HADITS PALSU TENTANG JIHAD AKBAR
Tuesday, January 17, 2006 - HADITS PALSU TENTANG JIHAD AKBAR
Jihad dewasa ini berkembang menjadi suatu topik yang banyak dibicarakan dan ditulis oleh orang-orang yang bahkan belum pernah melewatkan waktu mereka satu menitpun di medan perang. Berbagai individu Muslim ini menjabarkan apa yang dimaksud dengan jihad dan apa yang bukan. Di antara yang mereka sebutkan adalah bahwa memelihara dan membesarkan anak adalah jihad, berdakwah adalah jihad, mengajak orang lain untuk pergi ke masjid adalah jihad, merendahkan pandangan adalah jihad, dan lain sebagainya.
Hanya sedikit ulama yang menjelaskan makna jihad sebagaimana yang dipahami dan dijelaskan oleh ulama dari mazhab yang empat, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali, yaitu jihad dalam pengertian linguistik berarti “berusaha/berjuang dengan sungguh-sungguh” dan dalam pengertian syari’ah berarti “berperang menghadapi musuh Allah”. Ibnu Hajar Al-Asqalani, pensyarah Shahih Bukhari, menyatakan bahwa setiap kali kata “fi sabilillah” di sebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka hal itu berarti Jihad.
Hanya sedikit ulama yang benar-benar menunaikan kewajibannya mengajak orang lain untuk menyembah Alloh SWT dan mematuhi perintah-Nya. Hanya sedikit ulama yang menerangkan kewajiban jihad dalam Islam dengan semestinya. Dan para ulama ini adalah mereka yang pernah terjun langsung dalam jihad.
Mereka telah mencium bau mesiu, mereka telah merasakan kepulan debu peperangan, keringat mereka mengucur deras di bawah hujan tembakan dan bom musuh. Tidak seorang ulama pun yang pernah terjun langsung ke medan perang yang mengatakan bahwa bangun menegakkan shalat shubuh atau memelihara dan membesarkan anak di lingkungan sekuler dan kafir adalah jihad.
Pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa jihad adalah seperti apa yang disebutkan di atas, adalah pendapat mereka yang sudah kalah sebelum berperang menghadapi musuh orang kafir, pendapat mereka yang bersedia untuk tunduk pada kemauan musuh, yang setuju atas perbuatan orang kafir, yang malu untuk pergi berjihad, yang berusaha untuk menyenangkan hati orang kafir dengan memenuhi tuntutan mereka untuk tidak mengakui jihad sebagai suatu peperangan.
Bertentangan dengan apa yang dikatakan individu muslim ini, salah satu definisi tepat apa yang digunakan orang-orang non-muslim, dalam mengartikan jihad adalah “Perang Suci” (Holy War). Jihad adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam bentuk peperangan secara fisik, yang dilakukan karena sebab-sebab yang agung, suci, dan mulia, yaitu dalam rangka menegakkan Kalimatullah SWT. Kebanyakan orang non-muslim telah memahami jihad dalam definisi ini, namun berbagai individu muslim ini selalu menentang dan menyatakan ketidaksetujuannya jika jihad diartikan sebagai Holy War. (Azzam Publication, 8: 2002).
Tulisan ini tidak akan membicarakan tentang hukum berjihad (fardu ‘ain atau fardhu kifayah) yang sudah jelas dalam Kitabullah, dan Hadits-hadits Nabi, dan telah disepakati oleh para imam mazhab fuqoha salaf maupun khalaf. Namun disini akan diuraikan tentang suatu perkataan bahwa jihad memerangi musuh adalah jihad kecil atau seringkali dianggap sebagai jihad dalam arti sempit., dan ini banyak diungkapkan oleh mereka yang merasa cendekiawan muslim di tanah air ini.
Banyak disinyalir bahwa jihad memerangi musuh agama adalah termasuk jihad kecil (jihadul ashghar). Sedang yang dikatakan sebagai jihad besar (jihadul akbar), adalah memerangi hawa nafsu.
Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah riwayat:
“Kita telah melaksanakan jihad kecil, dan akan menuju jihad besar”. Para sahabat bertanya: “Apakah jihad akbar itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab: “Yaitu jihad melawan hawa nafsu.”
Sebagian umat Islam berupaya mengalihkan pandangan umat Islam terhadap pentingnya jihad, mempersiapkan diri, berniat melaksanakan dan mengmalkannya. Tetapi pada kenyataannya, dalil yang digunakan tersebut bukanlah sebuah hadits, demikianlah kata Ibnu Hajar Al-Asqalany di dalam Tasdidul Qaus. Tetapi yang benar adalah perkataan Ibrahim bin ‘Ailah. Memang ungkapan tersebut sangat populer di kalangan umat Islam, sehingga tampak sebagai hadits.
Al-‘Iraqy di dalam Takhriju Ahaditsil Ihya’ mengatakan: “Hadits tersebut oleh Imam Baihaqy dengan sanad dhaif, dari Jabir. Al-Khatib juga meriwayatkan hadtis tersebut di dalam buku sejarahnya, dari Jabir.
Andaikan hadits ini shahih, makna yang dikandung bukan berarti mengenyampingkan persoalan jihad. Sebab, jihad itu dilakukan di dalam rangka melakukan penyelamatan terhadap negara Islam atau menolak serangan musuh dari wilayah Islam. Tetapi yang terkandung dalam hadits tersebut ialah wajib melawan hawa nafsu, sehingga sikap hati menjadi ikhlas hanya karena Alloh. (Imam Hasan Al Banna, 81).
