikir pada sisi mereka—yakni teman-teman di Bagian Umum. Artinya kita berusaha memahami mengapa hal ini terjadi dengan kita berperan sebagai mereka. Hasilnya sungguh mengejutkan bahwa ternyata ada sisi empati yang harus saya timbulkan dan berikan untuk mereka karena mereka telah banyak melakukan yang terbaik untuk saya, mengurus kepegawaian saya, berusaha membayar gaji saya dengan tepat waktu—walaupun terkadang ada saja kendala yang mengakibatkan keterlambatan tersebut, melayani saya dan seksi dalam masalah penyediaan alat-alat tulis kantor sehingga pekerjaan kantor bisa terselesaikan dengan cepat, dan masih banyak lagi lainnya. Jadi mengapa saya harus merusak kebaikan mereka dan hubungan baik yang sudah terjalin selama ini dengan ego dan marah saya yang tiada berujung dan sekali lagi tiada solutif.
Pada suatu titik pula, dengan berpikir dua sisi itu, sedikit demi sedikit kerelaan mulai tumbuh di hati, pemikiran saya mulai jernih, dan tidak emosional untuk mengambil langkah yang dapat memuaskan dua pihak. Sehingga muncul pemikiran cemerlang yakni untuk mendiskusikannya dengan pimpinan Subbagian. Kiranya itu yang belum saya lakukan, yakni upaya tabayyun, memperoleh informasi yang benar dan langsung dari pihak yang mempunyai otoritas penuh.
“Fleksibel saja,” kata terakhir yang terucap darinya. Ya, akhirnya ada solusi yang didapat. Dan pembicaraan itu berakhir tidak seseram yang saya bayangkan. Dua pihak terpuaskan.
Kita tak pernah rugi untuk berpikir both sides perspective. Terutama untuk menghindari dzan-dzan atau prasangka-prasangka buruk yang akan mematikan kejernihan akal kita.
Kepada teman-teman di Subbagian Umum, saya seribu kali menjura dengan kata maaf selalu terlontar dari mulut yang masih belum serasi dengan hati. Insya Allah, saya akan belajar untuk memakai both sides perspective itu dalam setiap pemikiran saya.
Sekali lagi, pakailah ia, karena ia akan menjernihkan.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di shubuh yang menjelang
dengan kantuk yang tiada terkira
04:44 27 Juli 2005
No comments:
Post a Comment