06 April 2007

dua kertas dan satu kamboja

4.7.2005 - dua kertas dan satu kamboja


cerpen buat kalian seorang ummi dan abi yang berkarier ?
ditulis di atas tumpukan buku
dua kertas dan satu kamboja
“Qi, ummi titip ini untukmu…” suara berat menyadarkanku dari lamunan. Memaksaku memalingkan wajah pada sosok tua yang tengah menyodorkan amplop putih.

Aku terdiam

“Buka saja,” sambil membereskan letak duduknya di samping gundukan bermawar merah masih basah. Dengan papan tertera nama Sabrina Hanifa. Ummiku.

Ada dua lembar kertas usang di dalamnya. Dengan sisi-sisinya tampak bekas terbakar.

“Hanya dua itu yang bisa ummimu selamatkan waktu rumah kita terbakar,” suara berat itu kembali mengguncang kesunyian.

Aku pun memeras memori mengenang dengan jelas peristiwa 20 tahun lampau. Rumah kami setengah hancur saat terjadi kebakaran besar menimpa komplek perumahan kami. Namun kami sempat menyelamatkan diri dengan membawa barang sebisanya. Ummi kulihat masih sempat membawa buku diarinya yang setengah terbakar.

“Jangan kau baca, Qi!” seru ummi menegurku, saat aku intip isinya. “Kelak ini akan ummi berikan padamu,”tambahnya. Aku masih mengokang tanda tanya yang siap kuberondongkan padanya.

“Cukup sayang…, ayo bereskan lagi rumah kita ini,” sambil ada jari lembut menempel di bibirku.



Hari ini ia meninggalkan dua lembar itu padaku. Tapi tanpa ia yang siap menerima serangan pertanyaanku. Sudah terpejam abadi adanya. Tulisannya indah sekali. Ya, Ummiku selalu dapat nilai paling bagus untuk pelajaran menulis halus di sekolah dasar dulu.


14 Mei 2005

Mengingat tatapanmu, Haqi, ada yang membuat perasaan ummi tidak enak pagi ini. Entah karena apa. Mungkin karena ummi melihatmu duduk sendiri saat kami meninggalkanmu.

Qi, maafkan ummi yang telah membiarkan hampir sepanjang usiamu tanpa kehadiran ummi. Membiarkanmu menikmati sepanjang hari-harimu, sendiri, selama dua tahun ini.

Qi, mata polosmu tadi pagi mungkin mengandung sejuta tanya. Kenapa ummi selalu pergi dan hanya mampu menemanimu saat hari mulai gelap. Itu pun dengan kondisi ummi yang tidak lagi segar dan ceria.

Sekali lagi, maafkan ummi, nak. Jauh di lubuk hati ummi pun tidak menginginkan ini. Sungguh ummi ingin berperan penuh sebagai ummi-mu sebagaimana ibu layaknya.

Menyambutmu dengan senyum saat matamu terbuka, memandikanmu, mengajakmu jalan-jalan sambil makan, menemanimu bermain, hingga mengantarmu menjelang mimpi.

Sedih Qi, hati ummi. Saat melihatmu susah makan, saat orang-orang yang mengasuhmu kurang telaten menghadapimu. Tapi ummi tak akan dan tak boleh marah. Karena sesungguhnya kamu memang bukan anak mereka. Kamu anak ummi. Jadi sudah semestinya ummilah yang harus bertanggung jawab atasmu. Atas segala perkembanganmu.

Qi, ummi rindu menjadi ibu seutuhnya, Bagimu dan bagi calon adekmu yang baru lima bulan ini. Doakan ummi ya, Qi. Agar Allah segera menunjukkan dan memberikan jalan yang terbaik untuk kita. Sehingga ummi dapat mewujudkan cita-cita ummi tanpa beban rasa bersalah. Baik terhadapmu maupun terhadap janji saat ummi hendak bekerja.


Satu bulir air disusul lainnya menurun deras dari pipiku yang sudah menganak sungai. Yang mata airnya sebenarnya sudah kering sejak meninggalkan Vyborg, dekat St. Petersburg, kota nelayan di Teluk Finlandia.

“Ummi..., Haqi sayang ummi,” desisku berusaha mengalahkan gelegak tak tertahankan lagi.

Kalau saja aku tak menerima tawaran itu, aku masih menemani ummi dalam kesendiriannya melawan kanker hati. Tawaran yang menggodaku. Melakukan ekspedisi Kelautan di Laut Baltik, dengan menyusuri tepi pantai Arhus, Denmark, terus ke pantai barat St. Petersburg, hingga berakhir di Malmo, Swedia.

