17 July 2007

MUKA BANDIT

MUKA BANDIT

Sabtu pagi pukul 10.00 tepat saya meninggalkan halaman masjid tempat pertemuan pekanan dilakukan untuk menuju bandara Soekarno Hatta menjemput paman saya yang akan tiba dari Arab Saudi. Menurut SMS yang saya terima dari rombongan keluarga paman saya yang sudah terlebih dahulu sampai di bandara, rencananya pesawat yang membawa paman saya itu akan mendarat pukul 13.00 WIB.
Perjalanan yang biasa saya tempuh ke sana adalah dengan naik KRL di stasiun Citayam lalu turun di Stasiun Pasar Minggu. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus Damri yang biasa mangkal di Terminal Pasar Minggu. Sampai di bandara, di terminal 2, jam satu siang kurang sedikit. Ternyata berdasarkan jadwal yang terpampang di layar pengumuman pendaratan, pesawat Saudi Airlines itu baru tiba di Indonesia pukul 13.54 WIB.
Dan baru pada jam setengah empat sore, saya benar-benar dapat melihat paman saya keluar dari pintu kedatangan. Setelah berbasa-basi sebentar dia bilang, “Besok kita ke PRJ, antar yah…”
Siap…!
Pekan Raya Jakarta
Perjalanan kemarin amat melelahkan menurut saya. Selain karena harus mampir di rumah teman paman saya di daerah Ciledug, kapasitas angkut yang berlebih sehingga kami harus berdesakan, juga perjalanan pulang ke tempat saya yang memakan waktu lama. Kini esoknya, di hari ahad ini, saya pun harus menemani paman saya yang ingin berjalan-jalan di Pekan Raya Jakarta (PRJ). Rencananya pula sehabis dari PRJ kami akan mengunjungi Masjid Kubah Emas. “Mumpung di Jakarta, ” kata bibi saya.
Oke deh…walaupun lelah dari kemarin belum juga kunjung hilang, saya menyanggupi untuk mengantar mereka. Dalam hati saya berkata “kepada keluarga siapa lagi saya akan berbakti setelah ibu saya meninggal?”
Perjalanan di mulai dari pintu tol Cieutereup lalu keluar di pintu tol Ancol-Mangga Dua. Tidak berapa lama kami pun sampai di arena PRJ. Setelah memarkirkan mobil, kami bergegas untuk memasuki tempat pameran. Tiket masuk per kepala sebesar Rp20.000,00 di hari libu. Anak umur 3 tahun ke atas diharuskan memiliki tiket pula.
Terus terang saja, saya termasuk orang yang tidak menyukai keramaian pasar atau mal. Selain karena bisa menaikkan syahwat belanja juga bisa meliarkan hasrat hedonisme manusia—dan untuk mengatasi ini saya cuma membawa uang tunai seratus ribu saja agar saya menyadari saat “ingin” sesuatu, uang saya hanya segitunya saja.
Semakin siang semakin banyak pula pengunjung yang datang. Dan tidak terasa saat saya berkunjung di stand daerah dan UKM, saya telah berpisah dari rombongan utama. Saya raba saku saya, hp saya masih ada ditempatnya. Tapi ada yang aneh, kok selama ini tidak ada aktivitas getar dari hp itu. Alamak, ternyata hp saya sudah mati. Lalu bagaimana saya harus mencari mereka di antara puluhan ribu orang yang berada di tempat itu.
Saya lakoni cara manual, berkeliling ke berbagai tempat utama pameran. Dari hall ke hall, dari stand ke stand, dari counter ke counter. Tidak ketemu…! Kaki saya sampai pegal-pegal. Istirahat deh di salah satu sudut counter penjual makanan ringan. Sambil melihat-lihat sekeliling, kali aja ada yang bisa meminjamkan charger atau hp—ingat loh saya tidak meminta pulsa kepada mereka.
“Pak, bapak punya charger enggak Pak? Saya mau menghubungi saudara saya di sini, tapi hp saya mati” tanya saya pada sekelompok orang penjaga stand yang saat itu lagi sepi.
“Chargernya ketinggalan di rumah,” jawab salah satu dari mereka. Saya pun meninggalkan tempat itu.
Saya kembali melihat seorang bapak tua yang sedang duduk-duduk dengan hp berada di pinggangnya.
“Pak bisa bantu saya enggak Pak? Saya mau kontak saudara saya di sini. Tapi baterai saya habis. Jadi saya mau pinjam hpnya bapak, nanti saya telponnya pakai kartu saya Pak,” pinta saya setengah memelas.
“Masnya pinjam saja charger di counter hp di sana, ” tunjuk dia pada sebuah stand merek hp ternama.