Dalam sebuah buku lain disebutkan: Perkataan: “Kita kembali dari jihad kecil (peperangan) menuju jihad besar”, yang oleh sementara orang disebut sebagai hadits, secara fakta adalah salah, dan merupakan karangan belaka yang tidak memiliki dasar. Sebenarnya perkatan ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah, seorang generasi penerus dan bertentangan antara isi dan realita.
Ibnu Taimiyah di dalam Al-Furqan PP.44-45 menulis: Hadits ini tidak mempunyai sumber yang shahih dan tidak seorang ahli hadits dan ulama pun yang diketahui pernah meriwayatkannya. Jihad melawan orang kafir adalah perbuatan yang paling mulia dan yang lebih penting lagi, jihad adalah perbuatan yang paling penting demi kemanusiaan.
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan bahwa hadits ini adalah hadits dhaif (lemah) karena sumbernya adalah Khalaf bin Muhammad bin Ismail Al-Khiyam . AlHakim berkata, “Hadits riwayat orang ini tidak dapt dipercaya”. Abu Ya’la Al-Khalili berkata: “Orang ini sering memalsukan hadits, seorang yang sangat lemah dan meriwayatkan hadits yang tidak dikenal” (Masyari-ul-Asywaq, Ibnu Nuhas (1/31).
Perawai lainnya adalah Yahya bin Al-Ula, seorang yang dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadits (Ahmad). Amru bin Ali, An-Nasa’I, dan Ad –Daraqutni menyatakan, “Haditsriwayat orang ini tidak diakui”. Ibnu Adi menyatakan, “Hadits riwayat orang ini adalah palsu” (Tahzibut-Tahzib 11/261-262). Ibnu Hajar berkata, “Dia dituduh telah memalsukan hadits”. (At-Taghrib). Ad-Dhahabi mengatakan , “Abu Hatim berkomentar bahwa orang ini bukanlah seorang perawi hadits, Ibnu Ma’in menggolongkannya sebagai seorang yang lemah, dan Ad-Daraqutni berkata bahwa orang tersebut dapat diabaikan”. (Syeikh Abdullah Azzam, 75: 2002).
Mengapa pula perlu diuraikan derajat perkataan tersebut di sini adalah karena banyak dari kaum muslimin yang mendasari dirinya untuk tidak ikut berjihad hanya karena hadits palsu ini. Dengan ini pula beragam makna tentang jihad muncul ke permukaan. Kalangan yang mengaku ‘aliran Islam yang santun’ menekankan konsep jihad demikian dengan gencarnya.
Golongan intelektual tak ketinggalan mengatakan, menuntut ilmu termasuk jihad, dan lain sebagainya. Bahkan saking takutnya dengan segala yang berbau jihad, maka mereka yang getol menyeru jihad ditangkapi, dan ada ide untuk menutup pondok pesantren dan lembaga yang diduga keras mengajarkan jihad dalam kurikulum pendidikannya. Bahkan tidak mungkin yang menulis artikel inipun dicap sebagai FUNDAMENTALIS ISLAM, ISLAM RADIKAL, PENGIKUT ABU BAKAR BA’ASYIR, dan lain sebagainya.
Sekalipun masih banyak lagi hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai jihad diantaranya ialah amar ma’ruf nahi munkar, tetapi pada prinsipnya, bagi para pelakunya tidak akan mendapatkan syahadah kubra dan pahala sebagai mujahid. Sebab pahala ini sangat dikhususkan kepada mereka yang gugur di medan pertempuran fi sabilillah.
Sebagaimana pula disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal (Shahih Al-Jami’ no. 2828) bahwa “Ibadah yang paling tinggi nilainya adalah jihad”.
Sungguh beda nilainya antara tembaga, perak , emas, platina, alumunium, yang kesemuanya adalah logam. Dan sungguh beda imbalan yang akan di dapat oleh orang yang mengucurkan keringatnya dan darahnya di medan peperangan bila ia ikhlas dengan orang yang mengucurkan keringatnya karena mengetik artikel ini saking ruangannya tak ber-AC.
Joserizal Jurnalis pun berjihad dengan pisau bedahnya, Dyah Risang Ayu pun berjihad dengan penanya, Neno Warisman pun berjihad dengan seminarnya, Hidayat Nur Wahid pun berjihad dengan partainya, Tamsil Linrung pun berjihad dengan dananya untuk mewujudkan penerapan syari’at Islam di Sulawesi Selatan, semuanya berjihad —sekali lagi—dengan keahliannya.
Namun sungguh berbeda pahala yang akan diterima oleh tukang becak asal Tegal yang sudah berada di tanah jihad di Palestina dan telah menjadi syahid di sana atau dengan Habib Rizieq Syihab yang tidak hanya berkoar menyerukan dan membuka posko pendaftaran jihad namun sudah berangkat ke Iraq melalui Yordania untuk membunuh tentara agresor Amirikiyyah wal Britaniyyah.
Sekali lagi sungguh amat berbeda pahala yang akan mereka terima, karena ini berbanding lurus dengan segala kesusahan dan kengerian di medan perang, yang juga berbanding lurus pula dengan azab yang akan mereka (para mujahiddin) terima bila ia tidak ikhlas berjihad karena-Nya semata namun hanya karena mengharap pujian manusia belaka.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Q.S. Al-baqoroh: 216).
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati;bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang diberikan-Nya kepada mereka, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka…(Q.S. Ali Imron: 169). Allohu a’lam bishowab.
Rujukan:
Al-Qur’an yang mulia;
Join the Caravan, Syeikh Abdullah Azzam, Azzam Publication, 2001;
Laa Izzata illa bil Jihad, Imam Hasan Al-Banna, Generasi Kita Press.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
2003
Diedit 18:00 15 Januari 2006
No comments:
Post a Comment