Kompensasi yang didapat bila aku ikut selama tiga bulan perjalanan itu adalah beasiswa program doktoral di Universitas Rhode Island.

“Siapa yang akan menemani ummi di sini, Qi...?”tanyanya getir, “Baru saja setahun yang lalu kau temani Ummi, kau mau pergi lagi.”

“Mr. Jan Brinkhuis mendesakku,” membayangkan mantan profesorku di Universitas Stockholm. “Ini kesempatan langka buat mahasiswa Asia seperti saya, Mi...”

“Sudah kau beritahukan hal ini pada abimu....?”

“Tak perlu!” sahutku cepat. Buat apa memberitahukan pada orang yang telah menyia-nyiakan kasih sayang ummi selama 10 tahun ini. Tapi mengapa Qinan ikut dengannya, saat perpisahan itu terjadi. Walaupun dapat ditebak Qinan pasti ikut abi, mereka dekat sekali.

“Mi, nanti Bulik Indah yang menemani Ummi,” rajukku sambil bersimpuh, meraih tangannya, dan kucium. Kuletakkan kepalaku di pangkuannya.

“Ridhoi aku Mi, sesungguhnya ridho Allah ada pada ridho Ummi”. Biarkan aku berlama-lama di pangkuan ini, Mi. Biarkan aku menjadi penadah airmatamu.


Kukuatkan untuk membaca lembar kedua ini. Lembaran yang ditulis dengan sepenuh hatinya.


04 Juni 2005

Hari ini hati ummi kembali tidak enak, Qi. Entahlah rasanya badan ummi lelah sekali. Mungkin karena pengaruh adekmu, ya Qi.

Haqi sayang, lagi-lagi ummi diliputi rasa bersalah saat mengingat kejadian tadi pagi, saat ummi mau berangkat ke kantor. Maafkan ummi ya Qi, yang sering menghadapi ulahmu dengan kesabaran yang terbatas.

Entah kenapa tiba-tiba kamu menjadi anak yang susah di atur di mata ummi. Padahal jika mengingat usiamu yang baru menapak dua tahun, bukanlah kamu yang susah di atur, melainkan ummi saja yang kurang bekal kesabaran sebagai seorang ibu menghadapimu.

Iya Qi, Anak seusiamu memang sedang giat-giatnya bereksplorasi dengan lingkunganmu. Dan seharusnya ummi menyadari itu, sehingga ummi tidak perlu marah menghadapi ulahmu. Sekali lagi maafkan ummi, Nak. Janji, ummi akan berusaha memperbaiki semuanya. Walau dengan kelelahan, ummi akan menghadapimu dengan senyum kesabaran, Karena itu memang hakmu. Insya Allah.

(Air mata menjadi saksi ummi).


Sedanku masih lirih terdengar.

Kalau saja ekspedisi itu bisa tepat waktu, aku mungkin dapat pulang cepat. Ekspedisi ini terlalu lama berkutat di daerah sekitar Turku, Finlandia, yang seharusnya kalau menurut jadwal kami sudah berada di Malmo. Apalagi kami kehilangan sampel berharga berupa fosil purba plankton itu. Terpaksa kami kembali ke pos di Vyborg, untuk memulai penyelaman lagi.

Baru sehari di sana, aku mendapat email dari Bulik Endah, mengabarkan ummi kembali masuk rumah sakit karena kanker itu. Katanya, ummi selalu memanggil-manggil namaku ketika mengigau.

Kondisi penyelaman akan mengalami masa kritis tanpa aku supervisi kegiatan itu. Sebagai bentuk tanggung jawabku, aku percepat pekerjaan yang menjadi bagianku. Tapi dengan kecemasan yang luar biasa, dan kadang air mata ini turun begitu saja.

“It’s done,” hari ini aku selesaikan semuanya dengan sempurna untuk mendapatkan sampel itu.

Aku pamit barang satu dua minggu pada timku. Malam ini perjalanan darat menuju St. Petersburg terasa lama. Paginya perjalanan udara dimulai menuju Moskow, ganti pesawat di Abu Dhabi. Esok sorenya aku tiba di Cengkareng.

Saat di dalam taksi, hpku tiada henti-hentinya menerima sms dari Bulik. Memang selama di dalam pesawat kumatikan hpnya. Menanyakan keberadaanku, sampai dimana, dan memberitahukan perkembangan ummi setiap setengah jamnya.

Ringtone Brother kembali menyalak mengusik kesibukanku membaca sms.

“Assalaamu’alaikum, Bulik, gimana kabar ummi sekarang?” tanyaku cepat.