“Terimakasih Pak.” Dua kali saya di tolak. Kali ini episode acara televisi TOLONG benar-benar terjadi pada diri saya.
Saya pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Bapak itu. Tapi saya lihat stand itu dipenuhi banyak orang, semua pelayannya sibuk, dan jelas saya tidak banyak berharap meminta pertolongan dari mereka.
Lalu saya kembali mencari orang yang dari gayanya bisa membantu saya keluar dari kesulitan. Dua orang yang sedang berbincang-bincang di depan toilet yang saya tanyai, menjawab dengan jawaban singkat, “saya tidak punya hp.” Dan orang terakhir—penjaga stand minuman—pun tidak bisa menolong saya.
Saat itulah saya merasakan menjadi orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Saat itulah saya merasa menjadi tokoh utama dari program variety show televisi. Saat itulah saya merasa menjadi orang yang kesendirian. Mengapa mereka tidak mau memberikan pertolongan yah? Apa karena muka saya muka bandit hingga menjadi parameter tersendiri layak atau tidaknya seseorang untuk ditolong? Saya merasakan sekali nada kecurigaan dari tatapan bapak yang menyuruh saya meminjam charger di counter hp dan juga dari dua pemuda yang sedang ngobrol di depan toilet. Wajarlah mereka curiga, ini Jakarta Bung! Di mana banyak kepalsuan dijajakan dan diobral ke mana-mana. Di saat kejujuran menjadi barang paling langka pada saat ini. Dan pada akhirnya saat itulah saya bertekad kalau saya dimintakan pertolongan dalam masalah ini Insya Allah akan saya bantu sekuat tenaga.
Tekad saya itu ternyata diberikan jalan oleh Allah untuk direalisasikan pembuktiannya. Senin pagi ini, ada kecelakaan di jalan antara Tanjung Barat dan Pasar Minggu. Pengendara sepeda motor menabrak motor yang berada di depannya. Yang menabrak jatuh dan ditabrak dari belakang oleh motor lain. Yang ditabrak malah tidak apa-apa bahkan langsung melanjutkan perjalanan lagi. Sedangkan dua orang ini luka-luka lecet di kaki, tangan, dan juga di dagu.
Saya sempatkan untuk menuntun salah satu motor mereka. “Bagaimana, ada yang luka parah enggak? tanya saya pada penabrak kedua yang tidak bisa menghindari penabrak pertama . “Dagu dan kaki ini masih keluar darah,” jawabnya. Benar, cairan berwarna merah membasahi tangannya yang mengusap-usap dagunya.
Si penabrak pertama menghampiri saya sambil berjalan tertatih-tatih dan wajah meringis kesakitan dan berkata: “Bapak punya pulsa banyak enggak? Saya mau menghubungi orang Jepang atasan saya, pulsa saya mau habis nih” pintanya. Jelas saya langsung memberikan hp saya padanya. Peristiwa hari Ahad kemarin benar-benar membekas pada sanubari saya. Berikan pertolongan…apalagi sekadar pulsa ini. Ada banyak yang dihubunginya, saya pun menunggu lama. Berkali-kali ia meminta izin untuk menghubungi yang lain. “Silakan pakai saja.”
Barulah setelah saya memastikan mereka tidak membutuhkan hp ini, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan kembali, absen pagi sudah terasa memanggil-manggil di telinga. Selalu saja ada hikmah yang tersembunyi, kata teman satu seksi saya saat saya menceritakan hal ini padanya. Tentang sebuah pelajaran dan pembuktian realita atas sebuah tekad agar tidak menjadi omong kosong belaka.
Syukurnya Allah memberikan pelajaran atau tes ini segera, agar saya merasakan hikmah di balik semua itu. Agar saya selalu belajar untuk menjadikan tangan ini selalu di atas. Agar saya tidak menggunakan parameter layak tidaknya seseorang itu perlu ditolong hanya di lihat dari mukanya, muka bandit atau muka Kyai. Enggak enaklah dinilai seperti itu. Bisa jadi muka saya muka bandit tapi hati ini boo, hati Ebiet (halah…). Kawan, hari ini dan kemarin saya mendapat banyak pelajaran loh.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16:16 02 Juli 2007


http://10.9.4.215/blog/dedaunan
http://dirantingcemara/blogspot.com
almanfaluthi@gmail.com
riza.almanfaluthi@pajak.go.id

No comments: