17 April 2007

Saya akan Menikah! Segera!

Tuesday, December 6, 2005 - Saya akan Menikah! Segera!


Malam sepertinya belumlah larut pada saat itu. Jarum pendek jam dinding hanya bergeser sedikit dari angka sembilan sedangkan yang panjangnya tetap berkutat menunjuk ke bawah. Segera saya buka jaket penahan angin dingin setelah berjasa menemani dalam perjalanan rutin setiap Ahad malam.

Tiba-tiba saya teringat hari ini adalah hari paling bersejarah bagi seorang teman. Hari di mana ia mengakhiri masa lajangnya dengan bersedia mendengarkan pasangan hidupnya mengucapkan kalimat yang berat pada walinya dengan disaksikan tatapan haru orang-orang tercinta.

Dengan jarak yang begitu jauh dari tempat tinggal, maka saya pun tidak bisa datang ke tempat walimatul’ursy, untuk turut merasakan dan merayakan kebahagiaan teman saya ini, yang tentunya ia adalah teman dari istri saya juga.

“Sudah di telepon, Mi…?” tanya saya pada istri tercinta.

“Oh iya belum, telepon saja sama Abi?” jawabnya sambil masih asyik bercanda dengan si bungsu.

“Lho, Abi kan sudah dari pagi nyuruhnya. Sebenarnya yang pantas untuk menelepon tuh ya Ummi bukan Abi,” tukas saya. ”Seharusnya ketika kita tidak bisa datang memenuhi undangan itu, minimal teleponlah untuk memberikan dukungan, penghargaan sebagai tanda kepedulian kita,” tambah saya panjang.

“Iya deh, Ummi minta maaf, tapi biar Abi saja deh yang menelepon, mumpung belum terlalu malam,” pintanya.

Tanpa menunggu terlalu lama saya angkat gagang telepon, menekan tutsnya, dan membiarkan dering di seberang sana lama terdengar. “Wah, sepertinya sudah tidur,” pikir saya. Selagi berpikir untuk segera menutup gagang telepon, tiba-tiba suara dari seberang terdengar.

“Halo, Assalaamu’laikum, siapa yah?”

“Wa’alaikumsalam, ini saya Abu Haqi,” jawab saya. “Selamat yah, barokallahulaka wabaroka’alaika wajama’a bainakuma fii khoir,” sambung saya dengan doa pendek.

Terdengar ucapan terimakasih yang bertubi-tubi. Terasa ada kegembiraan dari nada suaranya. Setelah berbincang sebentar menanyakan keadaannya, saya segera pamit undur diri agar tidak mengganggu malam pertamanya itu, dengan tak lupa menitipkan salam kami kepada suami tercinta.

***

Perempuan ini sesungguhnya adalah teman istri saya. Ialah yang turut membantu kelancaran jalannya perjodohan kami, sampai pesta walimahan kami terselenggara, walaupun karena kesibukannya dan jauhnya jarak akhirnya ia tetap tak bisa datang.

Walaupun satu angkatan di kampus, saya tidak begitu mengenalnya bahkan saya baru mengenalnya saat ia bersama-sama dengan Ummu Ayyasy menempuh diklat penyesuaian ijazah di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, di pertengahan 2005.

Ia pula yang menjadikan kami sebagai salah satu topik tulisan pada buku pertama yang ditulisnya. Ia adalah seorang penulis. Berbagai penghargaan atas prestasi dalam dunia kepenulisan telah diraihnya. Saat ini telah lima buku ia tulis dan beredar di pasaran.

Dengan segala kesibukannya sebagai PNS, penulis, relawan, dan pengurus pada sebuah jaringan kader penulis ia tak segan-segan untuk berbagi ilmu dan menyemangati saya untuk lebih concern pada dunia kepenulisan. Memang ia layak menjadi mentor bagi saya.

Pernikahannya pada Ahad kemarin adalah akhir dari sebuah penantian yang panjang. Ini adalah kado ulang tahunnya yang jatuh Agustus lalu bahkan menurut saya ini adalah kado besar ramadhan mubarak. Who knows?

Pernikahannya adalah ajang untuk membuktikan dirinya sanggup menjalankan seperti apa yang sudah lama ia tulis dulu yaitu “tugas mulia dan jihad utama seorang wanita muslimah adalah di rumah, menjadi istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya. Di sana pula saya memahami bahwa mendidik anak adalah satu kewajiban ibu muslimah yang tidak mungkin dilimpahkan pada pihak lain.” (AMR: Saya tak Lagi takut Menikah, 2001).