“Nggak usah ke rumah sakit, langsung aja pulang ke Cibinong,” jawabnya dibalik sedu sedannya itu.

Lemas sudah badan ini. Lemas sudah batin ini. Angin yang menerobos kencang dari jendela taksi menusuk-nusuk wajahku tak peduli dengan lipatan kesedihanku. Bahkan mentari senja yang sinarannya jatuh di pelipisku lewat sela gedung-gedung pencakar langit, tak mampu mengetuk-ngetuk nurani buat menikmati keindahannya.

Dering ringtone kuabaikan untuk kembali memeras kantong air mata ini dengan segunduk penyesalan yang mulai menggunung. Hingga kutinggalkan maghrib dibelakangku.


Sepucuk kamboja jatuh di pundakku, dan langsung turun di atas kertas yang masih kupegang. Harum mewangi saat kucium ia. Kulipat lembaran itu dan kumasukkan kembali ke tempatnya. Kamboja putih kutaruh pada papan nisan yang hanya dapat diam membisu.

“Pff..sudah saatnya aku kembali,” pikirku. Sudah cukup aku berada di sini, melantunkan doa-doa pembuka pintu langit, melantunkan sejuta harap pada-Nya agar Munkar dan Nakiir yang wajahnya sejuk membawa suluh penerang. Penerang tempat abadinya.

“Assalaamu’alaikum,” hanya itu yang kuucapkan sambil bergegas menjauh pada sosok tua yang masih duduk bersimpuh.

“Mau meninggalkan kami lagi ,Qi ....?” suara itu menghentikan langkahku yang sudah ke tujuh. Aku terdiam tanpa membalikkan badan.

“Percayalah..., abi mencintai ummimu,” tambah suara itu. Aku masih diam saja. Sesaat tanpa suara, kuputuskan untuk beranjak lagi.

“Satu lagi Qi, Ummu Qinan nanti adalah bulikmu,” sesaat pula langkah ini terhenti. Tapi hanya sesaat. Cuma sesaat. Seperti bunga kamboja yang cuma sesaat menemani papan nisan, terbang ditiup angin siang yang tiba-tiba bertiup kencang.

Pintu gerbang telah kutinggalkan untuk mencari taksi yang membawaku ke bandara.

“Ang Haqi....,” suara lembut yang menyebut panggilan masa kecil memaksaku untuk menoleh.

“Qinan...?!” Jilbabnya masih seperti dulu, lebar dan rapih.

“Aang mau pergi lagi? Kapan kembali...?” berondongnya.

“Entahlah, biarkan Aang pergi dulu, untuk melupakan kesedihan ini.” Jawabku lirih.

“Aang belum mau memaafkan Abi?”

Aku terdiam. Kurengkuh ia dalam pelukanku.

“Bilang padanya, Aang mencintai Abi, seperti Aang mencintaimu,” bisikku ditelinganya.

“Qinan mau melihat Aang menjadi orang yang dimurkai Allah? Sudah cukup ego ini menguasai Aang. Aang tak mau lagi kehilangan kalian. Tapi beri kesempatan pada Aang untuk bisa menghilangkan sakit hati ini,” ujarku lancar.

Isak tangisnya menyadarkanku untuk melepas peluk erat ini.

“Jangan lupakan ini, Ang...” katanya sambil menyodorkan mushaf kecil.

Aku meninggalkan siang yang semakin kuning.


Sebulan kemudian.

Bandara Kopenhagen masih sepi pagi ini. Mushaf ini masih menjadi teman setia. Satu juz terlampaui. Kini aku sedang menunggu penerbangan ke New York. Dari sana aku menuju Providence, Rhode Island.

Tim kami sukses dengan ekspedisi yang memuaskan dan menggegerkan dunia. Fosil spora Azola berusia 40 juta tahun yang lampau ditemukan. Aku berhak mendapatkan beasiswa itu.

Namun seminggu setelah pengumuman itu, Mr. Henk Ovelgonne ahli paleontologi Universitas Utrecht, mengajakku melakukan ekspedisi dengan timnya mencari bukti fosil ganggang yang lebih tua lagi di samudra purba Kutub Utara. Tawaran yang menantang . Tapi ajakan itu aku tolak. Aku ingin istirahat.

Apalagi dengan adanya sesuatu dalam kotak kecil disampingku. Bunga kamboja putih. Masih mewangi. Kotak itu bertulis nama pengirimnya: Abiku.

Bandara mulai menggeliat, diramaikan langkah-langkah sibuk. Sedangkan pagi sudah beranjak ke kuning yang semakin kuning.


riza almanfaluthi
dedaunan & rda, 03 Juli 2005, di antara tebaran buku.

No comments: