30 April 2007

AISHWARYA RAY


AISHWARYA RAY



Kyai tua itu duduk-duduk di depan teras masjid sambil memandang ke ufuk timur yang penuh semburat mentari pagi. Posisi masjid yang lebih tinggi dan berada di atas tebing membuatnya leluasa untuk memandang pesona alam. Halimun masih saja menyelimuti atap-atap rumah penduduk desa di bawah sana. Kicau burung membahana diiringi gemericik air pancuran yang berada di samping masjid itu. Ada geliat para petani menuju sawah dengan cangkul yang tergantung di pundak masing-masing.
Benar-benar deskripsi klasik dari sebuah pemandangan pedesaan bumi pasundan semuanya terukir jelas di pagi itu. Pagi yang seperti biasa ia lalui bertahun-tahun ini dengan zikir-zikir Almatsurat usai subuh yang terlontar dari mulutnya dan mulut para santrinya. Setelahnya ia akan sendiri duduk-duduk di teras masjid dengan mushaf berada di pangkuannya. Membiarkan ia dimandikan cahaya. Menghangatkan tubuhnya yang mulai merenta hingga dhuha jelang. Sedangkan para santrinya sekarang mulai mengisi kekosongan pagi itu dengan aktivitas rutinnya.
Tapi ada salah satu santrinya tetap tidak beranjak dari tempat duduknya. Beberapa saat kemudian bahkan ia mendekat pada ajengan yang sangat dihormatinya di pesantren itu. Sang Kyai menoleh pada salah satu santri ”khususnya” ini. Dan selanjutnya cuma dialog ini yang terekam.

Santri : Assalaamu’alaikum Ki
Kyai : Wa’alaikum salam. Loh kok masih di sini?

Santri : Iya, Ki. Mau curhat lagi.
Kyai : Masalah yang kemarin sudah selesai?

Santri : Alhamdulillah sudah Ki. Sekarang saya sudah bisa membiayai kuliah saya sendiri. Bulan depan orang tua saya tidak akan lagi kirim uang. Upah jadi asisten dosen lumayan cukup Ki, apalagi ditambah ngerjain proyek kecil-kecilan.
Kyai : Syukurlah. Sekarang apa lagi? Masalah cewek?

Santri : Kyai kok tahu?
Kyai : Halah, orang tua kok dilawan. Kamu itu kalau tidak masalah uang ya masalah itu tadi. Kuno tapi eksis, masalah sedari Nabi Adam diturunkan ke bumi sampai hari kiamat yang tidak pernah selesai dengan sendirinya.

Santri : Tapi Ki, untuk yang satu ini memang kuno, tapi...
Kyai : Tapi apa?

Santri : Kuno dan moderen. Kuno karena yang dibahas adalah wanita, moderen karena ia lagi heboh di jagat dunia hiburan. Dan karena ia telah meluluhlantakkan kekosongan hati saya Ki...
Kyai : Wah..wah...kamu ini pura-pura gak tahu atau sengaja nyeleneh. Pondasi sebuah pesantren sangat jauh dari sebuah hedonisme. Bahkan ianya layaknya bumi dan langit. Tak usah kamu bawa-bawa ke sini. Saya juga heran dapat dari mana info-info seperti itu. Di sini kan tidak ada televisi.

Santri: Koran Ki. Koran. Itupun cuma dari sobekan kertas pembungkus nasi uduk yang biasa saya beli di kantin kampus.
Kyai : Tunggu...tunggu dulu. Memangnya apa sih yang akan kamu ceritakan?

Santri : Begini Ki, saya kok ngimpi. Ngimpi kawin sama bintang film India.
Kyai: : Kawin apa nikah?

Santri : Nikah Ki...nikah. Bukan ”kawin” seperti itu ah...
Kyai : Lalu apa tidak enaknya buat kamu?

Santri : Ya, itu Ki. Saya jadinya nelangsa. Bintang film itu kawin sama bintang film lainnya. Kenapa ya Ki, dia tidak kawin sama saya saja gitu loh...
Kyai : Busyet...emangnya siapa kamu jang...? Selebritis? Orang terkaya di dunia? Pembalap F1? Atau pesepakbola tersohor?

Santri : Yah Kyai…dengerin saya dulu dong Ki. Kyai, mau dengerin curhat saya enggak sih?
Kyai : He…he…he…Iya, saya dengerin. Siapa bintang film itu?
Santri : Aishwarya Ray. Ratu kecantikan dunia. Cantik sekali, Ki. Matanya, duh…matanya itu lo Ki. Seindah zamrud merah. Hidungnya, rambutnya …ram…

Kyai : Stop…! Stop…! Pikiranmu sudah mulai ngeres, sudah pisikelli. Santri kayak kamu kok bisa mikirin awewe?
Santri : Saya manusia Ki, bukan malaikat. Saya baru menemukan manusia secantik dia. Tapi kenapa dia tidak nikah sama saya saja gitu… Nikahnya kok sama anaknya Amitabh Bachan. Kyai pasti tau deh Amitabh Bachan. Seumuran Kyai mungkin. Dia kan bintang film terkenal dulunya Kyai.

Kyai : Saya tidak kenal dia dan saya tidak pernah nonton film india. Lanjut!
Santri : Ya itu tadi Kyai. Kenapa dia kawin sama yang lain. Kenapa tidak sama saya? Coba kalau Allah menakdirkan dia kawin sama saya. Saya akan memberikan cinta saya untuknya. Saya akan memberikan rindu ini hanya untuknya. Sepenuh hati. Saya tidak akan pernah menyakiti dia. Baik dengan ucapan atau tindakan saya. Duh, saya nelangsa Kyai...Ray itu bidadari buat saya.

Kyai : Hei, memangnya Ray itu kenal sama kamu?
Santri : Tidak Kyai.

Kyai : Lalu kenapa optimis sekali kalau Ray itu mau dikawin sama kamu?
Santri : Yah, makanya itu kan kalau Allah menakdirkan demikian. Tahu-tahu dia sudah ada dihadapan saya dan mau dilamar oleh saya. Tinggal Allah tunjukkan jalan saja padanya, Beres sudah.

Kyai : Kalaupun Ray itu kenal sama kamu, malah mau dikawin sama kamu. Emang boleh kamu ngawinin dia?
Santri : Lah siapa yang melarang? Boleh kan saya muslim kawin sama dia. Kalau ada yang melarang, berarti melanggar hak asasi saya dong kyai.

Kyai : Halah, jang...jang sudah berapa lama sih kamu nyantri di sini? Baca kitab-kitab di sini? Segitu aja kok gak tau? Kumaha eta?

Santri : Memangnya kenapa Kyai?
Kyai : Kamu ini pura-pura lupa atau tidak tahu sama sekali?
Santri : Sepengetahuan saya, boleh dong Kyai, seorang muslim kawin sama wanita musyrik.
Kyai : Salah besar. Yang melarang kamu untuk ngawinin Ray itu si pemilik hak Asasi paling mutlak di semesta ini. Tuhannya aku dan kamu. Allah. Baca lagi AlBaqarah ayat 221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musrik, sebelum mereka beriman. Saya pastikan si Ray itu hindu bukan? Perempuan penyembah berhala.

Santri : Betul sih, dia hindu. Kawinnya dia sama abishek pake adat hindu. Jadi haram ya Kyai, ngawinin wanita hindu. Saya mengira yang tidak boleh itu kalau ada wanita muslimah nikah sama pria musyrik. Ternyata laki-laki muslim tidak boleh juga. Mengapa sih kyai...? Kan dia perempuan, setidaknya secara psikologis perempuan mudah untuk diajak kemana arah dari suami. Tinggal bagaimana saya sebagai seorang pria benar-benar berkomitmen memegang ajaran ini. Jadi tak mungkin untuk bisa keluar dari agama saya.

Kyai: Siapa menjamin? Perintahnya pun sudah tegas begitu. Berbeda jikalau kamu menikahi perempuan-perempuan ahli kitab. Tapi itupun dengan syarat tiadanya kekhawatiran perempuan-perempuan itu akan memberikan pengaruh kepada anak-anak kamu termasuk pendidikannya.

Santri : Kyai belum menjawab di balik semua itu. Mengapa kami tidak boleh bersatu?
Kyai : Bagaimana sesuatu yang berbeda sangat jauh bisa didekatkan? disatukan? Di satu pihak mengajak ke surga sedang di lain pihak mengajak ke neraka. Di satu pihak beriman kepada Allah dan para Nabi serta hari kiamat, sedang di lain pihak menyekutukan Allah dan ingkar kepada nabi serta hari kiamat. Tujuan perkawinan ialah untuk mencapai ketenteraman dan kasih-sayang. Sekarang bagaimana mungkin dua segi yang kontradiksi ini akan bertemu?

Santri : Sayang, Ray bukanlah seorang nasrani?
Kyai : Halah, semuanya tidak lebih baik dari seorang muslimah. Rasul sendiri pernah bersabda: pilihlah perempuan yang beragama, sebab kalau tidak celakalah dirimu. Walaupun boleh, tetap saja seorang muslimah betapapun keadaannya adalah lebih baik bagi seorang muslim, daripada perempuan ahli kitab. Lalu kamu akan berandai-andai lagi, sayang dia bukanlah seorang muslimah. Terlalu banyak berandai-andai itu tidak baik.

Santri : Ah, Kyai. Entahlah hati saya masih nelangsa seperti ini.
Kyai : Kamu ini kurang wirid. Ditambah lagi sudah saatnya kamu kudu kawin. Ngomong-ngomong, tadi siapa cewek India tadi? Ai..ai...

Santri : Aishwarya Rai, Kyai.
Kyai : Yah..yah..si Aishwa...Aishwai...ray. Aduh pokoknya si dia. Tapi kamu tahu tidak jang. Ada si Ai yang mau sama kamu? Ai Anjarwati. Pembantunya Nyai di rumah. Mau?

Santri : Cantik, Kyai?
Kyai : Hah, dia bahkan lebih mulia daripada si Ai-nya kamu itu. Sudah, saya mau dhuha dulu. Kamu istikharah saja.

Sang Kyai melenggang menuju ruang utama masjid. Tubuhnya sudah mulai menghangat. Sedangkan santri itu kini wajahnya oranye. Terpapar matahari dhuha. Memandang ufuk timur. Dengan pemikiran baru tentang Ai. Ai yang baru.

***
Maraji:’ Halal dan Haram, Yusuf Al-Qaradhawy


Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Kalibata masih siang
12:29 30 Maret 2007
http://10.9.4.215/blog/dedaunan
http://dirantingcemara.blogspot.com

2 comments:

Anonymous said...

Hehehe... cerita yang lucu

Pengaruh wanita lebih berbahaya dari laki-laki jang. Coba lihat bagaimana banyak sekali dalam rumah tangga.... perempuan lebih dominan dari laki-laki walaupun tidak bisa dilihat secara nyata.

Kata-kata perempuan yang lemah lembut dan terucap setiap hari ke telinga laki-laki akan membuat si laki-laki berubah tanpa disadari.

Saran untuk si Ujang : Hindarilah jalan yang licin jika kita takut terpeleset

Aku tunggu cerita-ceritanya yang lain mas Riza

Anonymous said...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!