Lanjutnya lagi ia menulis “Menikah akan membuat saya matang. Menikah akan membuat saya lebih banyak belajar. Belajar lebih tegar dan dewasa. Belajar berbagi dan tidak egois lagi. Belajar menenggang perasaan orang lain. Belajar memahami orang lain. Belajar bekerja sama dan menyelesaikan masalah. Belajar menanggung permasalahan yang lebih besar. Belajar bertanggung jawab atas semua tindakan. Saya tahu, di balik kerasnya kehidupan yang harus saya jalani, Alloh akan memberi sarana untuk memudahkan, karena Alloh tidak membebani hambaNya melebihi kemampuannya. Seperti kata Miranda Risang Ayu dalam bukunya Cahaya Rumah Kita: Cakrawala selalu mengingatkan bahwa di atas bumi selalu ada ruang tak terbatas. Di atas prasangka-prasangka subjektif yang cengeng tentang ketidakmampuan seorang manusia, ada ketidakterbatasan yang menjanjikan berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk menjadi lebih baik dan lebih mampu. Syaratnya, hanya berusaha bersandar kepadaNya.” (AMR: Saya tak Lagi takut Menikah, 2001).

Setelah itu dalam kalimat penutupnya ia pun bertekad: “Kalau begitu, saya akan menikah! Segera!”. Walaupun tekad itu baru dapat terlaksana empat tahun setelahnya.

Pernikahannya pada Ahad kemarin adalah ajang pembuktiannya untuk menjadi apa yang dicita-citakannya dalam tulisannya yang lain: menjadi ibu. ”Duh, Ibu. Betapa kesederhanaanmu ternyata menyimpan samudera makna kehidupan yang dalam. Kini, jika saya mengisi lembar biodata lagi yang ada isian cita-cita, saya kembali mengisinya dengan mantap: Menjadi Ibu.” (AMR:Menjadi Ibu, 2002).

Dalam episode perjalanannya menuju titik akhir di Ahad indah itu, tahun lalu ia sempatkan membuat sebuah tulisan yang menyentuh sanubari saya, tidak hanya saya yang berbeda gender, tapi bagi begitu banyak perempuan lainnya. Tentang diamnya ia mendengarkan kesah seorang perempuan dalam penantian panjang mencari pendamping hidup. Diamnya ia bagi saya bahkan menjadi kekuatan menghentak qalbu pada tulisannya yang berjudul ”Semua adalah Pilihan”.

Pernikahannya di Ahad kemarin adalah akhir dari pupus dalam sebuah metáfora kaset. Sehingga tak akan pernah lagi untuk me-rewind-nya, setiap kali ia muncul dalam sebuah puisi. Tentu ini pula adalah sebuah pilihan baginya.

Pernikahannya di Ahad kemarin adalah mula bertukarnya kata-kata indah untuk satu orang saja, yang lebih berhak, dan lebih berkah. Tiada untuk yang lain. Tiada hanya pada malam-malam sepi sembari memandang purnama sedangkan ia sudah punya di sudut jiwanya.

Pernikahannya di Ahad kemarin tidak perlu membuat Anda bertanya-tanya. Anda. tentunya tahu siapa dia bukan?

Pernikahannya di Ahad kemarin, ah…sudahlah, sudah cukup, tidak banyak lagi kata-kata yang bisa ditulis, karena tercekat di ujung pena yang kian menipis bila terus menerus menggores kertas. Sarinya adalah selesai sudah penantian itu. Dan sungguh pertolongan Allah akan datang pada orang-orang yang menikah sebagaimana disabdakan al-musthofa dan diriwayatkan oleh Turmudzi, An-Nasa’I, Al-Hakim dan Daruquthni: “Tiga golongan orang yang pasti akan mendapat pertolongan Allah, yaitu budak mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud memelihara kehormatannya, dan yang berjihad di jalan Allah.” (Adhim:1998)

Cairan hangat tiba-tiba terasa di pangkuanku. Bukan, ini bukan airmata. Ini….

“Ya Dedek, kalau mau pipis bilang dong, kan Abi sudah bilang, pipis itu di kamar mandi,” sambil mengangkat si bungsu ini yang dari tadi memaksa untuk ikut duduk di depan komputer melihat saya mengetik tulisan ini.

Pernikahan di Ahad kemarin, alaaah…






riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

mushaf di antara dua AK-47

22.30 – 05 Desember 2005

No comments: