the black heroes
Tulisan Lama
23.5.2005 - the black heroes
Malam sabtu kemarin, saya kembali menemukan suatu—menurut saya—tayangan bagus di salah satu stasiun swasta. Yakni tentang sebuah film yang menceritakan tentang kepahlawanan orang Afro Amerika. Film itu dibintangi oleh Denzel Washington.
Film berkisah nyata ini mengisahkan tentang seorang petinju terkenal saat itu di tahun 60’an—saat Amerika penuh hawa rasialisme, dituduh dan difitnah seorang polisi kulit putih rasialis, telah membunuh tiga orang. Dan dengan tuduhan tanpa bukti itu ia harus mendekam selama 20 tahun untuk suatu perbuatan yang tak pernah dilakukannya. Dalam penjara ia menulis sebuah buku otobiografinya dengan judul: The 16th Round: From No. 1 to No. 45472.
Kemudian buku tersebut menginspirasikan satu keluarga untuk membantunya. Dan pada akhirnya dengan upaya keras luar biasa dari keluarga tersebut, Rubin “Hurricane” Carter dapat menghirup kebebasan yang selalu diimpi-impikannya.
Terus terang saja film itu sedikit banyak memberikan suatu paradigma lain tentang kepahlawanan kulit hitam. Seorang Spike Lee (sutradara hitam) sampai mengatakan bahwa untuk membuat tentang kepahlawanan orang hitam harus dibuat oleh orang hitam. Ia berkata demikian ketika Norman Jewinson seorang kulit putih ingin menyutradarai Denzel Washington dalam film Malcom X (1992). Di sini Washington mendapat nominasi Oscar Aktor Terbaik Namun tujuh tahun kemudian Jewinson mendapat kesempatan untuk menyutradarai Washington dalam film pahlawan kulit hitam: Rubin “Hurricane” Carter. Dengan peran ini Washington memperoleh Golden Globe.
Seringkali bagi saya, kalau melihat tontonan Hollywood , selalu yang saya cari adalah bintang utama yang diperankan oleh seorang kulit hitam. Sepertinya itu memuaskan hasrat saya tentang ketidakadilan yang menimpa mereka selama berabad-abad melalui jalur perbudakan di Afrika Barat seperti Mali , Senegal , sampai ke Sungai Mississippi Alabama.
Seperti juga dalam film yang dibintangi oleh Samuel Jackson, yang diadaptasi dari sebuah novel terkenal (judul film dan buku tersebut saya lupa). Ia memerankan seorang ayah yang harus berhadapan dengan hukuman mati karena telah membunuh ketiga orang kulit putih yang dibebaskan dari pengadilan, dimana tiga orang itu telah memperkosa dan menyiksa anaknya yang masih kecil. Kalau tidak salah Jackson juga memperoleh nominasi Oscar.
Ada lagi film televisi dan ini pun kisah nyata, tentang serombongan kulit hitam dari Afrika yang menumpang secara gelap sebuah kapal kargo Eropa, pada akhirnya mereka ditemukan, dibantai habis dan mayat-mayat mereka dibuang ke laut. Satu dari mereka lolos dan dikejar di dalam kapal tersebut. Dengan segala upaya untuk mempertahankan hidup ia berjuang dengan keras sampai polisi pelabuhan Perancis menemukannya. Sayangnya lagi-lagi saya lupa judul filmnya. Sampai saat ini orangnya masih hidup.
Ada lagi tentang pahlawan hitam berlatar belakang pembantaian di Rwanda judulnya HOTEL RWANDA. Film yang dibintangi oleh Don Cheadle dan Sophie Okonedo mulanya saya anggap biasa saja namun dengan segumpal pertanyaan tentang hebatnya film ini—karena sempat menjadi nominator pemeran terbaik dalam Academy Award 2005. Sebuah kisah aksi heroik yang berbuah seabreg penghargaan, termasuk menjadi nomine Academy Awards 2005.
Don Cheadle, pemeran Resesabagina dinominasikan untuk menjadi aktor terbaik. Ia harus bersaing dengan Jamie Foxx (dalam film Ray), Johnny Depp (Finding Neverland), Leonardo DiCaprio (The Aviator), dan Clint Eastwood (Million Dollar Baby). Sementara itu, lawan mainnya, Sophie Okonedo, diunggulkan untuk kategori aktris pemeran pembantu terbaik.
Tak hanya itu, Terry George dan Keir Pearson dinominasikan untuk meraih penghargaan sebagai penulis naskah orisinal terbaik. Sayang, George tak lolos untuk kategori sutradara terbaik.
Setelah usai, akhirnya saya mengakui tentang kehebatan cerita dari film itu. Sampai saya masih tak percaya film ini sudah usai dan tak segera beranjak untuk meninggalkan televisi karena hanya ingin membaca subtitle di akhir film, sambil menikmati iringan musiknya.
Dan kepenasaran saya dengan film ini membuat saya segera meraih ensiklopedia dan surfing internet untuk mengetahui tentang Rwanda dan apa yang telah terjadi disana persis 11 tahun lampau pada tanggal 6 April 1994.
Di situs Kompas yakni Kompas Cyber Media (22 Februari 2005) diulas tentang film ini. Berikut Kisah sosok heroik yang selalu saja menarik untuk disimak. Inilah cerita yang diangkat berdasarkan kisah hidup Paul Resesabagina, seorang manajer hotel yang berhasil melindungi ratusan pengungsi dari ancaman pembantaian.
Upaya Resesabagina menyelamatkan para pengungsi kelompok etnis Tutsi mendapat perhatian luas. Dalam film itu dikisahkan pada sebuah siang yang cerah, suasana normal di Kota Rwanda berubah jadi penuh ketegangan, ketika kelompok etnis Hutu melakukan aksi turun ke jalan. Mereka meneriakkan yel-yel kebencian terhadap kelompok etnis Tutsi, yang mereka nilai telah menjadi antek kaum penjajah.
Sebagai seorang Hutu, Paul taklah terlalu risau. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi sang istri, Tatiana (Sophie Okonedo), yang seorang Tutsi. Pun halnya dengan keluarga istrinya, yang kebanyakan adalah orang-orang Tutsi.
Siang berganti malam, aksi kaum Hutu semakin menjadi. Sikap anti-Tutsi pun kian hari kian bergolak, terlebih ketika ajakan kebencian itu disuarakan lewat radio-radio prorasisme.
Pada sebuah malam, suara gaduh di depan rumah mengundang keingintahuan Paul. Ternyata, perang terhadap kaum Tutsi telah dikobarkan. Razia terhadap mereka yang dituding sebagai orang-orang Tutsi mulai dilakukan. Mereka dikumpulkan. Jika ada yang ketahuan, orang itu akan dihajar bahkan, tak tanggung-tanggung, diculik lalu dihabisi.
Pemandangan tersebut benar-benar membuat Paul tak berdaya. Desakan Tatiana agar berbuat sesuatu tak digubrisnya. Maklum, para pembantai itu datang bergerombol dan menenteng senjata. Paul malah meminta istrinya untuk masuk ke dalam agar tak jadi sasaran aksi pembersihan.
Gerakan razia terhadap orang-orang Tutsi menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Ratusan orang mencari perlindungan di kawasan yang dianggap aman.
Pembersihan kelompok etnis tertentu, yang dipicu oleh rasa kecemburuan sosial, tersebut kian menggila. Pemandangan itulah yang dilihat oleh Paul selepas meninggalkan tempat kerjanya sebagai manajer di sebuah hotel.
Awalnya, tak pernah ia berniat menyelamatkan orang-orang lain. Yang terpikir dalam benaknya, bagaimana istrinya bisa selamat dari incaran kaum milisi Hutu. Tapi, pikiran itu berubah ketika, setibanya ia di rumah, ia mendapati banyak tetangganya yang berasal dari kelompok etnis Tutsi menjadikan kediamannya tempat persembunyian yang aman.
Apa yang ditakutinya akhirnya datang. Sekelompok pasukan bersenjata merazia rumahnya. Paul mula-mula tak bisa berbuat banyak, ketika di rumahnya didapati banyak orang Tutsi.
Paul akhirnya putar otak. Uang sogokan menjadi jalan keluar. Keluarga dan tetangganya berhasil diselamatkannya. Mereka berhasil diungsikan ke lokasi aman, yaitu hotel tempat Paul bekerja. Hotel itu aman karena di sana menginap sejumlah turis asing yang dilindungi oleh pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kepahlawanan Paul mulai disodorkan di bagian ini. Ia datang bak superhero, meski ia bukan Superman atau Spider-Man. Apa yang dilakukannya tak kalah hebat dengan tokoh-tokoh penyelamat rekaan itu. Namun, hal tersebut tentunya tidak selalu berjalan mulus. Ia nyaris putus asa ketika pasukan PBB malah meninggalkannya bersama orang-orang Tutsi tanpa perlindungan.
Ini sebuah kisah yang mengharu biru. Karena itulah, film bertajuk Hotel Rwanda, garapan sutradara kelahiran Belfast, Irlandia Utara, ini berhasil meraih simpati penonton, termasuk menyabet penghargaan favorit penonton di Festival Film Toronto beberapa waktu lalu.
Cerita ini memang menghadirkan simpati yang luar biasa. Resesabagina disebut-sebut telah menyelamatkan sekitar 1.000 orang penduduk Rwanda dari aksi pembantaian etnis di wilayah tersebut. Resesabagina perlu ditiru. Tak harus menunggu kejaiban menjadi Superman atau Spider-Man terlebih dahulu.
***
Itulah para pahlawan hitam yang berjuang dari segala bentuk rasialisme, sisa dari abad-abad lampau, yang masih belum juga terhapuskan pada saat ini. Namun sekarang rasialisme berubah bentuk yang semula pada kulit namun juga pada ideologi yang dianut. Seorang Muslim menjadi terdakwa dengan cap terorismenya oleh negara yang mengaku penjunjung tinggi hak asasi manusia.
Inilah dunia saat ini. Namun semua itu bisa dilawan dengan hanya persatuan (ukhuwah) di antara umat ini. Akankah muncul “the back heroes’ yang tidak hanya membela warna kulit mereka tapi ideologi mereka. Layaknya Bilal-Bilal masa lalu. Sang Mu’adzin. Allohua’lam.
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
No comments:
Post a Comment